Berharap Bandung Tetap Romantis Saat Musim Hujan Tiba
Banjir dan kemacetan sering terjadi di Kota Bandung pada musim hujan. Banjir di awal tahun 2024 melanda pusat kota.
Gerimis sore hari di Kota Bandung, Jawa Barat, kerap disebut romantis oleh warganet di media sosial. ”Syahdu”, begitu kata banyak dari mereka berkomentar saat melihat potongan video pendeknya.
Anggapan itu tidak sepenuhnya keliru. Kawasan Kantor Wali kota Bandung di Jalan Wastukencana yang sarat pohon besar, menjadi salah satu titik favorit. Jalan Diponegoro dengan latar belakang Gedung Sate, kantor Gubernur Jabar, juga mencuri perhatian.
Akan tetapi, tidak semua wajah Bandung seindah itu. Bagi banyak warga Bandung, musim hujan disambut waswas. Banjir hingga kemacetan parah di jalan menjadi sebagian masalah yang dikhawatirkan muncul pada musim hujan.
Baca Juga: Lautan Sampah Kota Bandung, Tebar Bau Busuk hingga Mematikan Usaha Warga
Di awal tahun 2024, misalnya, curah hujan tinggi ikut memicu banjir di pusat Kota Bandung. Sedikitnya 600 keluarga di Kelurahan Braga terdampak. Tanggul Sungai Cikapundung yang jebol membuat air menggenangi rumah yang diisi 4-5 orang. Ketinggian air di dalam rumah antara 1 dan 1,7 meter.
”Ada tanggul jebol karena sungai tidak mampu menampung luapan Cikapundung,” kata Sukmana (57) yang rumahnya di pinggir sungai dan tepat di belakang hotel bintang empat.
Sejumlah warga menyelamatkan barang-barangnya dari banjir luapan Sungai Cikapundung yang melintasi daerah tersebut di RW 004 Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/1/2024).
Hadi Rahmat Hardjasasmita, Pranata Humas Ahli Muda BPBD Jabar mengatakan, banjir terjadi Kamis (11/1/2024) sekitar pukul 17.00 setelah beberapa jam sebelumnya hujan turun deras. Akibat kejadian ini, 150 warga yang tinggal sekitar 1 kilometer dari Balai Kota Bandung itu mengungsi.
”Kami telah mengirimkan 1.000 karung beras dan 200 selimut untuk para penyintas. Mereka membutuhkan tambahan selimut, pakaian kering, makanan, alat-alat kebersihan, dan terpal,” ujar Hadi.
Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono mengatakan, tanggul sepanjang 20 meter yang jebol akan segera diperbaiki. Bambang, yang sebelumnya Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Jabar, mengatakan, perbaikan tanggul harus segera dilakukan untuk mencegah limpasan air terulang lagi.
Akan tetapi, sekadar perbaikan infrastruktur diragukan bakal menyelesaikan masalah. Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Chay Asdak mengatakan, banjir akan selalu melanda Bandung, seiring masifnya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) serta tidak memadainya saluran drainase. Selain menjaga area serapan air, adaptasi juga diperlukan untuk mengurangi dampak bencana.
Menurut Chay, terdapat sejumlah faktor penyebab Bandung dan sekitarnya menjadi daerah langganan banjir serta longsor. Salah satunya, alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara atau KBU yang masif sejak 1980-an. Kondisi ini tampak dari maraknya bangunan di area resapan air.
”Kalau ditanya seberapa parah (alih fungsi lahan)? Sangat parah. Apalagi, pariwisata sudah menggeliat. Bangunan semakin banyak, sedangkan daerah serapan air sedikit,” katanya.
Berada di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut, KBU mengalirkan air hujan ke Bandung lewat Sungai Cikapundung. Sungai sepanjang 28 kilometer ini anak Sungai Citarum yang kerap memicu banjir di berbagai daerah di Jabar.
Warga membersihkan rumah dari endapan lumpur saat banjir luapan Sungai Cikapundung yang melintasi daerah tersebut mulai surut di RW 004 Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/1/2024).
Di sisi lainnya, Bandung merupakan daerah cekungan sehingga rawan banjir. Kondisinya berpotensi lebih buruk karena saluran drainase di Bandung tidak lagi memadai menampung air dari sungai-sungai sekitarnya. Bahkan, masih banyak jalan di kawasan itu tidak memiliki saluran pembuangan.
”Sekitar 50 persen jalan yang ada di Bandung itu tidak disertai drainase. Kalaupun ada drainase, pasti terganggu sampah dan sudah tidak mampu menampung air. Akhirnya, jalan jadi sungai,” ujarnya. Area yang harusnya menjadi saluran drainase malah menjelma bangunan dan jalan.
”Inilah penataan kota yang tidak menyeluruh. Ada jalan untuk lalu lintas (kendaraan). Tapi, tidak disertai antisipasi kalau ada (arus) air,” ujar Chay. Tidak heran, jalan raya di Bandung kerap dilanda kemacetan dan banjir saat hujan deras.
Baca Juga: Bandung, Kenyang Dirundung Sebelum Jadi Legenda
Oleh karena itu, ia menyarankan adanya solusi komprehensif atas masalah banjir di Bandung. Di KBU, misalnya, Chay mendesak pemerintah memastikan rencana tata ruang dan wilayah sesuai dengan peruntukannya. Area serapan air harus dipertahankan dari alih fungsi lahan.
”Tidak bisa lagi pro ke pemodal, sedangkan aspek lingkungannya diabaikan,” ujarnya. Pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat harus turun tangan menangani masalah banjir. Meskipun sudah ada program Citarum Harum, ia menilai dampaknya belum efektif.
