Ombudsman RI: Kampung Tua Rempang Harus Dihormati dan Dilindungi
Ombudsman RI meminta pemerintah untuk menghormati dan melindungi eksistensi kampung-kampung tua di Pulau Rempang.
BATAM, KOMPAS — Hasil investigasi Ombudsman RI menemukan adanya malaadministrasi dalam pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Pemerintah diminta menghormati dan melindungi eksistensi kampung adat Melayu di Batam, Kepulauan Riau.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, menyatakan, investigasi terkait PSN Rempang Eco City dilakukan pada September 2023 hingga Januari 2024. Ada empat malaadministrasi yang ditemukan Ombudsman.
Malaadministrasi pertama adalah pemerintah belum mengakui keberadaan kampung tua di Rempang. Padahal, eksistensi kampung-kampung adat Melayu di Rempang masih terlihat sangat jelas sampai sekarang.
”Eksistensi (masyarakat) kampung-kampung tua di Rempang, yang sudah turun-temurun, seharusnya dihormati, dihargai, dan dilindungi hak-haknya untuk mendapat tempat tinggal yang layak sesuai dengan prinsip HAM di negara kita,” kata Johanes saat konferensi pers Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Prakarsa Sendiri terkait Permasalahan PSN Rempang Eco City di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin (29/1/2024).
Acara itu dihadiri Anggota 3 Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi Badan Pengusahan (BP) Batam Sudirman Saad, Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Supardy Marbun, dan Inspektur Wilayah V Inspektorat Pengawasan Umum Polri Brigadir Jenderal (Pol) Gatot Tri Suryanta. Adapun perwakilan Pemerintah Kota Batam dan Pemerintah Provinsi Kepri yang diundang tidak hadir.
Johanes mengatakan, seharusnya keberadaan kampung tua dipertahankan sesuai Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam. Salah satu isi keputusan Wali Kota Batam ini adalah tidak merekomendasikan kampung tua menjadi bagian dari hak pengelolaan BP Batam.
Namun, proses legalisasi kampung tua di Batam yang dimulai pada 2004 itu terhenti pada 2020. Kemudian, satu tahun berikutnya terbit Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2021-2041. Dalam peraturan itu tidak terdapat materi mengenai kampung tua.
”Tiba-tiba, pada 2023, dalam waktu singkat muncul PSN di Rempang. Maka, persoalan kampung tua ini sekarang bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, melainkan juga pemerintah pusat,” ujar Johanes.
Penetapan Rempang sebagai wilayah PSN yang prosesnya amat cepat, hanya tiga bulan, menjadi temuan malaadministrasi kedua. Itu menunjukkan pengembangan PSN Rempang Eco City tidak didukung regulasi dan kebijakan matang sehingga muncul penolakan dari masyarakat.
Adapun temuan malaadministrasi yang ketiga adalah BP Batam belum memiliki sertifikat hak pengelolaan lahan di area yang akan digunakan untuk pengembangan PSN Rempang Eco City. Hak pengelolaan lahan BP Batam di area tersebut masih dalam proses perpanjangan.
Oleh karena itu, Ombudsman memberikan rekomendasi kepada Kementerian (ATR/BPN) agar proses alih fungsi lahan terkait PSN Rempang Eco City harus dilakukan sesuai peraturan yang ada. Warga kampung tua yang mengajukan hak atas tanah juga perlu diproses tanpa diskriminasi.
Adapun kepada BP Batam, Ombudsman meminta pengelola kawasan perdagangan bebas itu mengedepankan musyawarah dalam penanganan konflik di Rempang. Ombudsman juga mengimbau jangan lagi ada upaya pemaksaan kepada warga untuk menyerahkan lahan di kampung tua.
Menanggapi hal itu, Sudirman menyatakan, beberapa rekomendasi korektif dari Ombudsman sudah ditindaklanjuti. BP Batam telah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Rempang Eco City. Hal itu dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga yang terdampak pembangunan.
