Taman Doa di Pulau Bangka, Simbol Iman yang Mendamaikan Manusia dengan Alam
Taman Doa Bintang Samudra dibangun sebagai wujud keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan di Bangka Belitung.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
PANGKAL PINANG — Taman Bintang Samudra dibangun sebagai sarana menumbuhkan iman sekaligus merespons maraknya kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Taman ini juga dibangun untuk menjadi simbol toleransi antara warga Melayu dan Tionghoa di sana.
Ignatius Kardinal Suharyo menyatakan, di balik pembangunan fisik Taman Bintang Samudra (TBS), ada gagasan umat Katolik untuk ikut terlibat melestarikan lingkungan hidup. Itu sesuai dengan anjuran Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si.
Ia berharap semangat menjaga kelestarian alam dapat semakin tumbuh dengan dibangunnya tempat doa TBS. ”Semua yang baik dan mulia membutuhkan kerelaan untuk berkorban dan membutuhkan waktu agar rahmat Tuhan semakin nyata,” kata Suharyo saat memimpin misa pemberkatan di TBS, Kamis (25/1/2024).
Ensiklik Laudato Si dikeluarkan Paus Fransiskus pada 2015. Ensiklik dikeluarkan Paus sebagai Pemimpin Gereja Katolik sedunia untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap suatu isu yang penting dan mendesak.
Paus Fransiskus sering menyerukan pentingnya merawat alam. Pesan itu bergema juga di Bangka karena banyak tempat di sini rusak akibat tambang timah.
Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus menyampaikan pesan agar semua orang lebih serius menyikapi permasalahan ekologi. Masyarakat lemah dan miskin merupakan golongan yang paling menderita akibat krisis iklim.
Menurut Uskup Pangkal Pinang Mgr Adrianus Sunarko, kerusakan lingkungan telah menjadi keprihatinan utama dunia. Krisis iklim yang menyebabkan kenaikan muka air laut amat mengancam daerah kepulauan seperti Bangka Belitung.
”Paus Fransiskus sering menyerukan pentingnya merawat alam. Pesan itu bergema juga di Bangka karena banyak tempat di sini rusak akibat tambang timah,” ujar Sunarko.
TBS dibangun di lahan seluas 4,8 hektar di pesisir timur Pulau Bangka. TBS dibangun oleh Yayasan Bangka Argo Lestari dengan pendanaan dari para donatur. Adapun desain TBS dirancang arsitek Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina.
Menurut Maria, konsep pembangunan TBS adalah merespons kontur tanah setempat yang berbukit-bukit. Sekitar 70 persen luas lahan di TBS ditata menjadi taman yang terbuka buat publik.
”Batu granit yang dipakai sebagai material dinding dan lantai bangunan pun berasal dari tempat ini,” ucap Maria.
Supie menambahkan, pembangunan TBS belum selesai. Ke depan akan dibangun juga kapel, biara, dan ruang serbaguna di tempat itu.
”Fokus pembangunan tahap selanjutnya adalah keberlanjutan dan kemandirian. Kami berharap di masa depan TBS dapat menghidupi dirinya sendiri, tidak semata bergantung kepada donatur,” ujar Supie.
Supie dan Maria juga menggandeng seniman Sunaryo untuk membuat patung-patung di setiap perhentian Jalan Salib. Patung dirancang sedemikan rupa agar dapat dinikmati sebagai karya seni oleh umat beragama lain.
Bangka Belitung yang masyarakatnya majemuk dan wilayahnya terdiri dari pulau-pulau kecil adalah miniatur Indonesia.
Ketua Yayasan Bangka Argo Lestari Thomas Yusman menuturkan, TBS sebagai tempat wisata religi yang terbuka untuk semua umat beragama juga dimaksudkan sebagai simbol toleransi. Sejak lama di Bangka terkenal istilah thong ngin fan ngin jit jong yang artinya Melayu dan Tionghoa itu sama.
”Bangka Belitung yang masyarakatnya majemuk dan wilayahnya terdiri dari pulau-pulau kecil adalah miniatur Indonesia,” kata Thomas.