logo Kompas.id
NusantaraKriya Rotan, Obat Pelipur Lara...
Iklan

Kriya Rotan, Obat Pelipur Lara Peladang Kalteng

Peladang di Kalimantan Tengah menghasilkan kriya rotan. Semua sebagai alternatif hasil hutan bukan kayu.

Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
· 7 menit baca

Berbagai contoh pola anyaman rotan di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024). Pemesan bisa meminta pola favorit mereka di desa ini.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Berbagai contoh pola anyaman rotan di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024). Pemesan bisa meminta pola favorit mereka di desa ini.

Sejak kebakaran hebat di sejumlah daerah pada tahun 2015, pemerintah melarang masyarakat membakar lahan, termasuk ladang. Aturan itu disambut lara bagi peladang di Kalimantan Tengah. Namun, selalu ada siasat untuk sejahtera. Di Kapuas, sejahtera berasal dari teras rumah.

Kacamata yang melorot di wajahnya tidak membuat Inding (49) kehilangan konsentrasi merapikan anyaman berbahan rotan di teras rumahnya di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Sabtu (13/1/2024). Ia tengah membuat tas rotan berbentuk tabung atau yang dikenal dengan nama anjat dalam bahasa Dayak Ngaju.

Inding tidak sendiri. Ada anak dan cucu-cucunya yang memperhatikan dia. Sesekali cucunya yang masih berusia 10 tahun ikut menganyam mengikuti gerakan Inding. Namun, pekerjaan itu terlalu sulit bagi bocah itu. Dia lantas memilih bermain.

Saat itu, Inding tengah membuat tas anjat dengan gambar anak asai, anak lelaki yang sedang berkacak pinggang. Anak asai merupakan sebutan bagi lelaki Dayak pemberani. Dulu, mereka ikut berperang dan tetap keluar rumah untuk berjuang meski tahu berbahaya.

Baca juga : Kerajinan Rotan Kapuas Kalteng Dipasarkan hingga Jepang

Inding (59) sedang menjawet atau menganyam rotan di teras rumahnya, Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024). Inding merupakan salah satu penganyam rotan ulung di kampung itu. Sambil tertawa karena difoto ia mengerjakan setidaknya tiga tas hari itu.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Inding (59) sedang menjawet atau menganyam rotan di teras rumahnya, Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024). Inding merupakan salah satu penganyam rotan ulung di kampung itu. Sambil tertawa karena difoto ia mengerjakan setidaknya tiga tas hari itu.

Inding mengerjakannya dengan berani. Pola itu di kalangan perajin Dayak Nagju dikenal sebagai yang paling sulit. Paling sulit lantaran polanya sangat berbeda dari pola umum yang biasanya bergambar daun, akar, atau tameng dengan sedikit sisi. Anak asai punya banyak sisi.

Selain itu, semua kriya rotan dengan gambar anak asai biasanya dipakai untuk upacara adat tertentu. Anak asai dianggap sakral sehingga tak semua ibu-ibu bisa dan mau membuatnya. Meski sulit, Inding bisa menyelesaikan dua tas sehari. Untuk pola lain, dia dapat membuat tas lebih banyak lagi dalam sehari. Namun, ia mengingatkan, pembuatan kriya bukan hanya saat menganyamnya.

Inding, misalnya, harus menempuh berjam-jam untuk mencari rotan di hutan. Tangannya harus siap kapan saja tertusuk duri rotan. Butuh seminggu menunggu rotan kering setelah dijemur.

Akan tetapi, dasar seniman, meski prosesnya lama, Inding menyempatkan waktu untuk membuat warna. Bukan pewarna sintetis yang praktis, melainkan bahan alam yang butuh proses tidak kalah telaten.

Aning atau yang karib disapa Indu Amat (43) membelah rotan menjadi kian tipis agar bisa dianyam, di teras rumahnya, Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Aning atau yang karib disapa Indu Amat (43) membelah rotan menjadi kian tipis agar bisa dianyam, di teras rumahnya, Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (12/1/2024).

Ia biasanya menggunakan pewarna alami dari daun sebuah pohon atau biasa disebut daun tepanggang. Daun hijau ini mirip sirih. Namun, saat direbus, air rebusan menjadi hitam. Saat itulah, rotan direndam ke dalam air rebusan seharian.

”Kami menggunakan tungku api untuk proses ini. Kalau pakai kompor gas, nanti tasnya dikasih harga Rp 5 juta aja satu,” canda Inding.

