Harapan Besar dari Keringat di Kaus Lusuh Petugas KPPS
Para petugas KPPS berjuang keras mempersiapkan pemilu meski terkendala logistik dan pelanggaran lainnya.
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara menjadi salah satu ujung tombak pesta demokrasi. Keringat di baju mereka menjadi bukti menghadirkan pemilu terbaik untuk masa depan negeri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hari baru saja berganti ketika Diki Suryana (21) masih mengangkat papan tulis besar di TPS 25 Kelurahan Menteng, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (14/2/2024). Papan itu dibutuhkan untuk menempel berbagai pengumuman dan 293 nama dalam daftar pemilih tetap.
”Pokoknya jangan sampai ada yang terlewat,” kata Diki, Rabu dini hari.
Masih bekerja saat banyak warga tertidur nyenyak menjadi ikhtiar bagi Diki, satu dari 54.369 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kalteng. Tujuannya hanya satu: pencoblosan yang akan dilakukan beberapa jam kemudian harus berjalan lancar.
Apalagi, mahasiswa semester II Jurusan Manajemen di Universitas Terbuka Palangkaraya itu diberi mandat berat. Diki adalah Ketua KPPS TPS 25.
Dia dibantu enam petugas lain yang usianya jauh lebih tua. Profesi mereka beragam, dari guru TK hingga ketua RT. Tidak semua berpengalaman menjadi petugas KPPS, ada saja hal-hal yang terlewatkan.
”Duh,” kata Diki sembari menepuk jidat selepas memasang papan tulis.
Kekhawatirannya terbukti. Seharian bekerja mempersiapkan TPS, ternyata masih ada yang kurang. Diki baru sadar, belum ada kursi untuk petugas KPPS.
Baca juga: Jurus Silat Mahasiswa Palangkaraya Kritisi Drama Pesta Demokrasi
Dia lalu memanggil Rahman (60), salah satu anggota KPPS. ”Dari mana lagi kita dapat bangku ini, Pak?” tanya Diki.
”Ambil ke rumahku saja masih ada bangku,” jawab Rahman, yang berprofesi sebagai ketua RT.
Rumah Rahman berjarak lima gang atau sekitar 800 meter dari TPS. Diki pun menyalakan motor. Dia bersama Rahman lima kali pergi pulang membawa delapan bangku.
Lelah tergurat di wajah Diki. Imbauan KPU Kota Palangkaraya agar petugas KPPS beristirahat pukul 21.00 agar tidak kelelahan sulit dilakukan. Begitu banyak yang harus dikerjakan untuk menyiapkan pencoblosan berjalan mulus.
Saya kira selama ini itu cuma candaan. Ternyata ”serangan fajar ” itu ada. Bahkan, enggak fajar lagi, tapi siang-siang buta. (Diki Suryana)
Serangan fajar
Kaus putih Diki yang basah dengan keringat menjadi saksi. Sejak Selasa pagi, dengan baju yang sama, Diki bolak-balik kantor kecamatan dan kelurahan mengambil logistik pemilu.
Dia juga mesti menerima dan memeriksa daftar pemilih tetap. Diki tidak menyangka, pengalamannya sebagai petugas dalam pemilu ternyata begitu berat.
”Bapak saya yang minta aku coba menjadi anggota KPPS. Katanya, biar ada pengalaman baru ketemu orang baru juga,” kata Diki.
Urusan negara seperti saat ini memang pengalaman baru bagi Diki. Sebelumnya, selain kuliah, Diki membantu orangtuanya berjualan di kedai kopi.
Dia juga berjualan kaus dan celana untuk anak-anak muda. Dari kaus, Diki mendapat untung Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. ”Pengalaman kali ini lebih berat dari jualan kaus,” katanya.
Baca juga: Posko Advokasi Dibuka untuk Dampingi Warga Sipil yang Bersuara Kritis
Alasannya, bukan lelah fisik saja yang ia rasakan. Ada beban mental yang dia alami. Salah satunya saat banyak calon anggota legislatif dan tim sukses mendatangi dirinya.
Ia mengaku ditawari sejumlah uang, mulai dari di dalam amplop sampai pakai aplikasi daring untuk transfer apabila mengabulkan keinginan mereka. Namun, semuanya dia tolak. Diki lebih takut masuk penjara.
”Saya kira selama ini itu cuma candaan. Ternyata ‘serangan fajar’ itu ada. Bahkan, enggak fajar lagi, tapi siang-siang buta,” ungkap Diki.
Arus Kahayan
Jika Diki begadang, Muhammad Subhan (27), Ketua KPPS TPS Kanarakan, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya, bertaruh nyawa di medan yang lain. Demi pemilu terbaik, dia menyeberang arus deras Sungai Kahayan untuk membawa logistik pemilu.
Setelah tidak ada logistik yang datang pada Selasa pagi, dia nekat mendatangi kantor kecamatan berjarak 12 kilometer dari Kanarakan. Akibat arus sungai yang deras, dia butuh 1 jam menggunakan perahu kayu bermotor untuk tiba di tujuan.
Sampai di kantor kecamatan, ternyata petugas masih memeriksa logistik untuk Kanarakan. TPS itu diperiksa terakhir karena dianggap paling jauh. Dia harus menunggu dua jam sebelum akhirnya kembali pulang, menyeberangi arus deras dan durasi waktu yang sama.
”Tapi enggak apa-apa, yang penting logistiknya lengkap dan bisa tiba di TPS sehingga pemilih bisa menggunakan hak pilihnya,” kata Subhan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangkaraya, Paulus Alfons, mengungkapkan, perjuangan petugas KPPS ikut berperan menciptakan demokrasi. Mereka patut diapresiasi karena menjadi bagian dari usaha mulia itu.
Di tengah semua ujian itu, baik Diki, Rahman, maupun Subhan punya harapan serupa. Mereka ingin siapa saja yang terpilih memang layak memimpin. Setelah tugas usai, mereka hanya ingin pulang, lalu beristirahat bersama rasa bangga telah menjadi bagian dari usaha menjaga keteguhan demokrasi.
Baca juga: Jelang Pemilu, Nilai Transaksi Penarikan Uang di Kalteng Melonjak