Bersama Mencari Solusi Tawuran Geng Motor di Pantura Jabar
Tawuran antargeng motor di Cirebon kerap memakan korban jiwa. Butuh ruang bagi anak muda Cirebon mencegah hal sama.
Dua hari setelah dilantik, perempuan yang pertama menjadi Kepala Polresta Cirebon, Komisaris Besar Sumarni, langsung tancap gas. Salah satu perhatiannya adalah masalah tawuran geng motor. Ia pun berusaha mencari solusi atas masalah yang menewaskan sejumlah remaja itu.
Pada Sabtu (13/1/2024) siang, Sumarni berpatroli bersama anggotanya di sejumlah ruas jalan di Cirebon. Tidak berhenti di situ, pada malam hari, ia menginstruksikan jajarannya untuk melakukan kegiatan rutin yang ditingkatkan atau KRYD hingga Minggu (14/1/2024) subuh.
Sekitar pukul 04.30 di Desa Kedongdong, Kecamatan Susukan, polisi melihat enam remaja berkumpul. Saat diperiksa, salah satu di antara mereka, yakni MIK (18), membawa sepotong besi sepanjang 120 sentimeter. Dari pengembangan kasus, polisi menemukan barang bukti lainnya.
Bukti itu, antara lain, tiga pelat besi ukuran 120 cm, pelat besi berbentuk sabit dengan panjang 60 cm, dan pipa plastik berbentuk L sepanjang 180 cm. Polisi juga menyita dua batang samurai berbahan kayu berwarna hijau. Namun, polisi masih mencari para pemilik senjata tersebut.
”Dari enam remaja ini, satu jadi tersangka karena memiliki senjata tajam,” ucap Sumarni. Kepemilikan senjata tajam yang tidak sesuai peruntukan dan haknya melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara.
Sumarni menuturkan, MIK merupakan anggota geng motor yang akan tawuran dengan geng lainnya. Dia dan kawan-kawannya berencana menggunakan senjata tajam itu. Polisi segera bertindak demi mencegah bentrokan itu. Apalagi, sudah banyak nyawa yang melayang.
Lama sekolah masih juga masih 7,4 tahun. Artinya, anak-anak Cirebon lulusan SMP kelas 1 dan 2 (putus sekolah) di tengah jalan. Ini yang berkontribusi pengangguran. Kalau kita bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, saya rasa (pengangguran) berkurang.
Korban jiwa
Dikutip dari Kompas.com, seorang pelajar berusia 14 tahun tewas dalam tawuran antara dua kelompok pemuda di Desa Palimanan Barat, Kecamatan Gempol, Sabtu (23/12/2023) dini hari. Korban dibawa ke rumah sakit. Namun, korban tidak selamat karena luka di lehernya.
Akhir tahun 2022, SA (17) juga meregang nyawa akibat tawuran. Lebih ironis lagi, pelakunya adalah GN dan RS, pelajar berusia 17 tahun. Dari tempat kejadian, polisi menyita sejumlah senjata tajam, seperti celurit dan katana sepanjang hampir 1 meter. Bahkan, ada juga stik golf.
Kasus ini berawal dari saling balas pesan di Instagram antara dua geng. Isinya, saling tantang untuk tawuran.
Kedua kelompok ini pun sepakat bertemu dengan kode COD (cash on delivery). Istilah ini sebenarnya merujuk pada belanja daring dengan sistem bayar di tempat.
Baca juga: ”Konten” Saling Tantang di Cirebon Kembali Mencabut Nyawa Pelajar
Sederet kasus tawuran geng motor ini meresahkan warga. Sebuah forum masyarakat, yakni Ruang Diskusi Cirebon, membuat diskusi bertajuk ”Konstruksi Sosial Anggota Geng Motor” pada Selasa. Sumarni, Wakil Bupati Cirebon Wahyu Tjiptaningsih, dan pemerhati anak turut hadir.
Dalam diskusi itu, forum menyepakati bahwa geng motor berbeda dengan klub motor. Geng motor diartikan sebagai sekelompok orang yang menggunakan sepeda motor dan bertindak kriminal, seperti tawuran. Sumarni pun baru belakang ini mendengar istilah geng motor.
”Saya dari Pontianak (Kalimantan Barat). Di sana, kami tidak pernah dengar geng motor. Hampir tidak ada kasus geng motor, kalau klub motor ada. Saya baru tahu adanya geng motor itu setelah nonton Dilan dan Milea. Tadinya saya pikir itu fiksi,” ungkapnya.
Namun, ketika menjabat Kapolres Sukabumi Kota di Jabar, ia menemukan sejumlah kasus kriminal yang melibatkan geng motor. ”Beberapa kali kita (membuat) komitmen enggak akan mengulangi, tapi kejadian lagi. Ada senjata tajam. Ujung-ujungnya ada yang dilukai,” ujarnya.
