Wajah Adaptasi, Harapan, dan Ironi dari Lanting Kalimantan
Rumah lanting di Kalimantan menjadi contoh keberagaman dan hidup akar rumput menjelang Pemilu 2024.
Lanting yang mengapung di sungai-sungai Kalimantan adalah warna arsitektur budaya di Indonesia. Tidak sekadar rumah terapung di air, ada pesan keberagaman dan semangat hidup akar rumput.
Namun, seiring zaman, nilai-nilai itu terpinggirkan. Lanting terstigma lambang kemiskinan. Menjelang Pemilu 2024, lanting kembali menjadi contoh. Ada harap dan ironi tergurat di rumah adaptasi dan penuh sejarah itu.
Sudut-sudut Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, sepanjang 1.143 kilometer, masih menjadi tempat lanting bertahan menghadapi era disrupsi. Diperkirakan, tersisa puluhan lanting di Kapuas, yang membentang dari Kota Pontianak, ibu kota Kalbar, melintasi Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu.
Ukurannya beragam, 20-30 meter persegi. Biaya pembuatannya Rp 5 juta-Rp 7 juta per unit. Nilai biaya perawatannya setiap 3-4 tahun juga serupa.
Agar tetap mengapung, di bawahnya dipasang gelondongan kayu meranti hingga kayu tengkawang. Sementara dindingnya memakai kayu lebih tipis dan dilapisi seng untuk mencegah embusan angin. Di dalam, lanting biasanya terbagi menjadi ruang tamu, beberapa kamar, dan dapur. Agar tidak hanyut, tali-tali tambang dipasang di tubuh lanting.
Pengajar Antropologi di Universitas Tanjungpura, Donatianus, Senin (29/1/2024), mengatakan, lanting awalnya dihuni warga China setelah bubarnya kongsi pertambangan. Pada 1776-1884, kongsi-kongsi pertambangan di Kalbar cukup besar. Merujuk periode itu, lanting sudah ada lebih dari 250 tahun.
Setelah kongsi bubar, para pengikutnya, baik Dayak, Tionghoa, maupun Melayu, lantas mencari hidup masing-masing. Namun, karena tidak memiliki tanah, mereka memilih tinggal di atas sungai. Rumah itulah yang kini dikenal dengan lanting. Selain di Kalbar, lanting juga bertahan di Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah dan Sungai Martapura di Kalimantan Selatan.
”Rumah lanting pilihan bagi sebagian yang tidak bisa membeli tanah,” ujar Toni (35), nelayan asal Suhaid, Kapuas Hulu.
Baca juga: Lanting, Kemiskinan dan Rapuhnya Ketangguhan Hidup di Kalimantan Tengah
Mitigasi
Dalam perkembangannya, lanting tidak hanya menjadi rumah tinggal. Sebagian kalangan menggunakannya sebagai penginapan. Salah satunya sempat ada di Sintang. Harganya yang selalu lebih murah ketimbang hotel di darat menjadi pilihan. Saat ini rata-rata harganya Rp 50.000 per kamar per malam. Lanting menjadi sarana saling menolong di akar rumput.
”Misalnya, jika ada saudara mereka sakit dirawat di rumah sakit, yang tidak giliran menjaga di rumah sakit tidur di lanting. Pemilik rumah lanting juga terbuka menerima masyarakat dari berbagai latar belakang,” ujar Donatianus.
Contoh lain saat air pasang-surut, lanting perlu ditarik ke lokasi yang aman. Untuk menambatkan tali di daratan memerlukan bantuan warga lainnya. Jika tidak dipindah akan miring dan berbahaya. Ketika air sungai pasang, arusnya deras dan cukup berbahaya.
Dari sisi mitigasi bencana di sekitar sungai, Donatianus juga mengatakan, lanting berperan mencegah abrasi. Tubuh lanting sedikit banyak bisa menahan empasan air sungai.
”Saat banjir, lanting juga relatif aman. Seperti perahu, lanting akan selalu menyesuaikan dengan tinggi air,” katanya.
Selain itu, rumah lanting juga bentuk adaptasi menghadapi bencana. Masyarakat memilih di lanting mengantisipasi banjir.
Pilihannya dua saja, (Indonesia) jadi lebih buruk atau lebih baik. Kalau kami jual ikan saja. (Safruddin)
Pengajar Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, Ira Mentayani, mengatakan, lanting juga menjadi peninggalan budaya sungai masyarakat Banjar. Jika hilang, nilai kehidupan masyarakat yang lekat dengan sungai juga memudar.
Ira pernah melakukan penelitian dan masih menemukan 11 unit rumah lanting di Banjarmasin. Rumah itu tersebar di beberapa lokasi. Sebagian rumah lanting dijadikan tempat tinggal, sebagian lagi dijadikan tempat usaha. Namun, hanya satu yang masih mau mempertahankan lanting.
