Dinilai Lalai hingga Kapal Tenggelam, Nakhoda LCT Bora V Jadi Tersangka
Nakhoda kapal LCT Bora V ditetapkan tersangka karena kelalaiannya menyebabkan kapal tenggelam di perairan Sulut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kepolisian menetapkan JM, nakhoda kapal Landing Craft Transport (LCT) Bora V, sebagai tersangka terkait tenggelamnya kapal tersebut di perairan Tagulandang, Sulawesi Utara, Minggu (21/1/2024). JM dinilai lalai sehingga menyebabkan kapal itu tenggelam dan menimbulkan korban jiwa.
Direktur Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulut Komisaris Besar Kukuh Prabowo menyebut, JM berlayar dari Pelabuhan Bitung ke Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), tanpa surat persetujuan berlayar pada Minggu malam.
”Nakhoda memutuskan berlayar dalam cuaca buruk sehingga kapal tenggelam dan mengakibatkan kru dan penumpang kapal meninggal. Kapal mengangkut kendaraan tronton dan truk,” kata Kukuh dalam konferensi pers di Bitung, Selasa (30/1/2024).
Pada Minggu pukul 21.30 Wita, kapal LCT Bora V tenggelam pada jarak 4 mil laut di utara Pulau Biaro akibat dihantam gelombang tinggi serta hujan dan angin. Air dilaporkan masuk ke dalam kapal, sementara rampdoor atau pintu kapal LCT yang menjadi pijakan bagi kendaraan untuk masuk sudah terputus.
Pihak kepolisian menyatakan, ada 20 orang dalam kapal tersebut, yaitu 10 kru dan 10 penumpang. Kecelakaan itu menyebabkan dua orang meninggal dan delapan lainnya hilang, termasuk beberapa penumpang yang tak masuk dalam manifes kapal. Menurut aturan, kapal LCT hanya boleh mengangkut 12 awak.
Ajun Komisaris Besar Sukoco, Kapten Kapal Polisi (KP) Baladewa 8002 yang dikerahkan dalam pencarian korban, menyatakan, pencarian oleh Direktorat Polairud Polda Sulut dimulai pada Senin (22/1/2024) pukul 09.00. Pencarian mula-mula dilakukan di sekitar Laut Maluku antara Pulau Sulawesi dan Halmahera.
”Tapi karena cuaca sudah gelap, kami bersandar dulu di Pulau Tagulandang, di pelabuhan rakyat. Kemudian pada Selasa (23/1/2024) pagi, kami terus melakukan pencarian di Laut Maluku, di atasnya Halmahera. Kalau dari Bitung, jaraknya sekitar 100 mil laut (185 kilometer),” katanya.
Personel Polairud kemudian mengevakuasi para korban sekitar pukul 15.00 setelah mereka 41 jam terombang-ambing di lautan. ”Ada dua kelompok, totalnya 12 orang. Yang dua meninggal, yang sepuluh selamat. Kondisinya juga sudah lemas-lemas. Mereka pakai life jacket dan ada life buoy (pelampung) di situ,” kata Sukoco.
Sementara itu, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Bitung Samsuddin menyebut, agen operator kapal LCT Bora V sebenarnya sudah mengajukan permohonan surat persetujuan berlayar (SPB) sejak Kamis (18/1/2024), tetapi tidak diizinkan akibat cuaca buruk. Tinggi gelombang diprediksi mencapai 2,5 meter.
Izin baru dikeluarkan pada Sabtu (20/1/2024) untuk keberangkatan pada keesokan harinya sekitar pukul 16.00 dengan syarat nakhoda terus memantau cuaca. ”Apabila cuaca buruk, harus segera berlindung atau kembali,” katanya.
Nakhoda memutuskan berlayar dalam cuaca buruk sehingga kapal tenggelam dan mengakibatkan kru dan penumpang kapal meninggal.
Setelah dua jam meninggalkan Pelabuhan Bitung, Samsuddin menyebut, kapal LCT Bora V kembali bersandar. Namun, mereka tidak mengajukan SPB kembali sesuai prosedur. Bahkan, rute yang ditempuh berbeda dari izin sebelumnya, yaitu Bitung-Manado menjadi Bitung-Tagulandang. ”Itu tanpa SPB,” ujarnya.
Soal izin untuk mengangkut penumpang, Samsuddin menyatakan, kapal LCT hanya boleh mengangkut maksimal 12 orang. ”Kalau lebih dari itu, itu untuk kapal penumpang. Kalau tidak masuk manifes, artinya itu penumpang tak terdaftar atau penumpang gelap,” ujarnya.
Akibat tindakan itu, JM sebagai nakhoda diduga melanggar Pasal 323 Ayat 3 juncto Pasal 219 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran subsider Pasal 302 juncto Pasal 117 Ayat 2 Huruf a UU Pelayaran. Ia juga diduga melanggar Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai kelalaian yang menyebabkan korban jiwa.
”Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap nakhoda kapal, menetapkannya sebagai tersangka, dan menahannya. Ancaman hukumannya 10 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar,” kata Kukuh.
Mengenai kemungkinan adanya tersangka lain, Kukuh menyatakan, proses pemeriksaan masih berlangsung. Ia juga memberikan waktu bagi para korban untuk pulih dari trauma dan sakit setelah berada di air selama sekitar 41 jam. ”Mereka akan kami periksa,” katanya.