Picu Sedimentasi Sungai, Tata Kelola Tambang Galian C di Kerinci Mesti Dibenahi
Tata kelola tambang galian C di Kerinci mesti dibenahi karena turut memicu pendangkalan sungai dan menyebabkan banjir.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
KERINCI, KOMPAS — Pemerintah daerah didorong membenahi tata kelola tambang galian C di Kabupaten Kerinci, Jambi, karena berkontribusi pada sedimentasi dan pendangkalan sungai. Ribuan warga terdampak banjir besar di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci akibat meluapnya Batang Merao dan Danau Kerinci.
Aktivitas tambang galian C marak di anak-anak sungai di pinggir jalan lintas Sungai Penuh-Padang, Desa Siulak Deras Mudik, Kecamatan Danau Kerinci. Sebagian hasil tambang itu dikirim untuk material pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Merangin. Tambang itu ada yang beroperasi dan berizin serta ada pula yang sudah ditutup karena tak berizin.
Dari lokasi tambang-tambang itu, termasuk yang berizin, mengalir air mengandung lumpur dan batu ke sungai-sungai kecil, seperti Sungai Cubadak dan Sungai Sigabung di Desa Siulak Deras Mudik serta Sungai Tuak di Desa Siulak Deras. Sungai-sungai itu bergabung ke Sungai/Batang Merao, yang bermuara di Danau Kerinci.
”Sungai (Tuak) dangkal karena orang mengerok (menambang) di atas. Sudah bahaya, masih juga mengerok. Tembok rumah kami hampir roboh karena sungai meluap. Rumah tetangga ada yang dapurnya hanyut,” tutur Ita, warga di sekitar Sungai Tuak, Minggu (21/1/2024).
Banjir besar sejak awal tahun menyebabkan bantaran Sungai Tuak terkikis. Minggu siang, aliran sungai itu coklat pekat dan dangkal. Di badan sungai, ada bertumpuk-tumpuk batu koral. Di bagian hulunya terdapat tambang galian C berizin. Menurut Ita, baru tiga hari ini air sungai susut.
”Dulu sungainya dalam, sekarang dangkal. Ada mungkin sekitar 4 meter ketebalan lumpur dan batu koralnya. Sudah lama melapor, tetap kami rakyat biasa ini tidak bisa apa-apa. Kami berharap pemerintah memberikan perhatian,” ujar Ita.
Sekitar 5 km ke bagian hilirnya di Desa Lubuk Nagodang, Kecamatan Siulak, air Batang Merao keruh. Airnya juga meluap dan mengikis bantaran sungai. Di badan sungai, bertumpuk-tumpuk batu koral membelah aliran sungai.
”Sejak banyak tambang galian C di hulu, air Batang Merao tak pernah jernih lagi. Sungai juga dangkal, dulu sekitar 2 meter, sekarang hanya 1 meter,” ucap Heri (55), petambang pasir skala kecil di bantaran Batang Merao, Desa Lubuk Nagodang.
Di Desa Tanjung dan Desa Tanjung Muda, Kecamatan Hamparan Rawang, Kota Sungai Penuh, ratusan rumah masih terendam banjir akibat meluapnya Batang Merao. Lokasi itu sekitar 28 km arah hilir dari kawasan tambang-tambang galian C.
Pada Sabtu (20/1/2024), masih banyak rumah di desa-desa itu terendam banjir 1 meter lebih. Sementara muka air Batang Merao masih tinggi. Airnya coklat pekat. Saat banjir, air tersebut meluap ke rumah warga disertai material lumpur yang menimbun sebagian rumah.
”Kami berharap ada perhatian pemerintah. Sudah lama Batang Merao dangkal, sempit, dan berlumpur. Semoga sungainya bisa dikeruk dan tembok penahan sungai ditambah supaya sungai tidak meluap. Tidak pernah banjir separah ini sebelumnya,” kata Melani Juniastika, warga Desa Tanjung Muda.