Di kota, lanjutnya, dinas pekerjaan umum setempat harus memastikan drainase yang memadai untuk menampung air. Di sisi lainnya, masyarakat perlu menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan serta tanggap bencana. Sistem peringatan dini pun dibutuhkan.
Pemerintah juga perlu segera melakukan pemulihan lingkungan secara serius dan difokuskan di kawasan yang memiliki konservasi yang baik. Ini langkah mitigasi,
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Wahyudin mengatakan, bencana banjir di Bandung tidak terlepas dari meluasnya lahan kritis. Pihaknya mencatat, lahan kritis di Kabupaten Bandung mencapai 46.678 hektar dan 53.018 hektar di Bandung Barat.
Di Kota Bandung, luas lahan kritis tercatat 837 hektar, sedangkan di Kota Cimahi seluas 616 hektar. ”Kami menduga angkanya semakin bertambah memasuki tahun 2024. Salah satu faktor penyebabnya tidak lepas dari aktivitas manusia dan kebijakan pemerintah,” kata Wahyudin.
Pihaknya mendesak pemerintah agar menertibkan kawasan hulu dari alih fungsi lahan yang tidak sesuai aturan. ”Pemerintah juga perlu segera melakukan pemulihan lingkungan secara serius dan difokuskan di kawasan yang memiliki konservasi yang baik. Ini langkah mitigasi,” ujarnya.
Macet
Tidak hanya banjir, wajah lalu lintas Bandung tidak jarang mendadak amburadul sesaat setelah hujan turun. Pengguna jalan seperti terburu-buru untuk tiba sampai tujuan setelah sebelumnya terhambat hujan. Minim transportasi umum, kendaraan pribadi mendominasi jalanan.
Petugas pengatur lalu lintas sering kali tidak terlihat. Gantinya, ”pak ogah” yang berkuasa. Peran ”pak ogah” sedikit banyak membantu meski prioritas kerap diberikan pada yang memberi uang.
Denny Ahmad (38) terpaksa berdamai dengan macet setiap hujan reda. Perjalanan dari tempat kerja di pusat kota Bandung menuju rumahnya di Cimenyan, Kabupaten Bandung, yang hanya delapan kilometer harus ditempuh sejam lebih menggunakan mobil. Saat normal, ia hanya butuh paling lama setengah jam.
”Biasanya macet di Jalan PHH Mustofa hingga Jalan Ahmad Yani. Di sekitarnya ada pasar, rumah sakit, kawasan wisata, hingga terminal bus,” katanya.
Lihat Juga: Bandung Utara yang Kian Merana
Awan mendung di kawasan Bandung Raya yang terlihat dari Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (8/11/2021). Puncak musim hujan di Bandung diprediksi terjadi pada Januari-Februari 2022.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polrestabes Bandung Ajun Komisaris Besar Eko Iskandar mengatakan, macet dipicu jumlah kendaraan yang ada tidak seimbang dengan ketersediaan jalan. Saat musim hujan, dampaknya semakin terasa. Seperti kata Chay Asdak, genangan air yang muncul di badan jalan kerap memperlambat laju kendaraan.
Ia memaparkan, terdapat 11 kawasan rawan macet dari hasil pemetaan Satlantas Polrestabes Bandung. Kawasan itu, antara lain, Pasteur, Arcamanik, Antapani, Kiaracondong, Soekarno-Hatta, Cihampelas dan Sukajadi.
Adapun, kemacetan di 11 kawasan ini pada pagi dan sore ketika masyarakat pulang dari tempat kerjanya. Terdapat 56 ruas jalan di 11 kawasan itu.
”Kondisi infrastruktur jalan yang sempit dan adanya pekerjaan pembangunan jalan memicu kemacetan di 11 kawasan ini. Penyebab lainnya adalah parkiran liar dan pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan,” katanya.
Ia menambahkan, jajaran Satlantas Polrestabes Bandung telah berupaya untuk mengurai kemacetan di 11 kawasan ini. Salah satu upaya adalah menempatkan personel untuk mengatur arus lalu lintas di jalan yang rawan macet.
”Jumlah personel kami hanya 160 orang untuk mengatur arus lalu lintas di daerah seluas Kota Bandung,” kata Eko.
Baca Juga: Tanpa Penanganan, 14 Tahun Lagi Bandung Raya Terbelenggu Kemacetan
Solusi yang ditawarkan sejumlah pihak seperti memperbanyak moda transportasi umum untuk menekan kemacetan juga belum ideal. Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan Kota Bandung, Asep Koswara mengakui jumlah transportasi umum tidak sebanding dengan pergerakan orang yang memasuki Kota Bandung setiap hari. Saat ini, hanya ada 34 unit bus Trans Metro Bandung yang melayani lima rute.
”Jumlah warga yang memasuki Kota Bandung pada pagi hingga siang hari bisa mencapai 5 juta orang. Sementara pergerakan orang pada malam hari turun 50 persen hingga 2,5 juta orang,” kata Asep.
Ke depan, Asep berharap adanya koordinasi antara pemerintah daerah di seluruh wilayah Bandung Raya untuk penyediaan transportasi umum. Upaya ini bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dari tiga wilayah di Bandung Raya ke Kota Bandung.
”Banyak pengguna kendaraan pribadi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi yang beraktivitas di Kota Bandung. Harapannya dengan menggunakan transportasi publik, masalah kemacetan dapat diminimalkan,” ujarnya.
Setelah lama dihajar perubahan iklim dan musim kemarau panjang, hujan adalah anugerah yang diharapkan banyak orang, termasuk di Bandung. Namun, saat tidak dibarengi dengan kesiapan kondisi sekitarnya, semuanya rentan menjadi musibah.
Baca Juga: Kemenhub Luncurkan Trans Metro Pasundan di Bandung Raya