Tidak murah
Sumarni paham, pendekatan hukum belum cukup mengatasi masalah itu. Ia pun mendatangi rumah sejumlah anggota geng motor. Ternyata, mereka kurang perhatian. ”Ada yang tinggal sama neneknya. Ada yang orangtuanya pergi keluar negeri. Saya jadi nangis,” katanya.
Saat itu, ia sadar, mereka membutuhkan sentuhan pemangku kebijakan. Dia lalu membangun Rumah Kreatif Milenial tahun 2020 untuk memberdayakan anggota geng motor. Di sana, mereka belajar membatik, membuat ecoprint, menjadi barista, serta menyablon baju.
Bahkan, menurut dia, hadiah dari video ”new normal” karya Polres Sukabumi Kota yang juara dua nasional digunakan untuk pemberdayaan pemuda, termasuk geng motor.
”Memang tidak murah membina anak itu karena masalah mereka sudah sangat panjang,” ungkap Sumarni.
Baginya, anak-anak yang terjebak geng motor sebenarnya memiliki talenta mumpuni. Namun, mereka tidak punya akses dan kesempatan untuk berkarya. Itu sebabnya, ia bersama pemerintah daerah serta tokoh masyarakat dan agama mencoba merangkul para remaja tersebut.
Ketika menjabat di Kapolres Subang, Sumarni juga mengajak anak jalanan membuat telur asin dan meracik kopi. ”Saya pernah nanya salah satu anak punk. ’Surya, kenapa kamu panas-panasan di jalan?’ Dia bilang, kalau ada kesempatan kerja, dia juga enggak mau di jalan,” ujarnya.
Sumarni ingin menerapkan lagi pendekatan sosial itu untuk mencegah tawuran geng motor di Cirebon. ”Jangan pemerintah buang uang untuk habiskan anggaran, rangkul mereka. Saya enggak apa-apa siang malam menyediakan rumah untuk membina anak-anak ini,” ungkapnya.
Wahyu Tjiptaningsih sependapat. Menurut dia, remaja yang tawuran membutuhkan wadah kreativitas. Namun, anggaran pemda masih terbatas. Sekitar 55-60 persen dari sekitar Rp 4 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah habis untuk belanja tidak langsung.
Walakin, pihaknya bakal berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Cirebon untuk menyiapkan anggaran khusus. ”Ini akan dianggarkan tahun 2025 agar anak-anak Cirebon bisa melakukan yang dia inginkan,” ujar Ayu, sapaannya.
Di sisi lainnya, kondisi keluarga, lingkungan, pendidikan, hingga pengangguran di Cirebon turut memicu maraknya kasus tawuran remaja. Tahun lalu, tingkat pengangguran terbuka di daerah berpenduduk 2,3 juta jiwa ini tercatat 7,65 persen. Jumlah ini turun dari 8,1 persen pada 2022.
”Lama sekolah masih juga masih 7,4 tahun. Artinya, anak-anak Cirebon lulusan SMP kelas 1 dan 2 (putus sekolah) di tengah jalan. Ini yang berkontribusi pengangguran. Kalau kita bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, saya rasa (pengangguran) berkurang,” katanya.
Doni Suroto, pemerhati masalah sosial di Cirebon, menilai, maraknya tawuran remaja yang tergabung dalam geng motor terjadi lima tahun terakhir. ”Mereka baru 1-2 kali ikut (klub motor) terus bentuk komunitas kecil. Di komunitas inilah mereka tawuran,” ungkapnya.
Menurut dia, tidak hanya di jalan raya, aksi meresahkan remaja ini juga sudah masuk desa. Bersenjata tajam, mereka kerap tawuran pada Sabtu malam atau Minggu dini hari. Doni pun mendorong polisi, aparat desa, dan warga bekerja sama mencegah tawuran.
”Sekarang ada program polisi RW. Saya berharap itu diimplementasikan. Keterlibatan sekolah juga perlu. Yang jadi pertanyaan, solusi kreatif center untuk mengatasi masalah ini, kok, dari polisi? Bukannya dari dinsos, disnaker, atau anggota DPRD,” ungkapnya.
Sepulang dari diskusi, Sumarni kembali ke polresta untuk merilis upaya penggagalan tawuran. Namun, ekspose tertunda karena listrik padam. ”Ada yang bisa telepon PLN?” tanyanya. Seperti acara rilis yang terkendala listrik yang padam, persoalan tawuran antargeng motor juga membutuhkan peran dan bantuan berbagai pihak.
Baca juga: Tawuran Geng Motor di Cirebon Terus Menelan Korban Jiwa