Korupsi Tak Berkesudahan dan Hiruk Pikuk Pemilu di Sumut
Tidak ada titik terang pemberantasan korupsi di Sumut. Pelakunya bahkan residivis pada kasus korupsi bupati sebelumnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Di tengah hiruk pikuk Pemilihan Umum 2024, Bupati Labuhan Batu Erik A Ritonga ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (11/1/2024). Erik menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat korupsi di Sumut. Korupsi masif seolah tidak bisa dihentikan meskipun sudah berkali-kali kepala daerah, dari mulai bupati, wali kota, hingga gubernur, ditangkap dan diadili karena korupsi.
”Satu aspek yang belum ada saat ini adalah perbaikan pengawasan dan tata kelola pemerintahan. Semua sistem pengawasan yang ada di Sumut adalah bagian dari masalah korupsi itu sendiri. Masak jeruk makan jeruk,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora Redyanto Sidi Jambak, di Medan, Selasa (23/1/2024).
Jika tidak ada perbaikan tata kelola dan pengawasan, Redyanto menyebut, kasus korupsi kepala daerah di Sumut akan terus berlanjut. Kepala daerah yang tertangkap KPK dianggap sedang apes saja. Belum lagi hukuman yang dijatuhkan kepada kepala daerah belakangan ini semakin ringan untuk kategori kejahatan luar biasa sehingga tidak menimbulkan efek jera. Kemauan politik para elite daerah untuk memberantas korupsi juga tidak ada.
Modus korupsi yang dilakukan Erik terbilang sangat umum dan menjadi gambaran pelaksanaan berbagai proyek di berbagai daerah di Sumut. Dia bersama seorang anggota DPRD Labuhan Batu, Rudi Syahputra Ritonga, menerima suap dari dua orang pihak swasta, yakni Efendy Syahputra alias Asiong dan Fajar Syahputra alias FS.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan, Erik mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di berbagai satuan kerja perangkat daerah. Proyek yang menjadi atensi Erik, di antaranya proyek di dinas pekerjaan umum dan penataan ruang (PUPR) serta dinas kesehatan.Erik juga menempatkan istri Rudi, yakni Maharani, sebagai kepala dinas kesehatan.
Untuk dua proyek di dinas PUPR tersebut, kontraktor yang dimenangkan adalah Fazar dan Efendy. Sekitar Desember 2023, Erik melalui Rudi meminta agar segera disiapkan sejumlah uang yang diistilahkan dengan ”kutipan/kirahan” dari para kontraktor yang telah dikondisikan untuk dimenangkan dalam beberapa proyek di dinas PUPR.
Penyerahan uang dari Fazar dan Efendy kepada Erik dilaksanakan pada awal Januari 2024 melalui transfer rekening bank atas nama Rudi secara tunai. Penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Erik dan lainnya pada Kamis (11/1/2024). KPK masih menelusuri pihak lain yang diduga turut memberikan uang kepada Erik melalui Rudi. KPK juga mendalami dugaan korupsi lain dalam penanganan perkara ini.
”Besaran uang dalam bentuk fee yang dipersyaratkan bagi para kontraktor yang akan dimenangkan adalah 5 persen sampai dengan 15 persen dari besaran anggaran proyek,” kata Ghufron (Kompas.id 13/1/2024).
Bupati Labuhan Batu menerima komisi Rp 551,5 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan sementara Rp 1,7 miliar dari pihak swasta. Uang itu adalah komisi atas dua proyek pembangunan jalan senilai Rp 19,9 miliar yang dikerjakan Fajar dan Efendy.
Menurut Redyanto, modus korupsi yang dilakukan oleh Erik tidak mengejutkan. Proyek pembangunan infrastruktur menjadi bancakan korupsi para kepala daerah. Selain itu, sektor lain yang sering dikorupsi adalah suap, pengisian pejabat, dan perizinan.
”Selama tidak ada upaya luar biasa, korupsi kepala daerah di Sumut tampaknya masih akan terus berlangsung dengan pola yang sebenarnya sama,” kata Redyanto.
Daftar panjang
Dalam catatan KPK hingga November 2022, sudah ada 17 kepala daerah di Sumut yang terjerat korupsi. Erik menjadi kepala daerah ke-18 yang terjerat korupsi di Sumut. Itu belum termasuk anggota DPRD Sumut dan kabupaten/kota yang dalam beberapa kasus terjerat korupsi berjemaah.
Di Sumut, politik uang sangat jamak dan terlalu vulgar sehingga menyebabkan politik biaya tinggi.
Di Medan sendiri, sudah tiga wali kota terjerat korupsi. Wali Kota dan wakilnya yang terpilih tahun 2005, Abdillah dan Ramli Lubis, ditangkap KPK pada 2008 atas kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan APBD dengan total kerugian negara Rp 29,69 miliar.
Rahudman Harahap, yang terpilih menjadi wali kota tahun 2010, ditangkap pada 2013 atas kasus korupsi tunjangan penghasilan aparat pemerintahan desa saat menjabat Sekretaris Darah Tapanuli Selatan pada 2005 dengan kerugian negara Rp 1,5 miliar.
Dzulmi Eldin yang terpilih menjadi wali kota Medan pada 2015 juga terjerat korupsi menerima suap Rp 2,15 miliar dari 24 kepala dinas dan direktur badan usaha milik daerah. Ironisnya, Abdillah dan Rahudman menjadi calon anggota DPR RI pada Pemilu 2024 ini.
Dua Gubernur Sumatera Utara juga ditangkap KPK atas kasus korupsi, yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho. Dalam kasus Gatot, sebanyak 64 anggota DPRD Sumut ikut terseret kasus korupsi berjemaah.
Menurut Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, pemilu sebenarnya bisa menjadi momentum untuk memberantas korupsi di Sumut. Namun, hal itu belum terlihat di tahun pemilu ini. Politik biaya tinggi menjadi salah satu penyebab para kepala daerah dan anggota DPRD di Sumut terjerat korupsi. ”Di Sumut, politik uang sangat jamak dan terlalu vulgar sehingga menyebabkan politik biaya tinggi,” katanya.
Hal ini membuat para calon kepala daerah mencari cukong sejak awal menjabat. Ketika terpilih, mereka balas budi dengan memberikan proyek sebagai balas budi biaya politik yang sudah dikeluarkan cukong. Korupsi proyek infrastruktur, perizinan, serta pengisian jabatan menjadi sangat rawan dikorupsi.
Korupsi masif yang terjadi di Sumut juga membuat masyarakat menjadi apatis terhadap pemilu. Pada Pilkada Medan 2020, misalnya, tingkat partisipasi pemilih hanya 46 persen. Pada 2015, partisipasi pemilih Pilkada Medan bahkan hanya 26 persen.
Dalam beberapa kasus, masyarakat juga tampak permisif terhadap mantan narapidana korupsi. Bekas kepala daerah yang terjerat korupsi bahkan masih bisa menjadi caleg DPR RI. Saat bekas bupati Pakpak Bharat Remigo Y Berutu bebas setelah menjalani hukuman pidana korupsi, dia bahkan disambut oleh pendukung, tokoh masyarakat, dan kepala daerah.
Mirza menyebut, sudah hampir 20 tahun penegakan hukum dilakukan terhadap kepala daerah yang korupsi di Sumut. Namun, budaya korupsi di Sumut masih tetap tinggi dan seperti tidak ada titik terang pemberantasan….