Perempuan Berdikari dengan Sertifikat Tanah
Redistribusi ini bukan sekadar soal bagi-bagi lahan, melainkan bagaimana masyarakat mendayagunakan dan memanfaatkannya.
Tak pernah terpikirkan oleh Nova Kalompo (45) bahwa suatu saat dalam kehidupannya, ia dapat mendirikan sebuah warung kelontong di halaman rumah. Jangankan warung, sekadar ketenangan hidup pun ia tak punya. Sebab, hari-harinya selalu dihantui kekhawatiran akan pengusiran dari rumah dan kebunnya di Desa Mangkit.
Semua berbalik sejak 29 Oktober 2018 ketika sebuah acara seremonial digelar di desa yang terletak di Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, itu. Gubernur, bupati, serta jajaran pejabat lain hadir untuk membagikan tak kurang dari 515 sertifikat lahan perkebunan eks hak guna usaha (HGU) kepada Nova dan ratusan warga lainnya dalam rangka reforma agraria.
Pada awal 2019, warga kembali menerima sertifikat lahan, kali ini untuk tanah tempat rumah mereka berdiri. Jumlahnya 535 buah sehingga secara keseluruhan ada 1.050 sertifikat yang diterbitkan untuk meredistribusi tanah negara seluas 444,46 hektar kepada masyarakat desa di semenanjung timur Sulawesi Utara itu.
”Kehidupan berubah 180 derajat dari sebelum torang dapat (sertifikat). Torang dulu cuma mengandalkan suami. Mo beking apa? Nyanda ada lahan. Kalau sekarang, sudah. So merdeka,” kata Nova dengan mata berbinar-binar di teras rumahnya, Selasa (9/1/2024) siang.
Tak lama setelah itu, Nova membawa sertifikat tanah rumahnya, yang memiliki ukuran 10 meter x 20 meter, ke sebuah bank di Ratahan, ibu kota Minahasa Tenggara. Ia menjadikannya agunan demi mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 50 juta.
Berkat pinjaman tersebut, selama empat tahun terakhir, ibu dua anak itu dapat menyebut dirinya wirausaha. Warga desa pun silih berganti singgah di warungnya untuk membeli segala macam kebutuhan sehari-hari, mulai dari beras, air mineral, telur, makanan ringan, sampai sabun cuci. Penghasilan bersih sebulan, katanya, selalu melampaui Rp 1 juta.
Di samping itu, Nova kini juga menjadi pemilik sah atas lahan garapan seluas 0,49 hektar, hasil bagi rata dengan suaminya. Baru-baru ini mereka panen cengkeh dari 100 pohon. Nilai penjualan nantinya diperkirakan mencapai Rp 20 juta.
”(Hasil kebun) Luar biasa. Jadi sudah beda dengan dulu, mo cari makan susaaah sekali. Seperti ayam, cari hari ini, habis hari ini. Anak-anak juga sekolah paling tinggi SMA. Tetapi sekarang, sarjana sudah banyak di Mangkit, sampe tabuang-buang,” ujar Nova.
Vera Tatawi (42), tetangga Nova, membenarkan hal itu. Anak semata wayangnya kini sedang berkuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Manado. ”Torang mau torang pe anak lebih sukses. Kalau tanpa redistribusi lahan, nda terbayangkan. Sulit,” kata Vera yang kini juga memiliki lahan garapan seluas 1 hektar dengan 200 pohon cengkeh.
Vera pun merasa bangga sebagai pemilik lahan. Sebab, layaknya para istri sekaligus ibu di Mangkit, selama bertahun-tahun ia hanya bergantung pada pendapatan suaminya yang bekerja serabutan, entah sebagai tukang bangunan, nelayan, atau bahkan pekerja di pertambangan emas di daerah Ratatotok, 18 kilometer dari Mangkit.
Jansen Matandatu (66), warga Desa Mangkit yang mengetuai Serikat Petani Minahasa Tenggara (SPMT), dengan bangga menyebut desanya terdepan dalam menjunjung kesetaraan jender. Buktinya, sekitar 40 persen dari sertifikat tanah yang diredistribusikan pada akhir 2018 dan awal 2019 menerakan nama perempuan sebagai pemiliknya.
Baca juga: Belenggu Reforma Agraria
Pasangan suami-istri di Desa Mangkit biasanya sepakat untuk berbagi kepemilikan. Jansen tak terkecuali. Istrinya memegang sertifikat tanah rumah mereka, sedangkan dia memegang sertifikat lahan garapan. Tak sedikit pula pasangan yang membagi lahan garapan menjadi dua bidang dengan sertifikat atas nama masing-masing.
