Penghentian Penurunan Muka Tanah Lebih Mendesak daripada Tanggul Laut
Penghentian laju penurunan tanah lebih mendesak ketimbang membuat tanggul laut raksasa. Pelibatan masyarakat pun perlu.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Penghentian laju penurunan muka tanah dinilai sejumlah pihak lebih mendesak dilakukan untuk mencegah banjir rob di pesisir pantai utara Jawa daripada membuat tanggul laut raksasa. Tanggul laut raksasa yang diwacanakan menjadi solusi komprehensif menghentikan banjir dan rob itu justru berpotensi menambah beban kerugian yang ditanggung masyarakat pesisir.
Salah satu akar persoalan banjir dan rob di wilayah pesisir pantura Jawa adalah penurunan muka tanah yang terus terjadi. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya, berdasarkan catatan dalam buku Maleh Dadi Segoro yang ditulis Bosman Batubara dan kawan-kawan disebutkan, laju penurunan tanah yang terjadi mencapai di atas 10 sentimeter per tahun. Amblesan tanah itu lantas membuat banjir rob kian parah.
Peneliti Koalisi Maleh Dadi Segoro, Bagas Yusuf Kauzan, mengatakan, amblesan tanah yang terjadi di pantura, khususnya di Jateng, muncul akibat pembebanan dari aktivitas konstruksi. Kendati kondisi penurunan tanahnya sudah memprihatinkan, pembangunan di atasnya masih saja terus dilakukan.
Menurut Bagas, jika pembangunan megaproyek tanggul laut raksasa dilakukan, pembebanan terhadap pantura akan semakin menjadi. Amblesan tanah pun dikhawatirkan menjadi tak terkendali dan banjir rob kian parah.
”Pembangunan tanggul laut raksasa pasti butuh banyak air. Oleh karena pemerintah setempat relatif belum mampu mencukupi kebutuhan air, otomatis solusi yang muncul adalah penggunaan air bawah tanah,” kata Bagas dalam diskusi daring bertajuk ”Dampak Giant Sea Wall terhadap Kawasan Pantai Utara Jawa”, Jumat (12/1/2024).
Bagas menyebut, penggunaan air bawah tanah juga berkontribusi terhadap percepatan laju penurunan muka tanah. Dengan demikian, aktivitas itu seharusnya ditekan. Sebagai gantinya, pemerintah berkewajiban menyediakan air dari sumber lain untuk mencukupi keperluan masyarakat maupun industri.
Direktur dari Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja juga menilai, pembangunan tanggul laut raksasa sebagai solusi banjir rob di pantura Jawa kurang efektif dan justru semakin menyusahkan masyarakat. Bahkan, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pernah menyebut pembangunan tanggul laut yang dipilih Indonesia sebagai solusi mengatasi banjir dan rob di Jakarta sebagai maladaptasi.
”Sayangnya, pemerintah malah mau pakai contoh yang maladaptasi itu untuk diterapkan di Pantura Jawa. Saya rasa, ini kurang bijaksana. Sudah maladaptasi, mahal, tapi tetap dipakai. Padahal, tanggul itu pun sebenarnya tidak begitu tangguh. Di sejumlah daerah pernah ada yang roboh,” ucap Elisa.
Elisa juga mengaku kecewa karena pemerintah terlalu fokus pada pembuatan tanggul dan amat jarang membahas soal bagaimana menghentikan penurunan muka tanah. Elisa mengibaratkan, menyelesaikan banjir dan rob tanpa membicarakan solusi menghentikan penurunan tanah, seperti orang terkena kanker paru-paru yang hanya menjalani kemoterapi, tetapi tidak berhenti merokok.
”Membuat tanggul tanpa menyelesaikan kenapa muka tanahnya turun, hanya memperparah saja. Hanya mengobati sedikit, tetapi 10-20 tahun lagi masih akan menghadapi masalah yang sama,” ujar Elisa.
Menghambat
Selain membuat kondisi lingkungan memburuk, tanggul laut raksasa juga dikhawatirkan menghambat aktivitas masyarakat di pesisir. Elisa mencontohkan, pada pembangunan tanggul pantai di sekitar Kampung Muara Baru, Jakarta Utara, pemerintah tidak membangun dermaga. Padahal, di kampung itu mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan mereka membutuhkan tempat untuk menyandarkan kapalnya.
”Akibatnya, para nelayan di kampung itu bikin sandaran kapal sendiri yang kemudian dianggap ilegal karena merusak obyek Proyek Strategi Nasional. Saat membangun yang sederhana seperti tanggul pantai saja (pemerintah) tidak bisa melihat kebutuhan masyarakat, apalagi nanti kalau tanggul laut raksasa,” ujar Elisa.
Sementara itu, Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia Marthin Hadiwinata menyebut, pembangunan tanggul laut raksasa berkontribusi menambah proses pemiskinan struktural di kawasan pesisir. Hal itu karena dengan adanya tanggul raksasa itu, akses warga pesisir ke laut terhambat.
”Pernah ada penghitungan terkait kerugian akibat tanggul laut. Di pesisir Jakarta, misalnya, ada 33.500 nelayan. Setiap hilangnya satu meter wilayah perairan, kerugian yang mereka tanggung mencapai Rp 94 miliar. Sementara itu, kerugian untuk pembudidaya kerang mencapai Rp 98 miliar dan kerugian pembudidaya ikan tambak sebesar Rp 13 miliar,” ujar Marthin.
Orang-orang pesisir Demak maupun Semarang tidak didengarkan kisahnya, kesulitan, dan kecemasannya.
Menurut Marthin, pemerintah masih belum banyak melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Padahal, masyarakat merupakan pihak yang paling terdampak dalam proses pembangunan tersebut.
”Dalam mengelola kawasan pesisir yang cukup kompleks, pelibatan komunitas masyarakat sangat diperlukan. Dengan cara itu, pemerintah juga bisa mendapatkan solusi yang beragam, bukan solusi tunggal seperti pembangunan tanggul raksasa,” katanya.
Harapan agar pemerintah melibatkan masyarakat dalam merencanakan pembangunan juga diserukan Peneliti Koalisi Maleh Dadi Segoro, Eka Handriana. Eka mencontohkan, dalam pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak, pelibatan masyarakat juga sangat minim.
”Orang-orang pesisir Demak maupun Semarang tidak didengarkan kisahnya, kesulitan, dan kecemasannya. Solusinya pokoknya tanggul. Persoalan mereka nanti susah cari makan, penghidupannya hilang, bukan persoalan bagi yang mau kasih proyek,” ujar Eka.
Koordinator Koalisi Maleh Dadi Segoro, Martha Kumala Dewi, juga menilai, upaya pemerintah dalam menciptakan ruang aman bagi 50 juta penduduk di sepanjang pantura Jawa melalui tanggul laut raksasa perlu dikaji ulang. Martha meyakini, solusi itu bukanlah yang diinginkan oleh warga pantura, khususnya warga pantura Jateng.
”Warga pantura Jateng cenderung lebih memilih pendekatan tanggul mangrove. Tanggul mangrove dinilai lebih ampuh, memukul mundur laut, dan bisa memperluas daerah tangkapan ikan untuk kepentingan sosial ekonomi mereka,” kata Martha.