Frans Nadjira, ”Sang Penatah Batu Paras” Itu Berpulang
Seniman Frans Nadjira wafat menjelang usia ke-82 tahun, Jumat (12/1/2024). Selain menulis, Frans Nadjira juga melukis.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Khalayak seni dan sastra di Bali dan Indonesia kehilangan satu tokoh seninya. Frans Nadjira, seniman dan penyair yang bermukim di Bali, meninggal pada Jumat (12/1/2024). Frans Nadjira, ”Sang Penatah Batu Paras”, itu berpulang di usia menginjak 82 tahun.
Di antara pelayat, yang mengiringi pemakaman almarhum Frans Nadjira di tempat peristirahatan terakhir di Setra (Pemakaman) Bugis Forum Silaturahmi Warga Bugis Bali di Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Jumat (12/1/2024), penyair GM Sukawidana mengenang Frans Nadjira sebagai sosok motivator. ”Beliau itu motivator yang luar biasa untuk anak-anak sastra di Bali pada masanya sekitar awal 1990,” kata Sukawidana.
Dengan logat khas Bugisnya, menurut Sukawidana, Frans Nadjira menegaskan penyair-penyair Bali harus seperti sapu lidi. ”Supaya kuat, harus disatukan seperti sapu lidi,” ujar Sukawidana, mengenang sosok Frans Nadjira.
Om Frans, demikian almarhum kerap disapa penyair-penyair muda di Bali. Namun, tidak sedikit pula yang menyapanya dengan sebutan Abang. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 1942, ini menyalurkan energi berkeseniannya dengan melukis, menulis, dan bersyair.
Frans Nadjira menetap di Bali sedari 1974. Karya-karya Frans Nadjira tergores dalam bentuk lukisan, novel, dan juga puisi. Cerita pendek karya Frans Nadjira muncul di majalah sedari 1961-an. Lukisan karya Frans Nadjira, menurut Raudal Tanjung Banua dalam tulisan kritik sastra berjudul ”Perjalanan Hidup, Perjalanan Puitik; Metamorfosis Frans Nadjira dari Jendela dan Sesudahnya”, yang ditayangkan Tat Kala.co edisi 2 September 2023, hadir dalam pameran bersama ”Tujuhbelas Pelukis Muda Jakarta” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1970.
Puisi karya Frans Nadjira bernada tegas, namun puitis. Dalam puisi berjudul ”Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad”, misalnya, Frans Nadjira menuliskan, di antaranya, //Untuk kali terakhir/kata menjengukmu/karena kata cuma milikku: “Selamat jalan, batu paras/yang ditatah dengan kapak”//
Di usia senja, Om Frans masih menulis. Penerima penghargaan kategori sastra dalam Bali Jani Nugraha 2020 itu pernah memperkenalkan buku kumpulan puisi berjudul Peluklah Aku untuk dibedah di Bentara Budaya Bali, Gianyar, sekitar September 2017.
Penyair Muda Wijaya menyatakan, Om Frans masih menulis meski dalam kondisi tidak sehat. ”Saya masih ingin menulis meskipun pendek-pendek saja, begitu kata Om Frans,” kata Muda Wijaya ketika bersua di Masjid Chandra Asri, Perum Chandra Asri, Batubulan, Sukawati, Gianyar, Jumat (12/1/2024), menjelang pemberangkatan jenazah Frans Nadjira ke Setra Bugis di Kota Denpasar.
Jenazah Frans Nadjira disemayamkan dan dishalatkan di Masjid Chandra Asri setelah dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr IGNG Ngoerah atau RSUP Sanglah, Kota Denpasar, Jumat siang. Istri almarhum, kedua putrinya, dan keluarga almarhum Frans Nadjira serta kerabat berkumpul di Masjid Chandra Asri, Gianyar, sebelum mereka mengantar almarhum ke pemakaman di Kota Denpasar.
Vanda Frans Nadjira mengungkapkan, tiga hari sebelumnya, ayahnya itu mengeluh nyeri pada dada kirinya. Keluarga kemudian membawa Frans Nadjira ke RSUP Sanglah untuk memeriksakan kondisinya.
”Hasil pemeriksaan di Unit Jantung RSUP Sanglah mengindikasikan jantung ayah tidak terlalu bermasalah,” kata Vanda ketika ditemui di Masjid Chandra Asri, Sukawati, Gianyar, Jumat siang. ”Namun, paling dikhawatirkan adalah ada dahak yang tidak bisa keluar,” ujar putri dari almarhum Frans Nadjira.
Jumat pagi, penyair Warih Wisatsana mengunggah status di media sosialnya, ”Bang Frans Nadjira, Sedini pagi tadi, ada pesan dari Vanda, putrinda Bang Frans Nadjira, mengabarkan Abang kami, Guru yang tulus dan teguh hati, berpulang.” Dalam unggahannya itu, disebutkan pula, ”Telah Berpulang ke Rahmatullah, Bapak/Kakek kami ’Bpk. Frans Nadjira’ pada hari ini, Jumat, jam 04.50 Wita.”
Selamat jalan. //Untuk kali terakhir/kata menjengukmu/karena kata cuma milikku: ”Selamat jalan, batu paras,/yang ditatah dengan kapak”//