Fenomena Banjir Parah di Sumsel akibat Daya Dukung Lingkungan Terganggu
Banjir kali ini, kata Pemprov Sumsel, akibat kemampuan tanah menyerap air berkurang karena terpapar kemarau tahun lalu.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Fenomena banjir parah yang baru melanda sejumlah daerah di Sumatera Selatan, di antaranya di Kabupaten Musi Rawas Utara, tidak bisa dimungkiri akibat daya dukung lingkungan terganggu. Fenomena itu tidak boleh diabaikan, tetapi harus dilakukan analisis yang komprehensif. Kalau tidak, bencana serupa akan berulang dan menyebabkan kerugian lebih besar.
”Alam adalah salah satu faktor kalibrasi yang tidak bisa dibohongi. Kalau kita menyatakan baik, tetapi begitu hujan terjadi banjir, itu bisa dinarasikan bahwa ada yang tidak baik dengan lingkungan tersebut. Untuk itu, Pemprov Sumsel harus mencermati secara serius, apa faktor yang menyebabkan banjir tersebut. Jangan sembrono, fenomena itu harus segera dianalisis penyebab pastinya,” ujar Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq di Kebun Raya Sriwijaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, Sabtu (20/1/2024).
Hanif berkunjung untuk mengikuti kegiatan ”Penanaman Pohon dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai” di areal Kebun Raya Sriwijaya. Seusai kegiatan itu, Hanif menjelaskan, ada empat jasa utama yang diberikan oleh lingkungan, meliputi tata air, fungsi karbon, biodiversitas, dan penyedia pangan. Kalau kondisinya terganggu, fungsi layanan dari lingkungan itu pasti ikut terganggu.
Sebagai contoh, lahan yang daya serap airnya tidak lagi optimal akan mudah menyebabkan banjir saat musim hujan dan menjadi bahan bakar potensial untuk terbakar ketika musim kemarau. ”Apalagi wilayah Sumsel sebagian besar berupa rawa gambut. Kalau sudah terganggu, rawa gambut sulit untuk kembali membaik,” kata Hanif.
Mengetahui fenomena banjir yang baru melanda tujuh kabupaten di Sumsel, antara lain di Musi Rawas Utara yang dinilai oleh sejumlah warga sebagai terparah dalam 20-25 tahun terakhir, Hanif mengatakan, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan bencana alam tersebut. Faktor-faktor itu yang harus dipastikan secara pasti oleh pemerintah setempat.
Kalau lanskap yang tidak baik, pemerintah harus membangun kolam-kolam retensi untuk menampung air saat debit membesar. Kalau tutupan hutan yang tidak baik, pemerintah harus melakukan rehabilitasi yang masif di sana. Dari analisis-analisis itu dijadikan semacam keputusan gubernur atau peraturan daerah untuk penangan dan pencegahannya.
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena banjir seperti itu bisa datang lagi, bisa berulang. Jadi, saya minta kepada teman-teman di Sumsel untuk melakukan kajian penyebab banjir itu dengan serius.
”Fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena banjir seperti itu bisa datang lagi, bisa berulang. Jadi, saya minta kepada teman-teman di Sumsel untuk melakukan kajian penyebab banjir itu dengan serius. Mumpung baru kejadian, biasanya masih mengentak empati. Kalau nanti-nanti, saat air (banjir) hilang, nanti lupa lagi. Ingat, kerugian yang ditimbulkan banjir jauh lebih besar dibandingkan dengan upaya pencegahanya,” tuturnya.
Dampak kemarau panjang
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto di tempat yang sama menuturkan, fenomena banjir kali ini disebabkan kondisi tanah di kawasan serapan air di hulu-hulu sungai agak memadat karena terpapar kemarau panjang ekstrem tahun lalu. ”Hal itu membuat kemampuan tanah menyerap air berkurang sehingga air terlimpas dan menimbulkan banjir luapan sungai (di tujuh kabupaten baru-baru ini),” ujarnya.
Pandji menilai, wilayah DAS di Sumsel masih cukup baik walaupun perlu ada peningkatan. Dia tidak menafikan ada kerusakan kawasan hutan di hulu atau sekitar sungai. Kerusakan itu karena ada kegiatan pembukaan lahan untuk kegiatan budidaya, terutama oleh masyarakat yang butuh lahan untuk sumber kehidupan. Kegiatan budidaya ini yang butuh pendampingan agar tidak sampai merusak lingkungan.
”Selain itu, rehabilitas DAS dengan penanaman pohon yang beragam mesti digalakkan. Idealnya itu ada pohon tinggi, sedang, dan pendek untuk menahan laju air. Kalau air terlimpas begitu saja, itu meningkatkan risiko terjadinya banjir,” ucap Pandji.
Keterangan Pandji mengenai fenomena banjir kali ini disebabkan kondisi tanah memadat atau kering karena kemarau panjang 2023, berbeda dengan yang dirasakan oleh warga. Berdasarkan data Sipongi.Menlhk.go.id per 16 Januari 2024, kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Sumsel pada 2023 tidak separah tahun 2019.
Setidaknya, luas kebakaran Sumsel pada 2023 sebesar 132.082,9 hektar, terdiri dari 74.975,5 hektar lahan mineral dan 57.107,3 hektar lahan gambut. Pada 2019, luas kebakaran di Sumsel mencapai 336.798,1 hektar yang terdiri dari 199.923,1 hektar lahan mineral dan 136.875,0 hektar lahan gambut.
Kendati demikian, menurut pengakuan sejumlah warga yang terdampak banjir di Sumsel, banjir kali ini justru yang terparah dalam 20-25 tahun terakhir. Banjir kali ini terjadi di Musi Rawas Utara, Musi Rawas, Muaraenim, Musi Banyuasin, Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Prabumulih, dan Ogan Ilir.
Selama banjir yang terjadi antara pekan kedua dan pekan ketiga awal bulan tersebut, Musi Rawas Utara menjadi daerah terdampak paling parah, antara lain menyebabkan 13.527 keluarga mengungsi, 2 rumah hanyut, 8 rumah rusak berat, 229 rumah rusak ringan, 7 jembatan gantung putus, dan 679 hektar lahan sawah gagal panen. ”Seumur hidup saya, ini banjir terbesar yang pernah saya alami di sini,” ungkap warga Desa Rantau Kadam, Kecamatan Karang Dapo, Musi Rawas Utara, Rauf Patona (25).