Taman Bintang Samudra, Langkah Kecil Menebus Dosa Tambang di Bangka
Taman Bintang Samudra tak hanya tempat ziarah, tetapi juga simbol pertobatan ekologis menjaga kelestarian lingkungan.
Saat musim hujan, aliran air akan membentuk kolam di kaki bukit granit pesisir timur Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Oase kecil itu adalah salah satu dari sedikit sumber air alami yang masih tersisa di tengah kerusakan lingkungan akibat tambang timah.
Di sana, umat Katolik membangun sebuah tempat doa yang dinamai Taman Bintang Samudra (TBS). Selain untuk ziarah, taman itu juga dibangun sebagai simbol pertobatan ekologis demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Pembangunan TBS di lahan seluas 4,8 hektar itu dimulai pada 2018. Dana pembangunan berasal dari para donatur yang digalang oleh Yayasan Bangka Argo Lestari.
Kalau dari atas pesawat terlihat sekali Pulau Bangka isinya lubang-lubang kolam bekas tambang dengan air yang butek. Sangat menyedihkan melihat kondisi seperti itu.
Penggagas pembangunan TBS sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Bangka Argo Lestari, Eddijanto Harlijanto, menuturkan, pembangunan TBS berawal dari keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan di Bangka. Hilangnya sumber air yang berganti dengan lubang tambang adalah ancaman sangat serius bagi pulau itu.
”Kalau dari atas pesawat terlihat sekali Pulau Bangka isinya lubang-lubang kolam bekas tambang dengan air yang butek. Sangat menyedihkan melihat kondisi seperti itu,” kata Eddi, Kamis (25/1/2024).
Pengusaha otomotif itu terkenang masa kecilnya pada tahun 1960-an di Sungailiat, Kabupaten Bangka. Meskipun dulu sudah ada tambang timah, kerusakan lingkungan di Pulau Bangka belum separah sekarang.
”Waktu saya kecil, saat musim hujan banyak sungai kecil muncul. Airnya jernih sekali. Saya suka berlama-lama melihat ikan gabus berenang dibuntuti anak-anaknya,” ujarnya.
Eddi merantau ke Jakarta pada 1966. Beberapa puluh tahun kemudian ketika pulang ke Bangka, ia patah hati karena sungai kecil dan ikan gabus sudah lenyap dari kampungnya.
”Mulai saat itu sering tebersit dalam pikiran, bagaimana nasib orang Bangka, anak-anak kami nanti, kalau semua terus-menerus bergantung pada tambang,” ucapnya.
Baca juga: Potret Wisata Doa Bintang Samudra di Bangka Belitung
Hidup dari tambang
Pertanyaan itu lama menghantui Eddi. Orangtua Eddi adalah pegawai perusahaan tambang timah. Ia bisa makan dan sekolah berkat timah. Itu juga berlaku bagi kebanyakan orang di Bangka.
Tambang timah telah ada di Bangka setidaknya sejak 300 tahun lalu saat masa Kesultanan Palembang. Museum Timah di Kota Pangkal Pinang mencatat, pertambangan timah pertama di Pulau Bangka berada di Kampung Calin, Merawang, pada 1709.
Tambang timah di Bangka terus berkembang pada zaman VOC hingga setelah kemerdekaan. Namun, pada 1990-an, tambang timah mulai merosot. Jumlah pegawai PT Timah dipangkas dari awalnya lebih kurang 25.000 orang pada 1991 menjadi hanya 5.500 orang pada 1996.
”Jangan sampai orang Bangka terus tergantung pada tambang. Sebentar lagi timah pasti akan habis,” kata Eddi.
Ia menyadari Bangka punya potensi lain. Pantai di sana amat indah, pasirnya putih dan ada batu-batu granit raksasa. Jika digarap secara serius, sektor pariwisata bisa menghidupi masyarakat.
”Sekarang orang harus memulai ekonomi yang berkelanjutan. Memang itu tidak mudah karena harus mengubah kultur. Dari tadinya petambang yang hanya tahu ambil lalu jual, sekarang harus merancang dan juga berpromosi,” ujarnya.
Baca juga: Tata Kelola Tambang, Kunci Masa Depan Bumi Serumpun Sebalai
Sebelumnya, hal senada diungkapkan Penjabat Gubernur Babel Safrizal Zakaria Ali. Ia menyebut Provinsi Babel punya potensi besar selain tambang, yakni di bidang pariwisata, pertanian, dan perikanan (Kompas, 21/11/2023).
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz mengatakan, transisi ekonomi dari tambang perlu dipercepat. Bangka Belitung yang merupakan daerah kepulauan amat terancam dampak krisis iklim.
”Namun, yang harus menjadi catatan adalah proyek pariwisata perlu melibatkan warga di akar rumput sebanyak-banyaknya. Saat ini, sebagian besar orang yang terpaksa menjadi petambang ilegal tidak punya pilihan lain,” kata Hafiz, Jumat (26/1/2024).
Taman doa
Pembangunan TBS dirancang oleh arsitek Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina. Konsep pembangunannya adalah merespons kontur tanah setempat yang terdiri dari bukit dan lembah.
Maria menjelaskan, perhentian Jalan Salib dibuat mengikuti kontur yang berbukit. Lokasi yang paling tinggi dengan batu granit yang paling besar dimanfaatkan untuk membuat perhentian Jalan Salib ke-12, Yesus wafat di kayu salib.
”Batu granit yang dipakai sebagai material dinding dan lantai bangunan pun berasal dari tempat ini. Juga pohon-pohon yang ada di taman menggunakan tanaman lokal yang ada di Bangka,” ucap Maria.
Adapun kontur tanah yang paling rendah dipakai untuk membuat kolam tadah hujan dan meletakkan patung Bunda Maria. Di lokasi itu, sejak awal memang ada aliran air yang muncul secara alami saat musim hujan.
Sejak lama di Bangka terkenal istilah thong ngin fan ngin jit jong yang artinya Melayu dan Tionghoa itu sama.
Selain untuk tempat berdoa umat Katolik, Ketua Yayasan Bangka Argo Lestari Thomas Yusman menyebut, TBS juga menjadi ruang terbuka untuk semua umat beragama dan dimaksudkan sebagai simbol toleransi. Sejak lama di Bangka terkenal istilah thong nginfan ngin jit jong yang artinya Melayu dan Tionghoa itu sama.
”Bangka Belitung yang masyarakatnya majemuk dan wilayahnya terdiri dari pulau-pulau kecil adalah miniatur Indonesia,” kata Thomas.
Untuk mewujudkan hal itu, tim arsitek juga menggandeng seniman Sunaryo dalam pembuatan patung-patung di setiap perhentian Jalan Salib. Patung dirancang sedemikan rupa agar dapat dinikmati sebagai karya seni oleh umat beragama lain.
Supie menambahkan, pembangunan TBS belum selesai. Ke depan akan dibangun juga kapel, biara, dan ruang serbaguna di tempat itu.
”Fokus pembangunan tahap selanjutnya adalah keberlanjutan dan kemandirian. Kami berharap di masa depan TBS dapat menghidupi dirinya sendiri, tidak semata bergantung kepada donatur,” ujar Supie.
Ignatius Kardinal Suharyo menyatakan, gagasan untuk terlibat menjaga kelestarian lingkungan sesuai dengan anjuran Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si. Ia berharap semangat menjaga kelestarian alam dapat semakin tumbuh dengan dibangunnya tempat doa TBS.
”Semua yang baik dan mulia membutuhkan kerelaan untuk berkorban dan membutuhkan waktu agar rahmat Tuhan semakin nyata,” kata Suharyo.