Bandeng Ambulu Cirebon Bertahan di Tengah Perubahan Iklim
Perikanan budidaya ikan bandeng di Desa Ambulu, Kabupaten Cirebon, kini terancam banjir rob akibat perubahan iklim.
Ikan bandeng dari Desa Ambulu, Kecamatan Losari, menjadi salah satu komoditas unggulan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kelezatannya bahkan sampai ke luar kota. Namun, perubahan iklim yang ditandai banjir rob mengancam usaha ini. Menghadapi itu, petambak tidak ingin menyerah begitu saja.
Matahari semakin meninggi saat sejumlah warga menceburkan diri ke tambak di Desa Ambulu, Rabu (10/1/2024). Mereka sedang panen bandeng memakai jaring. Ikan bersisik putih itu menggeliat. Ukurannya terbilang besar, panjang dari mulut hingga ekor bisa 30 sentimeter.
Meski terkena lumpur, terik, dan kebasahan, para petambak yang mengenakan baju merek pupuk serta toko bangunan ini lebih banyak tersenyum. Senyum itu juga yang tersungging saat mereka bersama-sama menggotong puluhan ikan yang sudah ditimbang di pinggir tambak. Sebagian ada juga yang menyimpan ikan di kantongnya.
”Hari ini panen kami berhasil. Alhamdulillah, untuk ukuran satu kilogram mencapai 4-5 ekor,” ucap Ketua Kelompok Petambak Kalibetik Lestari, Bunyamin Muhammad. Biasanya, petambak mendapatkan bandeng yang lebih kecil dengan ukuran 7-10 ekor dalam 1 kg.
Pagi itu, Bunyamin dan beberapa anggota kelompoknya panen di satu hektar tambak. Ia memperkirakan hasilnya bisa mencapai 6-7 kuintal. Sebagai bentuk syukur, mereka membakar dadakan sejumlah ekor bandeng. Daging ikannya lembut dan kulitnya gurih.
Produksi bandeng kali ini, katanya, yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, saat masa panen, petambak acap kali murung. Bagaimana tidak, ikan yang mereka budidayakan berbulan-bulan justru hilang dalam sekejap akibat banjir rob. Padahal, ikan sudah siap diambil.
”Waktu itu, di sini bukan lagi empang, melainkan lautan. Jalanan aja sudah enggak kelihatan. Padahal, kedalaman empang ke jalan itu dua meter lebih,” kata Bunyamin. Tanggul dan tanaman mangrove setinggi 1-3 meter belum mampu sepenuhnya menahan banjir rob.
Baca juga: Petambak dan Petani Indramayu Rugi Lebih Seratus Miliar
Berada di pesisir utara Jawa, Ambulu memang menjadi langganan rob setiap tahun. Namun, menurut Bunyamin, rob terparah berlangsung lima tahun terakhir. Indikatornya, dalam setahun, rob bisa terjadi berkali-kali dan menyentuh permukiman. Kondisi itu terjadi seiring dengan perubahan iklim.
Paling terasa, musim hujan dan kemarau yang tidak menentu. Biasanya, hujan mulai turun pada Desember. Namun, awal Januari ini, hampir setiap hari terik menyelimuti Ambulu. Tidak hanya di Cirebon, perubahan iklim juga terasa di daerah hingga belahan dunia lainnya.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bahkan menyebut tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Data yang dikumpulkan WMO menunjukkan, rata-rata suhu tahunan global tahun lalu mencapai 1,45 ± 0,12 derajat celsius, di atas suhu pra-industri pada 1850-1900 (Kompas.id, 15/1/2024).
Menurut Bunyamin, selain masalah iklim yang memicu rob, pola budidaya juga menghambat produktivitas ikan. Bibit bandeng, misalnya, masih prematur sehingga membutuhkan waktu budidaya 6-9 bulan sebelum panen. Ia tidak tahu mengapa bibit ikan banyak yang prematur.
”Padahal, dulu orangtua kami (tahun 1990-an), panennya bisa tiga bulan. Itu karena bibitnya alami dan tidak prematur,” ucapnya. Bibit ikan bandeng itu berasal dari Cirebon, sejumlah daerah di Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Kini, masa budidaya bisa lebih setengah tahun.
Persoalannya, banjir rob lebih dulu datang dibandingkan waktu panen. Akibatnya, produktivitas ikan bandeng anjlok dari biasanya 6 kuintal menjadi 3 kuintal per hektar. Bahkan, tidak jarang, petambak hanya mengais puluhan kg bandeng. Selebihnya, ikan-ikan kabur bersama rob.
Baca juga: Keberagaman dan Konservasi Lingkungan dari RW 008 Merbabu Asih Cirebon
Percepat panen
Kondisi berubah saat petambak mengikuti program kampung budidaya dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun lalu. Program itu memberikan bantuan pakan hingga bibit ikan senilai sekitar Rp 500 juta.
Lima kelompok ikan bandeng turut serta, termasuk Bunyamin. Masa tebar benih pun dipercepat dari biasanya pada Oktober menjadi Agustus. Pola ini otomatis mempercepat masa panen dari sebelumnya enam bulan menjadi hanya lima bulan atau tepat Januari.