Hal itu sejalan dengan Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). ”Semua warga negara berhak mendapatkan hak atas tanah, jangan cuma bapak-bapak. Kita juga menghargai peran ibu-ibu yang ikut berkebun dan membantu dalam perjuangan,” kata Jansen.
Perjuangan bertahun-tahun
Dengan kata perjuangan, Jansen bermaksud menyatakan bahwa redistribusi tanah bukan semata-mata karena kemurahan hati pemerintah, melainkan karena desakan warga desa yang mendambakan keadilan sosial. Desakan itu pun mereka serukan selama puluhan tahun hingga lintas generasi.
Menurut Jansen, wilayah Belang yang mencakup Desa Mangkit dulunya adalah onderneming perkebunan kelapa pemerintah kolonial Belanda. Pasca-kemerdekaan, status perkebunan dijadikan HGU di atas tanah negara, sesuai UUPA.
Pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan bernama PT Asiatik dengan masa konsesi yang berakhir pada 1978. Ketika berakhir, kata Jansen, ada gerakan dari para pekerja di Mangkit untuk meminta pesangon dari PT Asiatik sekaligus mengambil alih lahan tersebut untuk dikelola masyarakat. ”Namun, mereka diintimidasi, dikriminalisasi,” katanya.
Ismed Kalompo (75) dan Yahya Bokang (72) adalah dua dari beberapa buruh pelopor pergerakan itu. Berkali-kali mereka harus memenuhi panggilan pasukan Pelaksanaan Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban di Manado untuk diinterogasi dengan tuduhan keterkaitan dengan komunis.
”Saya kalau diperiksa malam hari. Duduk di kursi besi, empat petugas di depan, kanan, kiri, belakang. Kalau ditanya tidak jawab, dicucuk pakai senjata sama yang di kanan-kiri. Disetrum juga,” kata Ismed.
Perjuangan reforma agraria Mangkit pun terhenti. Pada 1982, pemerintahan Orde Baru memberikan HGU kepada empat perusahaan dengan masa konsesi 25 tahun. Jansen, yang menyebut dirinya preman desa kala itu, direkrut menjadi mandor perkebunan. Ia sering mewakili perusahaan untuk bertemu dengan inspektur perkebunan dari berbagai instansi.
Pada 1999, seiring dimulainya era Reformasi, Jansen menyebut pemerintah menyatakan akan meredistribusi lahan eks HGU kepada petani penerima kredit usaha tani. Pada saat yang sama, perkebunan kelapa di Mangkit sudah mangkrak tanpa peremajaan dan perawatan.
Namun, HGU justru dipindahtangankan secara tak prosedural kepada seorang pengusaha yang disebut warga bernama Agus Abidin. ”HGU, kan, tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Kalau perusahaan pemegang HGU pailit, tanahnya dikembalikan ke negara,” kata Jansen.
Sejak itu, Jansen dan beberapa warga lain memulai gerakan untuk merebut lahan tersebut. Ia mengajak warga untuk mulai menanami lahan yang dikuasai Agus Abidin dengan segala macam tanaman perkebunan yang bukan kelapa, seperti kemiri, nangka, cengkeh, dan pala.
Kesempatan terbuka lebar, apalagi lahan itu tetap mangkrak setelah berpindah tangan. ”Penguasaan medan itu penting untuk menunjukkan ke pemerintah bahwa rakyat butuh lahan. Lagi pula, perusahaan sudah melakukan pelanggaran, tidak ada peremajaan dan perawatan tanaman,” kata Jansen.
Konflik lahan pun tak terhindarkan. Agus Abidin disebut kerap memolisikan warga dengan tuduhan penyerobotan lahan. Tanaman warga pun kerap dirubuhkan, sebagaimana dialami Nova pada 2011. Aparat keamanan bahkan terlibat dalam konflik itu.
”Dorang datang cabut apa yang torang tanam. Sebagai tuan kebun, saya nda terima. Saya nda takut. Torang perjuangkan torangpe kehidupan di masa depan. Memang ada rasa khawatir karena intimidasi, tetapi persatuan di kampung ini kuat. Bilamana ada yang kena teror, semua turun,” ujar Nova.
Kekompakan warga semakin kuat setelah mendapatkan pendampingan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2012. Jansen mengatakan, ia dan beberapa warga lain yang memelopori gerakan reforma agraria di Desa Mangkit mendapatkan pelatihan, utamanya seperti penguatan organisasi.
