Satwa lindung dari Indonesia diperjualbelikan hingga ke pasar gelap internasional.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — KDR (48) dan MHB (24), keduanya warga Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, ditangkap aparat kepolisian karena menyimpan bagian tubuh satwa lindung harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). KDR merupakan aparatur sipil negara di kantor kecamatan, sedangkan MHB seorang petani.
Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Achmad Kartiko dalam konferensi pers di Banda Aceh, Senin (22/1/2024), mengatakan, KDR berperan sebagai perantara dalam mencari calon pembeli kulit harimau, sedangkan MHB adalah orang yang diajak KDR.
KDR bekerja di kantor kecamatan di Kabupaten Aceh Timur. Dia memperoleh kulit harimau dari seseorang yang identitasnya masih dirahasiakan. Keduanya ditangkap pada 11 Januari 2024 di sebuah desa di Aceh Timur. KDR bertugas mencari calon pembeli dan bernegosiasi harga. Setelah diintai hampir dua bulan, pelaku ditangkap setelah petugas menyamar sebagai calon pembeli.
”Barang buktinya satu helai kulit harimau masih lengkap dan satu mobil Toyota Avanza,” kata Kartiko.
Setelah menangkap dua tersangka, penyidik masih mendalami untuk mengungkap jaringan perdagangan, termasuk memburu pelaku yang menangkap harimau tersebut.
Harimau tersebut berjenis kelamin jantan, berusia sekitar 12 tahun. Harimau itu ditangkap dengan cara diburu. Pada pergelangan kaki terdapat bekas jerat dan lubang suntikan. Harimau itu diduga dikuliti sekitar enam jam setelah kena jerat.
Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ancaman hukuman maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta.
”Saat ini, permasalahan lingkungan hidup sangat serius. Kami meminta kepada semua pihak untuk menjaga lingkungan dan tidak memburu satwa lindung,” kata Kartiko.
Direktur Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Winardy menuturkan, setelah kedua tersangka ditangkap, polisi menggeledah mobil milik KDR dan ditemukan satu helai kulit harimau lengkap dengan organ tubuh lain.
Winardy mengatakan, kasus ini tidak berhenti pada dua tersangka karena kuat dugaan masih ada orang lain yang terlibat, salah satunya pemburu yang berperan menguliti harimau. ”Kasus ini masih didalami, kami tidak bisa ungkap di sini semuanya. Kami masih mengejar pelaku lain,” katanya.
Sepanjang 2020-2024, Kepolisian Daerah Aceh menangani 23 kasus perdagangan satwa lindung dengan jumlah tersangka 35 orang dan nilai kerugian sekitar Rp 2,5 miliar.
Saksi ahli dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Taing Lubis, menduga pemburu harimau itu bukan pemain pemula. Kulit harimau itu utuh tanpa cacat. ”Cara pelaku menguliti kulitnya sangat rapi. Setelah terkena jerat, harimau itu disuntik, baru dikuliti. Kemungkinan harimau ini dikuliti di bawah enam jam setelah kena jerat,” katanya.
Aktivis lingkungan dari Harimau Kita Wilayah Aceh, Tezar Pahlevi, menyebutkan, satwa lindung dari Aceh diperjualbelikan ke luar negeri. Selain harimau, orangutan juga termasuk yang paling diburu. ”Ada temuan kasus perdagangan orangutan sumatera (Pongo Abelii) asal Aceh yang dikirim langsung dari Aceh menuju Thailand dan berakhir di Timur Tengah,” katanya.
Jumlah perputaran uang hasil dari perdagangan satwa lindung menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal.
Tezar menambahkan, jumlah perputaran uang hasil dari perdagangan satwa lindung menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal.
”Hal ini tidak terlepas karena Aceh masih memiliki hutan yang masih bagus dibandingkan daerah lain. Begitu juga dengan kekayaan satwa yang kita punya dan tergolong ke dalam satwa endemik, yakni gajah, harimau, badak, dan orangutan, masih hidup berdampingan di satu kawasan,” kata Tezar.