Apalagi, banjir rob kerap datang pada Februari. Meski lebih dini, hasilnya lumayan. Atmaja (52), petambak dari Kelompok Petambak Putra Jaya, bahkan bisa meraup 6,9 kuintal ikan bandeng dari lahan satu hektar. Tahun lalu, saat terdampak rob, ia hanya mendapatkan 10 kg bandeng.
Bandeng Losari itu yang paling terkenal. Kalau ke pasar di Jakarta dan Bandung, pedagang itu menawarkan ikan sambil bilang, bandeng Losari.
Sayangnya, panen kali ini belum disertai harga memadai. Satu kg ikan bandeng di Ambulu dibanderol berkisar Rp 20.000. ”Biasanya, sih, bisa Rp 25.000 per kg. Di pasar malah Rp 35.000 per kg. Kendala di sini itu pemasaran. Bakul (tengkulak) juga mencari ikan yang ukuran kecil,” ucapnya.
Bandeng kecil dicari di pasaran, menurut dia, karena cocok untuk dijadikan presto. Sebaliknya, bagi petambak, harga bandeng ukuran itu lebih murah. Di sisi lainnya, hampir seluruh petambak di Ambulu juga masih menjual ikan, bukan olahannya. Warung khusus bandeng bahkan belum ada.
Terlepas dari hal itu, Atmaja berharap, bantuan bibit dan pakan dari pemerintah tetap berlanjut dan segera menangani masalah banjir rob. ”Dulu ada udang alami yang hidup di tambak. Sehari penghasilannya bisa Rp 100.000. Tapi, sejak sering rob, udangnya enggak ada lagi,” katanya.
Sunaji, Kuwu (Kepala Desa) Ambulu, mengatakan, rob sudah memukul usaha budidaya perikanan di desanya. Apalagi, sebagian besar warga dari penduduk 6.000 jiwa merupakan petambak dan nelayan. Dari total 1.210 hektar wilayah desa, sekitar 800 hektar adalah tambak.
Potensi ekonomi dari tambak itu tidak main-main. Dengan asumsi rata-rata produktivitas 6 kuintal per hektar ikan bandeng, potensi produksi bisa mencapai 4.800 kuintal per satu musim atau enam bulan. Dengan harga Rp 20.000 per kg, nilai produksi menyentuh Rp 9,6 miliar.
Angka ini hampir sembilan kali lipat dibandingkan dana desa yang berkisar Rp 1 miliar per tahun. Namun, peluang pundi-pundi rupiah itu rentan lenyap karena rob. Tidak hanya itu, Cirebon juga dapat kehilangan makanan khasnya, yakni bandeng Losari yang sentranya berada di Ambulu.
”Bandeng Losari itu yang paling terkenal. Kalau ke pasar di Jakarta dan Bandung, pedagang itu menawarkan ikan sambil bilang, bandeng Losari. Padahal, bandeng yang dijual dari daerah lain,” ucapnya. Di aplikasi jual beli daring juga tidak sulit menemukan bandeng khas Losari Cirebon. Daging lembut dan kulit yang gurih jadi daya tarik utamanya.
”Bandeng khas ini tidak boleh punah. Panen kali ini membuktikan bandeng Ambulu, Losari, itu masih ada dan selalu ada,” kata Sunaji. Terlebih, tambak menjadi andalan warga setelah sawah warga perlahan hilang akibat banjir rob dan penurunan muka tanah.
Kondisi turunnya muka tanah itu tampak dari sejumlah halaman rumah dan balai desa yang diuruk. ”Kalau enggak diuruk, nanti banjir terus. Kayaknya muka tanah itu turun 6-8 cm beberapa tahun terakhir. Ini yang bikin pusing,” kata Sunaji.
Kepala desa dua periode ini mengakui, anggarannya tidak cukup menangani masalah tersebut. Untuk mengeruk tambak dan membuat tanggul saja pihaknya harus menyewa ekskavator dengan biaya Rp 1 juta per jam. Itu belum termasuk ongkos bahan bakar.
Seperti saling berkaitan, semuanya diduga ikut membuat tren produksi bandeng di Cirebon menyusut. Menurut laman Statistik KKP, tahun 2022, produksinya tercatat 1.530 ton dengan nilai produksi mencapai Rp 53 miliar. Padahal, pada 2019, produksi bandeng mencapai 9.276 ton dengan nilai menyentuh Rp 324 miliar.
Kepala Bidang Perikanan Budidaya DKPP Kabupaten Cirebon Susi Setiawati mengakui, produksi perikanan budidaya di Cirebon menurun karena rob. Namun, penanganannya menyangkut berbagai sektor. ”Kebijakan perikanan budidaya adalah pembinaan, penyuluhan, dan sosialisasi budidaya perikanan yang baik,” ucapnya.
Masalah rob, yang merupakan dampak dari perubahan iklim, masih membayangi petambak di Cirebon dan juga daerah lainnya. Sejauh ini, petambak beradaptasi dengan bibit unggul hingga percepatan panen. Namun, sampai kapan mereka bertahan, belum ada yang tahu.
Baca juga: Adaptasi Rob dari Jenang Terong Pekalongan dan Kekuatan Anak Muda Dunia