Kriya rotan itu dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 60.000 sampai Rp 100.000 untuk tas. Untuk tikar, harganya Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Dalam sebulan, Inding bisa menghasilkan 100 tas dengan berbagai pola anyam dan jenis tas. Namun, berapa pun pesanan yang datang, ia bisa memenuhinya.

Potensi rotan

Yaya (49), warga Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mencari rotan di hutan, Jumat (12/1/2024). Dengan tangan kosong ia menebas dan membersihkan rotan yang penuh duri.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Yaya (49), warga Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mencari rotan di hutan, Jumat (12/1/2024). Dengan tangan kosong ia menebas dan membersihkan rotan yang penuh duri.

Ia tak sendiri. Ada 30 ibu-ibu lain yang membuat kriya rotan. Mereka tergabung dalam Kelompok Tani Hurung Hapakat.

Ketua Kelompok Hurung Hapakat Rica Kusmirawaty mengungkapkan, dirinya dan ibu-ibu lain biasa membuat kriya saat musim hujan. Alasannya, hujan kerap memicu banjir yang membuat aktivitas warga di luar rumah terbatas. Namun, lebih dari itu, menganyam rotan, lanjut Rica, merupakan cara ibu-ibu di Desa Kalumpang bertahan hidup.

”Ini untuk memenuhi kebutuhan hidup pascalarangan membakar. Kebijakan larangan membakar membuat runyam kehidupan mereka,” ucapnya.

Baca juga : Menangis di Hulu, Menjerit di Hilir

Sejak delapan tahun lalu mereka tak lagi menyentuh ladangnya. Mereka belum bisa mengolah ladang tanpa membakar untuk menanam padi. Bagi warga Dayak Ngaju, membakar bukan merusak.

Mereka punya cara agar api tidak meluas, mereka bahkan menjaganya seharian. Jika api melahap ladang lain, mereka bisa kena denda adat. Siapa yang mau kebakaran hutan dan lahan.

”Dulu kami tidak pernah kurang beras. Hasil ladang cukup untuk setahun, bahkan bisa untuk makan di tahun berikutnya atau dijual. Sayur-mayur, ikan, dan segalanya bisa kami dapatkan saat masih berladang,” tutur Rica.

Iklan

Semakin lama dia berkisah tentang masa ketika masih berladang, semakin terasa kesedihannya.

”Kami dilarang berladang karena dianggap merusak lingkungan. Padahal, itu salah besar,” katanya.

Resi, warga Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, membeli sayuran pada paman sayur di desanya, Senin (18/7/2022).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Resi, warga Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, membeli sayuran pada paman sayur di desanya, Senin (18/7/2022).

Kini semuanya serba membeli. Bahkan, untuk sayuran mereka terpaksa menunggu ”paman” sayur atau penjual sayuran keliling datang ke desa. Mereka pernah membuat kebun sayur di pekarangan, tetapi tahun ini habis disapu banjir.

”Hasil menjual rotan ini memang tidak seberapa, tetapi cukup untuk tambah-tambah beli beras, ya, dijual hari ini belanja beras dan dimakan untuk hari ini saja,” ujar Rica.

Anggapan rotan yang kini sekadar menjadi sarana mengisi waktu luang dengan sedikit keuntungan ini seharusnya tidak boleh terjadi. Pemerintah punya tanggung jawab besar mengubah cara pandang itu. Setelah melarang membakar, warga setempat membutuhkan solusi.

Sebelumnya, harapan pernah diapungkan negara. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyebutkan, potensi rotan di Kalteng mulai dilirik lagi sebagai wilayah pengekspor. Namun, dari potensi 10.000 ton per bulan, hanya 1.000 ton per bulan yang diserap pasar mebel di Jawa. Kebijakan larangan ekspor masih jadi masalah.

Laurensia Rusan (30), warga Desa Rangan Surai, Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Kamis (31/1/2019), mengikat rotan yang dipanen dari kebun dan hutan. Rotan itu dibersihkan di sungai, kemudian dikeringkan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Laurensia Rusan (30), warga Desa Rangan Surai, Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Kamis (31/1/2019), mengikat rotan yang dipanen dari kebun dan hutan. Rotan itu dibersihkan di sungai, kemudian dikeringkan.

Potensi itu bukan omong kosong, di Kabupaten Katingan saja masih terdapat 30.126 hektar wilayah sebaran rotan. Hasil 241.008 ton rotan mentah sekali panen.

