Mentan Amran Sebut Produksi Pangan Anjlok Selama Menteri Sebelumnya
Jagung yang sebelumnya swasembada bahkan ekspor kini harus impor lagi. Banyak anggaran hanya untuk gunting pita.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut produksi pangan nasional menurun beberapa tahun ini. Produksi jagung dan beras yang sebelumnya swasembada kini sudah minus sehingga harus impor. Banyak anggaran untuk acara gunting pita dan perjalanan dinas, tetapi untuk pupuk, bibit, dan alat pertanian sangat minim.
”Waktu saya tinggalkan dulu, jagung sudah swasembada bahkan ekspor. Tiba-tiba sekarang saya datang sudah impor lagi,” kata Amran saat panen jagung di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara, Senin (5/2/2024).
Menurut Amran, saat dia menjabat Menteri Pertanian pada 2014-2019, Indonesia sudah swasembada dan bisa mengekspor jagung. Namun, di bawah kepemimpinan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, produksi pangan nasional terus menurun sehingga beras dan jagung harus impor lagi.
Amran menyebut, anggaran yang tidak tepat sasaran di Kementerian Pertanian sangat besar. Tahun anggaran ini saja ada Rp 7,7 triliun yang dialihkan Amran untuk anggaran yang langsung dirasakan petani.
”Anggaran yang tidak terlalu penting, seperti seminar, perjalanan dinas, dan gunting pita, kami potong. Kami fokus pada pengadaan bibit, pupuk, dan alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan langsung petani,” kata Amran.
Banyak anggaran untuk acara gunting pita dan perjalanan dinas, tetapi untuk pupuk, bibit, dan alat pertanian sangat minim.
Untuk Sumut saja, kata Amran, pemerintah memberikan bantuan pertanian Rp 534 miliar meliputi pengadaan bibit, pupuk, peremajaan tanaman kelapa dan karet, perluasan kopi arabika, pembangunan irigasi pertanian, jalan pertanian, dan bantuan pertanian lainnya.
Amran menyebut, selama tiga bulan menjabat Menteri Pertanian, dia sudah mendatangi 15 provinsi di seluruh Indonesia. Dari kunjungan itu, dia menangkap bahwa masalah utama yang dihadapi petani adalah sulitnya mendapat pupuk subsidi. Sementara, pupuk komersial harganya meroket.
Hal tersebut juga disampaikan para petani saat Presiden Joko Widodo dan Amran berkunjung ke Banyumas dan Pekalongan. Presiden memutuskan untuk menambah Rp 14 triliun untuk subsidi pupuk.
Selain karena anggaran tidak tepat sasaran, kata Amran, penurunan produksi pertanian yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia karena fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan dan lebih kering.
Penurunan produksi jagung antara lain dirasakan petani di Medan Tuntungan, Antonius Tarigan (50). Mereka sangat sulit mendapat pupuk bersubsidi dalam beberapa tahun ini. ”Produksi kami hanya 5-6 ton per hektar, turun dari biasanya 7-8 ton. Ini karena kami kekurangan pupuk,” kata Antonius kepada Kompas.
Antonius menyebut, jatah pupuk subsidi yang mereka dapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pupuk sehingga harus menambah pupuk komersial. Dia hanya mendapat dua zak urea (1 zak 50 kilogram) dan satu zak NPK dalam setahun. ”Saya punya setengah hektar kebun jagung. Untuk sekali tanam saja butuh empat zak urea dan dua zak NPK. Padahal, dalam setahun bisa tiga kali masa tanam,” kata Antonius.
Kalau sudah terkena penyakit itu, produksinya bisa turun sampai 20 persen. Sampai sekarang belum ada penyuluh yang datang ke ladang jagung kami. Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Untuk menutupi kebutuhan, kata Antonius, dia akhirnya membeli pupuk komersial yang harganya dua kali lipat dari harga pupuk subsidi. Keuntungan yang didapat petani pun menjadi sangat tipis.
Petani lain, Yakob Sitepu (55), menyebut, penyakit tanaman yang tidak terkendali juga menurunkan hasil produksi mereka. Dalam setahun ini, tanaman jagung mereka diserang penyakit busuk batang. ”Kalau sudah terkena penyakit itu, produksinya bisa turun sampai 20 persen. Sampai sekarang belum ada penyuluh yang datang ke ladang jagung kami. Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya,” kata Yakob.