Berdasarkan data mutakhir Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sungai Penuh, per 14 Januari 2024, yang dipajang di kantor instansi itu, jumlah wilayah terdampak banjir ada 28 desa dan 1 kelurahan. Sebanyak 7 desa tidak lagi terdampak banjir. Adapun jumlah warga terdampak 5.673 keluarga atau 17.155 jiwa. Jumlah pengungsi mencapai 7.175 jiwa.
Sementara itu, Satgas Tanggap Darurat Bencana Banjir dan Longsor Kabupaten Kerinci mencatat, hingga 17 Januari 2024, banjir dan longsor melanda 16 kecamatan dan 95 desa di kabupaten ini. Sebanyak 6.668 keluarga atau 19.634 jiwa terdampak, sebagian warga mengungsi ke rumah keluarga.
Kepala Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jambi Novaizal Varia Utama mengatakan, pihaknya tidak punya kewenangan terhadap bekas tambang galian C tanpa izin. ”Namun, terkait penambangan yang menghasilkan lumpur akan kami koordinasikan dengan Kementerian ESDM melalui inspektur tambang terkait pengawasannya,” ujarnya.
Pejabat Pembuat Komitmen Operasi dan Pemeliharaan IV Satuan Kerja OP Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI, Sony Trianto, mengatakan, Batang Merao memang mengalami sedimentasi. Dinding penahan tanah yang ditumbuhi pepohonan di beberapa titik menandakan sedimennya tinggi dan sudah lama.
Menurut Sony, sumber sedimentasinya dari hulu. ”Tapi banyak faktornya, ada alih fungsi lahan, aktivitas penambangan juga bisa jadi. Karena ini tidak di Kerinci saja ya, (juga ada) di Sarolangun, di Bungo,” ucapnya.
Untuk langkah selanjutnya, kata Sony, BWSS VI akan mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kerinci, Pemerintah Kota Sungai Penuh, Pemerintah Provinsi Jambi, dan lainnya, pekan depan. Dalam pertemuan itu akan dibahas solusi selanjutnya.
”Untuk normalisasi, kan,butuh studi dulu. Mungkin itu yang akan kami bahas. Untuk tindak lanjutnya itu lagi proses juga. Kalau kita bersinergi, mungkin akan ketemu nanti solusinya,” tuturnya.
Terkait tambang galian C di wilayahnya yang menghanyutkan air berlumpur dan bebatuan sehingga berkontribusi pada banjir, Penjabat Bupati Kerinci Asraf mengatakan, pihaknya akan mengadakan focus group discussion (FGD) bersama BWSS VI.
”FGD akan menghadirkan para tokoh yang ahli di bidangnya untuk membahas secara komprehensif penyebab banjir dan tanah longsor di Kabupaten Kerinci. FGD akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Nanti juga akan diundang tokoh-tokoh masyarakat Kerinci,” ucapnya.
Kerusakan di hulu tidak hanya menghilangkan kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan, tetapi juga meningkatkan laju sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan.
Manajer Kajian Walhi Jambi Dwi Nanto mengatakan, selain alih fungsi lahan di hulu, aktivitas tambang galian C berkontribusi atas banjir besar yang melanda Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Kerusakan di hulu tidak hanya menghilangkan kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan, tetapi juga meningkatkan laju sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan sehingga daya tampung sungai berkurang.
Terkait aktivitas tambang yang memicu sedimentasi, Dwi mendorong pemerintah melakukan evaluasi. Jika melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW), tambang harus ditindak. Namun, jika sesuai RTRW, tetapi aktivitasnya merusak lingkungan, pemerintah harus mengubah RTRW-nya, disesuaikan dengan bentang alam atau situasi lingkungan.
”Tata kelolanya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung wilayah tersebut,” kata Dwi. Adapun terkait bekas tambang tak berizin yang dibiarkan begitu saja, ia menyebut pemerintah bertanggung jawab melakukan pemulihan.
Tentang alih fungsi lahan di hulu, Dwi mengatakan, perusakan terhadap tutupan hutan tersisa harus dihentikan. Hutan yang rusak harus dipulihkan. Jika tidak ada upaya pemulihan terhadap kerusakan di hulu, baik akibat tambang maupun alih fungsi lahan, banjir parah akan terus terjadi dan berpotensi meluas ke kabupaten/kota lain di bagian hilir.