Peredaran Ratusan Kilogram Sabu dan Ratusan Ribu Butir Ekstasi Terungkap di Sumsel
Pengungkapan kasus narkoba dengan barang bukti besar patut dicurigai ada indikasi terkait politik menjelang pemilu.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kasus peredaran narkoba dengan total barang bukti yang cukup besar terungkap di Palembang, Sumatera Selatan. Sejumlah 111.642 kilogram sabu dan 134.195 butir ekstasi disita dari tiga tersangka di dua lokasi di Palembang pada 1 Februari 2024.
Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal A Rachmad Wibowo saat konferensi pers di Markas Polda Sumsel, Palembang, Minggu (11/2/2024), mengatakan, dari semua barang bukti itu, sebanyak 2.500 butir ekstasi berasal dari tersangka asal Dusun II, Desa Bailangu Timur, Kecamatan Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, berinisial He (43). Pelaku ditangkap di Jalan Raya Palembang-Betung pada 1 Februari sekitar pukul 11.00. Barang bukti itu ditemukan di mobil yang dikendarainya.
Kemudian, sebanyak 111.642 kilogram sabu dan 131.695 butir ekstasi berasal dari tersangka pasangan suami istri asal Palembang, Pa (31) dan Pi (28). Pa ditangkap lebih dahulu saat mengendarai mobilnya di Jalan Tanjung Barangan, Palembang, pada 1 Februari sekitar pukul 11.45. Sementara Pi ditangkap di rumah mereka di kawasan Gandus, Palembang, pada hari yang sama sekitar pukul 12.00.
Sebelum ditangkap, He dan Pa bertemu di kawasan Jalan Tanjung Barangan. Saat itu, He menerima satu bungkusan berwarna coklat dari Pa yang berisi barang bukti berupa 2.500 butir ekstasi. Adapun saat pertama kali ditangkap, Pa membawa bungkusan berwarna biru yang berisi barang bukti berupa 4.963 butir ekstasi di mobil yang dikendarainya.
Setelah diinterogasi, Pa mengaku masih menyimpan narkoba lain di rumahnnya. Saat pengeledahan di rumah Pa yang disaksikan ketua RT setempat, ditemukan 106 bungkus kemasan teh China yang berisikan serbuk kristal putih, diduga sabu dengan bobot 111.642 kilogram. Selain itu, sebanyak 26 bungkus plasik transparan yang berisi kurang lebih 126.732 butir ekstasi dengan bobot 22.182 gram.
”Mereka bukan sekali ini saja melakukan peredaran narkoba, setidaknya sudah tiga kali. Sebelum ditangkap, Pa dan Pi sempat mengedarkan sekitar 50 kilogram sabu,” ujar Rachmad.
Rachmad menuturkan, ketiga tersangka berstatus pedagang lokal atau agen lokal. Mereka tidak membawa masuk narkoba yang diduga berasal dari luar negeri, tepatnya dari China tersebut. Namun, mereka menerima barang-barang itu secara berantai atau bertahap dari bandar berinsial RK di Medan, Sumatera Utara.
Proses pendistribusian narkoba ke Sumsel dan peredarannya langsung dikendalikan oleh RK menggunakan alat komunikasi dan aplikasi khusus yang sulit untuk diselidiki. Untuk itu, kepolisian mengandalkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat.
”Kami telah berkoordinasi dengan Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri untuk melakukan pengembangan guna menangkap RK. Buron ini selalu memerintahkan pengiriman paket yang cukup besar setidaknya satu paket berisi 1 kilogram sabu dan 5.000 butir ekstasi,” kata Rachmad.
Rachmad menyampaikan, untuk awal tahun ini, secara keseluruhan mereka telah mengungkap kasus narkoba dengan total barang bukti berupa 102,65 kilogram ganja dan 2.000 batang ganja yang berasal dari kebun di Kabupaten Empat Lawang Sumsel, 141,9 kilogram sabu, dan 150.214 butir ekstasi. Bahkan, jumlah barang bukti berupa ekstasi itu yang terbesar dalam lima tahun terakhir.
Barang bukti yang kami tangkap kemungkinan besar hanya 10 persen dari yang beredar di masyarakat. Kalau permintaan atau pembelinya masih ada, sebanyak apa pun pengungkapan kasus narkoba, itu tidak akan menghentikan peredarannya.
”Barang bukti yang kami tangkap kemungkinan besar hanya 10 persen dari yang beredar di masyarakat. Kalau permintaan atau pembelinya masih ada, sebanyak apa pun pengungkapan kasus narkoba, itu tidak akan menghentikan peredarannya,” ujar Rachmad.
Rachmad mengatakan, pengungkapan kasus narkoba kali ini belum ada indikasi ke arah narko-politik atau peredaran narkoba yang terkait politik. Hanya saja, hal itu patut diantisipasi.
Ada kebiasaan unik di Sumsel, yakni masyarakat lebih senang dibayar dengan narkoba daripada uang dalam rangka mobilisasi kekuatan atau suara untuk kontestasi pemilu ataupun pilkada. Kalau di daerah lain dikenal istilah politik uang, di Sumsel lebih dikenal istilah narko-politik.
”Informasi mengenai narko-politik ini pernah saya dengar sekitar November atau Desember 2022 ketika rapat koordinasi Forkopimda di Lubuk Linggau, Sumsel. Waktu itu, ada salah satu kepala BNN (Badan Narkotika Nasional) kabupaten/kota yang menyampaikan informasi perihal tersebut,” ujarnya.
Kepala BNN Sumsel Djoko Prihadi menuturkan, sejauh ini, belum ada justifikasi yang menyatakan pengungkapan kasus narkoba kali ini mengarah kepada narko-politik. Namun, melihat prevalensi kasus dan barang bukti yang ada cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak menutup kemungkinan potensi itu ada. Lagi pula saat ini adalah masa menjelang pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari dan Pilkada 2024 pada 27 November mendatang.
Oleh karena itu, BNN Sumsel telah memetakan ada 10 daerah dan 600 kawasan yang rawan narkoba di Sumsel. Nantinya, BNN Sumsel bersama Polda Sumsel, Kodam II Sriwijaya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel berupaya agar jangan sampai narkoba menjadi alat politik di daerah ataupun kawasan rawan tersebut.
”Narko-politik bukan barang baru di Sumsel. Kita ingat beberapa tahun lalu (medio September 2020) ada anggota DPR di Palembang (Doni Timur) yang ditangkap karena membawa sejumlah besar sabu (5 kilogram). Dia bandar (jaringan internasional) sehingga divonis hukuman mati (oleh Pengadilan Negeri Palembang, Kamis, 15 April 2021),” kata Djoko.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sumsel Aris Saputra menyampaikan, pengungkapan kasus narkoba dengan jumlah barang bukti cukup besar seperti saat ini bukan hal baru di Sumsel. Paling tidak, itu pernah terjadi menjelang Pemilu 2019. Itu akibat masyarakat Sumsel lebih suka menerima narkoba ketimbang uang kalau ada permintaan suara guna mendukung oknum peserta pemilu ataupun pilkada.
Fenomena itu patut didalami oleh pihak yang lebih berwenang, di antaranya pihak kepolisian. ”Bisa saja menjelang pemilu ataupun pilkada tahun ini, pola seperti itu kembali dilakukan oleh oknum-oknum tertentu,” kata Aris.