Dalam sebulan, petani bisa memanen dua hingga empat kali. Sayangnya, sampai saat ini harganya anjlok. Di Katingan, misalnya, harganya Rp 1.300-Rp 1.500 per kilogram. Di Kapuas lebih buruk lagi, Rp 500-Rp 750 per kilogram rotan mentah.

Akibatnya tidak sederhana. Banyak warga beralih pekerjaan. Suami Rica, Bobby, misalnya, kini tidak lagi memanen rotan. Dia beralih profesi jadi buruh serabutan. Kisah rotan yang harganya pernah menyentuh Rp 2.500 per kilogram dan menyumbang banyak uang untuk membangun rumahnya kini tinggal kenangan.

”Kalau jual rotan aja memang gak laku lagi, tapi setelah jadi tas harganya berlipat. Makanya kami belajar ke mana-mana agar ada kesempatan supaya tas rotan kami lebih baik lagi,” ucap Rica.

Kerja sama

Gayung bersambut, harapan serupa diinginkan Pantau Gambut. Organisasi nonpemerintah yang berjejaring di sembilan provinsi ini fokus pada riset serta advokasi dan kampanye untuk perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia.

Pada Senin (15/1/2024), niat baik itu terlaksana. Pantau Gambut mengundang beberapa perwakilan Hurung Hapakat ke Palangkaraya. Ada juga beberapa pejabat daerah dari Kapuas yang diajak memetakan masalah tentang rotan dan mencari solusi atas tantangan tersebut.

Manajer Program Pantau Gambut Dimas Novian Hartono menjelaskan, pihaknya tak ingin hanya bicara soal restorasi, tetapi juga pengembangan komunitas. Rotan dipilih sebagai jalan untuk mengembangkan komunitas yang tinggal di atas lahan gambut.

”Tujuan besarnya, kami ingin membuat platform bersama dengan komunitas, lalu nanti (kriya rotan) dihubungkan dengan investor, tentunya investor hijau,” ungkap Dimas.

Kerja sama ini bisa membuat kriya rotan di Kapuas berkembang pesat, bahkan mendunia. Beberapa kali kriya rotan di Kalteng ikut dalam festival atau acara serupa di luar negeri.

Dimas sadar betul, di tengah kesulitan peladang Dayak di Kalteng, hasil hutan bukan kayu merupakan jalan alternatif untuk mengembalikan kejayaan mereka saat berladang. Rotan hanya satu di antara banyak pilihan hasil hutan bukan kayu. ”Tentunya itu bisa dicapai kalau hutannya masih ada,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, hadir pula Ketua I Bidang Pengembangan Kerajinan Dinas Perindustrian, Perdagangan, UMKM dan Koperasi Kabupaten Kapuas Ferdinan Jumanto. Ia menjelaskan, kerja sama itu disambut baik apalagi dengan antusias warga yang tinggi.

Walakin, pemerintah daerah juga menyiapkan beberapa upaya, salah satunya dengan membuat showroom milik Dekranasda di Kapuas dan di Provinsi Kalteng.

”Jadi nanti ibu-ibu bisa simpan hasil karyanya di tempat itu tanpa pungutan. Kalau terjual, uangnya kami transfer. Kalau ada program dan anggaran, biasanya juga kami beli dulu,” ungkap Ferdinan.

Baca juga : Potensi Besar Rotan Kalteng terhadap Kebijakan

Manajer Program Pantau Gambut Dimas Novian Hartono memberikan sambutan di acara Workshop Pantau Gambut di Palangkaraya, Senin (15/1/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Manajer Program Pantau Gambut Dimas Novian Hartono memberikan sambutan di acara Workshop Pantau Gambut di Palangkaraya, Senin (15/1/2024).

Rotan, lanjut Ferdinan, merupakan hasil hutan bukan kayu yang selalu jadi perhatian pemerintah daerah untuk dijaga keberlangsungannya. Selain karena budaya, rotan merupakan salah satu kriya yang paling diminati saat orang berkunjung ke Kalteng, sebagai cendera mata atau oleh-oleh.

”Kerja sama ini bisa membuat kriya rotan di Kapuas berkembang pesat, bahkan mendunia. Beberapa kali kriya rotan di Kalteng ikut dalam festival atau acara serupa di luar negeri,” ucapnya.

Dukungan banyak orang jelas menjadi semangat. Hanya dengan kerja bersama, hutan harus dijaga. Bila hutan hilang, semua kriya rotan yang merupakan budaya leluhur setempat pasti tinggal sejarah. Ujungnya, kehidupan manusia di sekitarnya juga yang merana.

Editor:
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000