”Lestarikan lanting dengan modifikasi material dan konstruksi, tetapi tidak mengubah esensi rumah lanting sebagai warisan budaya arsitektur vernakular (kontekstual). salah satunya menjadikan lanting sebagai kawasan wisata,” katanya. Dengan begitu, nilai penting lanting bisa terus hidup mengikuti zaman.
TPS alternatif
Menjelang pencoblosan Pemilu 2024 menjadi buktinya. Mitigasi, satu dari banyak nilai penting lanting, dilirik penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kapuas Hulu menurut rencana akan menggunakan lanting sebagai tempat pencoblosan alternatif. Hal itu dilakukan mencegah tempat pencoblosan yang sudah disediakan terendam banjir.
Ketua KPU Kabupaten Kapuas Hulu Muhammad Yusuf mengatakan telah memberi arahan kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebagian daerah di Kapuas Hulu agar menyiapkan tempat pemungutan suara (TPS) alternatif di lanting. Lanting harus disiapkan sebagai TPS alternatif saat banjir datang.
Hal itu bukan tanpa alasan. Kapuas Hulu masih berpotensi terendam banjir. Dari 23 kecamatan, sembilan di antaranya di daerah rawan.
Catatan Kompas, di Kalbar terdapat 471 desa/kelurahan dan 104 kecamatan rawan banjir yang tersebar di 14 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Kapuas Hulu memiliki jumlah desa rawan banjir terbanyak, 104 desa/kelurahan. KPU Kapuas Hulu masih memetakan jumlah TPS di daerah rawan banjir tersebut.
Baca juga: Rawan Banjir di TPS, KPU Kapuas Hulu Menyiapkan Rumah Lanting
Akan tetapi, lirikan untuk lanting tidak hanya dilakukan KPU dalam pesta demokrasi kali ini. Lanting milik Nurlaili (56) di bawah Dermaga Flamboyan, Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya, Kalteng, juga menarik perhatian calon anggota legislatif. Nurlaili menjadi satu dari ratusan pemilik lanting di Kalteng.
Lama tidak menyapa Nurlaili, mereka hadir lewat berbagai media. Lima berbentuk stiker yang berdesakan di pintu kayu rumahnya. Dua kalender juga terpajang di dinding rumah. Semua memajang wajah besar para caleg yang tersenyum lebar.
Selain itu, Nurlaili juga mengatakan, ada caleg dan tim suksesnya datang langsung ke lanting. ”Biasanya bawa kaus atau gula,” katanya.
Pesimistis
Hanya saja, Nurlaili mengatakan, kaus, gula, dan senyuman caleg masih tidak mampu mengobati kesedihannya setelah ribuan ikan nila dan patin milik Safruddin (24), anaknya, mati beberapa bulan lalu. Baik Nurlaili maupun anaknya tidak tahu penyebabnya.
Yang pasti, mereka merugi hingga Rp 5 juta. Bagi mereka yang berkontestasi, uang sebesar itu mungkin setara beberapa baliho. Namun, bagi Nurlaili, jumlah itu adalah bekal hidup 2-3 bulan.
Tidak hanya kemarau, hidup di lanting saat kemarau juga semakin berisiko. Alisa Maulida (33), warga Pahandut lainnya, kini hidup tidak tenang. Setiap hari, dia mencemaskan nasib 20.000 benih ikan nila yang baru berusia tiga bulan.
Sejak awal tahun baru, hujan kerap turun. Imbasnya, debit Sungai Kahayan lebih tinggi dari sebelumnya. Bila nasib sial datang, benih ikan Alisa bisa saja hilang entah ke mana.
Data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng menyebutkan, banjir merendam lima dari 14 kota/kabupaten hingga Kamis (25/1/2024). Daerah terpapar adalah Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kapuas, dan Kotawaringin Barat. Akibatnya, 217.988 orang di 193 desa dan 26 kecamatan terdampak.
”Musim kemarau tahun lalu, saya sudah rugi. Kerugiannya mencapai Rp 7 juta dari bibit sampai pakan akibat ikan yang mati dan kurus,” katanya.
Apa pun tantangannya, hidup bakal terus berjalan. Tahun ini, lanting Kalimantan masih akan terus ada menemani pesta demokrasi hingga nestapa orang yang tinggal di sana. Ada yang menyambutnya dengan sukacita, tetapi tidak sedikit juga yang tanpa daya.
”Pilihannya dua saja, (Indonesia) jadi lebih buruk atau lebih baik. Kalau kami jual ikan saja,” ujar Safrudin saat ditanya soal pilihan siapa pemimpin terbaik dalam pemilu kali ini. Seperti ibunya, kematian mendadak ikan-ikannya masih sulit ia relakan begitu saja.