”Dulu kami belum serikat petani, masih komunitas buruh. Kami disarankan mengubah organisasi karena yang mau kami tuntut adalah tanah, bukan gaji atau pesangon,” kata Jansen yang pernah enam kali dipanggil polisi karena dilaporkan sebagai provokator penyerobotan lahan.
Selama enam tahun, KPA mendampingi warga Desa Mangkit sembari menjadi penyalur aspirasi mereka kepada pemerintah dengan mengusulkannya sebagai lokasi prioritas reformasi agraria (LPRA). Mereka juga mendampingi proses pemetaan lahan yang akan diredistribusi (obyek) dan memverifikasi data calon penerimanya (subyek). ”Harus betul-betul petani, betul domisili di sini, bukan orang kaya, bukan pengusaha,” kata Jansen.
Akhirnya, redistribusi pun terlaksana hampir bertepatan dengan pelaksanaan Global Land Forum di Bandung, Jawa Barat, serta penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Jansen mengatakan, para penerima sertifikat diminta tak menjual lahannya setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan, termasuk para perempuan.
”Memang sertifikat tanah ini mudah bikin tergoda. Jadi, kami mendoktrin para penerima manfaat, diharamkan untuk menjual tanah yang kita perjuangkan berdarah-darah. Kalau sudah tidak punya tanah, mau berjuang hidup di mana lagi?” kata Jansen.
Dewi Kartika, Sekretaris Jendral KPA, menyebut Desa Mangkit sebagai contoh nyata keberpihakan warga terhadap pengakuan hak atas tanah bagi perempuan. Perempuan bahkan terlibat aktif dalam proses perjuangan, bahkan juga identifikasi dan verifikasi obyek serta subyek redistribusi.
Baca juga: UUPA dan Transformasi Kebijakan Pertanahan
Di banyak tempat, kata Dewi, hak perempuan masih terabaikan dalam proses reforma agraria. Hal itu dapat disebabkan berbagai aspek, seperti kultur, agama, atau sistem administrasi pertanahan.
”Padahal, banyak juga rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan yang sudah tidak bersuami atau kini sudah menjadi orangtua tunggal, tetapi masih menggantungkan hidupnya pada pertanian. Itu mengapa redistribusi tanah harus inklusif tidak hanya terhadap partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik, tetapi juga perempuan sebagai subyek dari reforma agraria,” kata Dewi.
Pelibatan perempuan sebagai subyek reforma agraria juga sangat penting untuk mempertahankan keberlanjutan dampaknya. Dewi menyebut perempuan biasanya punya ikatan yang lebih kuat atas tanah sebagai rumah sekaligus sumber penghidupan keluarga. Dengan begitu, mereka cenderung lebih sulit melepas lahannya untuk dijual.
Hingga kini, KPA telah mengusulkan 850 LPRA di 23 provinsi kepada pemerintah. Namun, selama sembilan tahun, reforma agrarian baru terealisasi di 21 lokasi. Karena itu, kata Dewi, penting bagi warga, termasuk perempuan, untuk mempertahankan hasil redistribusi yang telah tercapai agar tanah tak diakumulasi oleh segelintir pemilik modal besar.
Karena itu, pascaredistribusi, Jansen mengajak warga Mangkit harus terus berjuang memanfaatkan lahannya dengan sebaik mungkin. Pemerintah pun harus turut serta mendampingi masyarakat dengan pembangunan infrastruktur, seperti jalan produksi, serta mendukung aktivitas pertanian dengan pupuk dan alat pertanian.
”Redistribusi ini bukan sekadar bagi-bagi lahan. Ini soal bagaimana mendayagunakan dan memanfaatkannya sehingga tercapai petani sejahtera. Itulah reforma agraria sejati,” ujarnya.
Redistribusi ini bukan sekadar bagi-bagi lahan. Ini soal bagaimana mendayagunakan dan memanfaatkannya sehingga tercapai petani sejahtera.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Kabupaten Minahasa Tenggara David Lalandos mengatakan, pemerintah siap untuk selalu memberikan asistensi dan perhatian agar warga terus mengolah dan memanfaatkan lahannya untuk kesejahteraan masing-masing. Pemberian fasilitas pertanian diharapkan dapat mencegah pengalihan sertifikat ke pihak lain.
”Pemkab terus meyakinkan semua stakeholders bahwa upaya redistribusi eks HGU akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Mangkit dan sekitarnya. Pemkab juga mendorong dan memfasilitasi agar redistribusi berlangsung adil dan merata,” ujar David.