Derita Mereka yang Tertahan Banjir di Tengah Hutan Trans-Kalimantan
Banjir menghambat perjalanan di Trans-Kalimantan dan merusak lahan pertanian hingga memengaruhi penghasilan warga. Kerusakan lingkungan termasuk konversi hutan menjadi salah satu faktor banjir terjadi.
Jalur transportasi di Trans-Kalimantan di Kalimantan Tengah sempat terputus akibat banjir pada awal 2024. Di Barito Selatan, perjalanan kendaraan pengangkut berbagai komoditas terhambat. Derita serupa dialami warga yang kehilangan sumber mata pencarian. Ironisnya, hal ini selalu terjadi setiap tahun saat musim hujan.
Pada Rabu (24/1/2024) malam, ratusan truk dan mobil masih belum bergerak di kawasan Desa Lembeng, Kecamatan Dusun Selatan, Barito Selatan. Salah satu ruas Trans-Kalimantan, infrastruktur jalan terbesar dan terpanjang yang membelah Pulau Borneo itu, lumpuh gara-gara direndam banjir 1-2 meter.
Bagi para sopir ekspedisi, hal itu adalah petaka. Berada di tengah hutan berjarak sekitar 200 kilometer dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng, tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka dipaksa pasrah seiring isi dompet yang perlahan terkikis, badan kedinginan dan pegal-pegal, hingga tubuh digigit nyamuk.
Rudi (45), salah satu pengemudi, mengatakan, keruwetan biasanya dimulai setelah maghrib. Saat itu, hujan mulai turun dan reda menjelang subuh. Pada Rabu malam itu, Kompas merasakan keruwetan tersebut.
Lihat juga: Banjir Rendam Jalur Trans Kalimantan, Kendaraan Pengangkut Tak Bisa Melintas
”Pesawat dan bom”
Duar!
Tiba-tiba guntur yang menggelegar keras mengejutkan Daniel (28), keponakan Rudi, sekitar pukul 19.00. Saking kagetnya, Daniel hampir saja menjatuhkan telepon pintarnya yang tengah menyiarkan laga hidup-mati Piala Asia 2023 antara Indonesia melawan Jepang.
Meski sinyal telepon juga hidup-mati, sepak bola menjadi hiburan bagi Daniel dan pengemudi yang terjebak banjir lainnya. Beratap terpal seadanya, mereka tidak ingin kehilangan momen sepak bola itu.
Tidak lama, turun hujan lebat dengan guntur yang masih terdengar. Saking derasnya, air leluasa masuk dari celah atap terpal.
Menggunakan dua truk, mereka membuat atap dan alas sederhana untuk tempat berlindung saat hujan. Terpal diikat ke bagian belakang bak salah satu truk dan bagian depan truk lainnya. Bivak seadanya itu cukup untuk menampung delapan orang.
Baca juga: Trans-Kalimantan di Barito Selatan Putus Direndam Banjir
Akan tetapi, alam kian tidak bersahabat. Hujan makin deras. Akibatnya, sinyal tidak bisa diharapkan. Laga sepak bola tinggal kenangan. Para pengemudi lantas lebih sibuk menghindari air. Begitu seterusnya hingga hujan reda pada Kamis (25/1/2024) sekitar pukul 02.00.
Akan tetapi, semua tidak lantas membuat mereka tenang. Kantuk sudah datang, dan giliran nyamuk hutan yang datang. Rudi menyebut, di tempat asalnya, Landak, Kalimantan Barat, kedatangan nyamuk-nyamuk menderu itu seperti ”pesawat”.
”Dengungan nyamuk mirip pesawat. Berisik di telinga. Tapi paling mengesalkan kalau sudah mengigit. Meski pakai cairan anti-nyamuk, tetap saja tidak mempan,” kata sopir pikap pengangkut 2 ton cempedak dari Landak menuju Balikpapan, Kalimantan Timur, itu. Jarak antara dua daerah itu sekitar 1.500 km atau setara 33 jam perjalanan.
Muhammad Alif (30), pengemudi truk lainnya asal Barabai, Kalimantan Selatan, juga mengalami hal serupa. ”Pesawat itu minta dibom,” kata Alif.
Bom yang dimaksud Alif di luar dugaan. Selesai berbicara, Alif ternyata buang gas. Rekan-rekannya tidak marah. Beberapa pengemudi bahkan melakukan hal serupa. Mereka tertawa di antara kesal karena nyamuk-nyamuk itu masih saja memburu.
Baca juga: Banjir Melanda 32 Desa di Kalteng, 4.547 Orang Terdampak
Alif lalu berinisiatif mengambil satu buah tandan sawit yang dia bawa. Buahnya ia keluarkan, tinggal menyisakan jangkos atau kulit tandan sawit.
Kali ini, Alif serius. Jangkos dibakar tak jauh dari terpal. Aromanya busuk seperti karet terkena api. Upaya itu sedikit banyak membantu. Nyamuk perlahan pergi. Para pengemudi dengan cepat terlelap.
Hanya saja, lagi-lagi ketenangan itu tidak lama. Kali ini, ”gangguan” datang dari dengkuran para sopir yang tidur lebih dulu. Dengkuran Daniel menjadi yang paling keras.