Tahap pertama pembangunan PSN Rempang Eco City membutuhkan lahan 2.370 hektar (ha). Lahan tersebut bakal dipakai untuk mendirikan kawasan industri dan menara ikon Rempang Eco City.
Lima kampung tua yang terdampak adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu. Pemerintah akan merelokasi warga ke Kampung Tanjung Banun di atas lahan seluas 150 ha.
”Menurut data dinas kependudukan dan catatan sipil (Batam), ada 961 keluarga yang terdampak. Tim terpadu akan melakukan verifikasi dan validasi data hingga Juni 2024. Setelah itu akan dilakukan musyawarah,” ucap Sudirman.
Pembangunan empat rumah contoh di Tanjung Banun ditargetkan rampung pada Maret 2024. Pemerintah juga berencana menyelesaikan pembangunan 1.000 rumah di Tanjung Banun pada September 2024.
Baca juga: Kehadiran Negara dalam Konflik Rempang
Mayoritas menolak
Pada 16 Januari 2024, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan, sebanyak 387 keluarga di Rempang telah bersedia direlokasi. Adapun warga yang telah berkonsultasi untuk relokasi jumlahnya disebut 587 keluarga.
Hal itu tidak sesuai dengan hasil investigasi Ombudsman. Menurut Johanes, mayoritas warga di Rempang masih menolak untuk direlokasi dari kampung-kampung tua.
”BP Batam tidak pernah membuka data warga yang disebut menerima untuk direlokasi itu secara transparan. Kalau lalu muncul angka-angka dari BP Batam mengenai warga yang telah setuju direlokasi, perlu dipertanyakan apakah mereka itu benar-benar warga dari daerah yang terdampak? Temuan di lapangan menunjukkan fakta yang sebaliknya,” tutur Johanes.
Salah satu warga di Kampung Tua Sembulang Hulu, Miswadi (46), mengatakan, warga akan tetap menolak direlokasi meskipun pemerintah memberikan rumah relokasi yang lebih bagus. Menurut dia, soal tanah bukan sekadar materi, ada marwah dan sejarah yang juga melekat.
”Sampai kapan pun kami tidak mau meninggalkan kampung leluhur. Biar rumah kami jelek, ini rumah kami sendiri. Orang Melayu bilang lebih baik hujan batu di kampung sendiri daripada hujan emas di kampung orang,” ujarnya.
Warga Pasir Merah, Siti Hawa (70), mengatakan, mayoritas warga di semua kampung tua yang terdampak pembangunan PSN Rempang Eco City tegas menolak relokasi. Pemerintah seharusnya mendengarkan suara rakyat.
”Kami bukan mempertahankan bangunan rumah, melainkan kami mempertahankan kampung. Kami sayang kampung, kami tak mau kampung kami hilang dari sejarah,” kata Hawa pada 10 Januari lalu.
Baca juga: Pemerintah Kebut Relokasi 961 Rumah di Rempang, Warga Terus Menolak
Keadilan restoratif
Temuan malaadministrasi keempat oleh Ombudsman adalah pengerahan aparat yang menimbulkan rasa takut. Ombudsman juga menyoroti penanganan hukum terhadap 43 warga yang ditahan buntut demonstrasi menolak relokasi pada 7 dan 11 September 2023.
Sebelumnya, polisi telah menangguhkan penahanan delapan orang yang ditangkap pada demonstrasi 7 September. Adapun 35 orang yang ditahan pada 11 September sedang diadili di Pengadilan Negeri Batam.
”Kami meminta polisi mengedepankan restorative justice. Itu akan menjadi feedback yang baik kepada masyarakat di Rempang karena mereka sejatinya berjuang untuk mempertahankan kampungnya,” kata Johanes.
Menanggapi hal itu, Gatot mengatakan, Polri telah menerima hasil investigasi Ombudsman. Hal itu akan ditindaklanjuti dalam 30 hari ke depan dan hasilnya akan dilaporkan ke publik.
”Kepolisian punya komitmen kuat dalam memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat. Artinya, penegakan hukum bukan satu-satunya, kami lebih mengedepankan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman kepada masyarakat,” ucapnya.