Tapi, kali ini tidak ada bom yang dikeluarkan. Pengemudi lainnya pasrah. Toh, bau jangkos yang dibakar pun tidak bisa menghentikan dengkuran itu.
Hancur
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, banjir merendam 5 dari 14 kota/kabupaten hingga Kamis (25/1/2024). Daerah terpapar adalah Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kapuas, dan Kotawaringin Barat.
Akibatnya, sebanyak 217.988 orang di 193 desa dan 26 kecamatan terdampak. Jalan Trans-Kalimantan dan orang-orang yang bergantung padanya jelas terimbas.
Perjalanan Rudi, misalnya, sudah dua hari tertahan. Selama itu, dia berteman cemas. Dia khawatir, cempedak pesanan pelanggannya busuk sebelum sampai tujuan.
Konversi hutan itu menjadi salah satu faktor bencana banjir terjadi. Bila tidak dicegah, banjir akan selalu terjadi dan merugikan siapa saja yang ada di sekitarnya.
Alif bahkan mengalami kondisi lebih buruk. Dia sudah lima hari di jalan. Padahal, dari Barabai ke tujuan akhirnya di Tabalong, Kalsel, hanya sekitar 150 km.
”Ya pasrah saja, mau bagaimana lagi. Mau balik juga balik ke mana, ini truk perusahaan, buahnya mau dibawa ke pabrik CPO, punya perusahaan juga. Kalau saya balik, saya enggak digaji,” kata Alif, yang kenyang makan mi instan karena lokasi banjir jauh dari permukiman.
Tidak hanya pengemudi, warga setempat juga merasakan dampaknya. Yurlina (56), warga Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, misalnya, pasrah padi ladang yang ditanam di lahan sekitar 1 hektar hancur dihantam banjir. Lahannya itu secuil dari 54.200 hektar lahan pertanian yang terendam di awal tahun ini di Kalteng.
”Harusnya bulan Maret atau April nanti panen. Kalau sudah begini, pasti gagal panen,” ungkap Yurlina, yang belum tahu bakal mendapatkan uang dengan cara apa setelah kejadian ini.
Baca juga: Banjir di Kalteng Meluas, Murung Raya Tanggap Darurat
Selain rugi tenaga, Yurlina juga sudah mengeluarkan uang lebih kurang Rp 5 juta untuk menggarap kebunnya. Itu termasuk membayar tenaga harian dan membeli benih.
Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng Ahmad Toyib menjelaskan, pihaknya tengah mendata dampak bencana, termasuk lahan pertanian yang rusak. Nantinya, BPBPK akan berkoordinasi dengan dinas terkait, khususnya Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kalteng, untuk rehabilitasi lahan yang rusak.
”Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga punya dana khusus untuk rehabilitasi bidang pertanian. Kami akan usulkan mendapatkan dana itu selain dari anggaran daerah,” kata dia.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menjelaskan, banjir terjadi di waktu yang relatif sama setiap tahun. Lokasi dan wilayahnya pun serupa. Banjir selalu terjadi di daerah yang kondisi lingkungannya rusak. Namun, hingga kini belum ada upaya mitigasi serius.
Bayu mencontohkan Barito Utara dan Murung Raya, dua kabupaten di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Sungai Barito membentang sepanjang 909 kilometer yang membelah Kalteng dan Kalsel.
Di DAS Barito, kata Bayu, kerusakan lahan terjadi lantaran hilangnya tutupan hutan. Seluas 121.555 hektar berubah menjadi lahan perkebunan, pertambangan (23.045 hektar), dan hutan tanaman industri (53.834 hektar).
”Konversi hutan itu menjadi salah satu faktor bencana banjir terjadi. Bila tidak dicegah, banjir akan selalu terjadi dan merugikan siapa saja yang ada di sekitarnya,” katanya.
Jangan lagi
Derita para pengemudi di Trans-Kalimantan itu untuk sementara usai pada Jumat (26/1/2024). Penantian 2-6 hari itu selesai. Kamis malam, hujan tidak sederas biasanya. Kedalaman banjir yang awalnya lebih kurang 1,5 meter itu perlahan surut.
Rudi menyambutnya semringah. Mesin mobil dinyalakan. Masih ada kurang lebih 420 km atau setara 10 jam lebih perjalanan yang harus ia dan Daniel tempuh untuk tiba di Balikpapan.
Dia berharap, tidak ada lagi banjir yang memutus jalan di sisa perjalannya agar bisa segera mendapat upah sekitar Rp 9 juta dari perjalanan panjangnya itu.
Alif juga mengumpulkan sisa tenaganya untuk pergi ke Tabalong. Dia bakal menempuh perjalanan lebih kurang delapan jam lagi untuk mengirimkan sawit demi upah Rp 1,5 juta per bulan.
”Kapan kira-kira perjalanan bisa menikmati jalan lancar meski saat musim hujan?” tanya Rudi yang sudah kehilangan beberapa juta rupiah akibat perjalanan menjemput rezeki tertahan di tengah hutan.
Baca juga: Banjir di Kalteng Memburuk, 6.279 Orang Mengungsi