logo Kompas.id
NusantaraPenggunaan Kunyit Saat Pemilu ...
Iklan

Penggunaan Kunyit Saat Pemilu dan Keunikan Kampung Benda Kerep di Cirebon

Kampung Benda Kerep di Cirebon menggunakan sari kunyit sebagai pengganti tinta pada pemilu.

Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
· 8 menit baca
Sari kunyit yang digunakan warga Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, pada Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sari kunyit yang digunakan warga Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, pada Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.

Penggunaan sari kunyit sebagai pengganti tinta seusai pencoblosan pada Pemilihan Umum 2024 jadi salah satu keunikan Kampung Benda Kerep di Kota Cirebon, Jawa Barat. Keistimewaan lain, di kawasan pesantren ini tidak ada bising televisi, motor, dan mobil.

Sejumlah warga bergantian masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) 65 di Kampung Benda Kerep, Rabu (14/2/2024) pagi. Mereka menyalurkan suaranya dalam pemilu. Setelah meninggalkan bilik suara, warga lalu mencelupkan jarinya ke sari kunyit sebagai penanda telah mencoblos.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Cairan berwarna kuning itu menggantikan tinta ungu yang lazim digunakan dalam pemilu. Jari kelingking sejumlah warga pun tampak kuning. Mereka bisa jadi sulit mendapat diskon di tempat perbelanjaan atau wisata yang mensyaratkan jari berwarna ungu sebagai penanda ikut pemilu.

Penggunaan sari kunyit ini salah satu keunikan di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti. Lokasinya 12 kilometer sebelah selatan Balai Kota Cirebon. Menuju ke sana, pengendara akan menemui jalan aspal yang berlubang di beberapa lokasi.

Pengendara juga kerap berpapasan dengan truk yang hilir mudik membawa batu dan pasir. Di wilayah itu terdapat lubang bekas galian pasir.

Truk pengangkut sampah turut melintas. Maklum, tempat pembuangan akhir sekitar 340.000 warga kota ada di Kopi Luhur, blok tetangga.

Baca juga: Mantra Dukun Politik Cirebon dan Pentingnya Melek Literasi

Warga melintasi sungai di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Sepeda motor dan mobil tidak bisa masuk ke kawasan itu karena tidak ada jembatan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga melintasi sungai di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Sepeda motor dan mobil tidak bisa masuk ke kawasan itu karena tidak ada jembatan.

Gapura selamat datang di Pondok Pesantren Benda Kerep menyambut pengunjung. Namun, menuju kampung, pengunjung harus menyeberangi sungai dengan lebar sekitar 30 meter.

Hanya ada bebatuan serupa jembatan yang menjadi pijakan warga. Saat hujan deras, risikonya besar.

Suasana pesantren tampak dari pria yang mengenakan sarung dan peci. Adapun semua perempuan memakai jilbab.

Sebagian besar rumah warga terbuat dari batu. Namun, masih ada yang memakai kayu dan bambu. Rimbun pepohonan membuat sejuk area seluas 33 hektar itu.

Menyambut pemilu, warga membangun empat TPS sederhana dari bambu dan kayu. Terpal serta kain jadi penutupnya.

Uniknya, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon Mardeko, tiga TPS di antaranya menggunakan sari kunyit sebagai pengganti tinta setelah mencoblos.

Di TPS tersebut terdapat lebih kurang 600 daftar pemilih tetap. ”(Penggunaan kunyit) Ini kearifan lokal. Tetapi, pada prinsipnya, KPU menyediakan tinta dan kunyit. Kita harapkan, selesai mencoblos, mereka mencelupkan (jari) ke tinta. Setelah itu, ke kunyit,” ungkap Mardeko.

Pemakaian kunyit itu, lanjutnya, merupakan kearifan lokal berdasarkan keyakinan warga. Tinta dianggap dapat menghalangi air wudu.

Sebaliknya, warga menganggap cairan kunyit tidak menghalangi pori-pori jari atau kuku saat terkena air wudu. Pihaknya pun menyediakan kunyit.

Mardeko menghargai kebiasaan warga yang berlangsung setiap pemilu itu. Ia juga telah berkoordinasi dengan KPU Jabar terkait hal itu.

”Tinta atau kunyit, kan, hanya penanda agar warga tidak mencoblos dua kali. Jadi, bukan penentu sah atau tidaknya suaranya,” ujarnya.

Usulan kunyit

Sari kunyit yang digunakan warga Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, pada Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sari kunyit yang digunakan warga Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, pada Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.

Pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep KH Miftah Faqih mengatakan, penggunaan kunyit sudah dimulai sejak pemilu awal tahun 2000, pascareformasi. Sebagian besar warga memilih kunyit karena khawatir jika menggunakan tinta, air wudu tidak meresap.

Kunyit menjadi alternatif agar warga tetap memilih tanpa diselimuti kekhawatiran. Namun, pihaknya tidak melarang warga yang ingin menggunakan tinta setelah mencoblos.

”Kalau warga mau pakai tinta (KPU), monggo (silakan), yang mau kunyit juga monggo,” ucap KH Miftah.

Buktinya, dari empat TPS, terdapat satu TPS yang akan menggunakan tinta ungu sepenuhnya. Namun, menurut KH Miftah, pemakaian sari kunyit juga bisa bertahan hingga tiga hari. Warga pun tidak dapat mencoblos di luar ketentuan karena sudah ada penandanya.

Mudah-mudahan, dengan pemilihan yang jujur dan adil, ke sananya (masa depan masyarakat) akan lebih baik. Segala sesuatu kalau pertamanya baik, ke sananya juga baik. (KH Miftah Faqih)

Warga menggunakan hak pilihnya di Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga menggunakan hak pilihnya di Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/2/2024). Warga setempat memakai kunyit sebagai pengganti tinta ungu seusai mencoblos.

Bahkan, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Cirebon ini mengusulkan penggunaan kunyit lebih luas saat pemilu. Apalagi, kunyit menjadi salah satu rempah andalan di negeri ini. Badan Pusat Statistik mencatat, produksi kunyit tahun 2022 mencapai 196.499 ton.

”Kalau seluruh (daerah di) Indonesia pakai kunyit, pasti bisa menaikkan (ekonomi) petani kunyit. Beberapa bulan sebelum pemilu, petani menanam kunyit. Jadi, kalau pesta demokrasi, warga juga menikmatinya. Tapi, beli kunyitnya jangan harga murah,” ungkapnya tersenyum.

Pemilu 2014, warga memarut kunyit untuk dijadikan tinta pemilu. Kunyit itu dibeli di pasar. Bagi warga setempat, kunyit menjadi bahan masakan hingga jamu untuk melancarkan pencernaan dan penambah nafsu makan.

”Sampai sekarang, saya biasa minum kunyit,” ucapnya.

KH Miftah berharap pemilu kali ini berjalan aman, tenteram, dan damai. Ia juga mengimbau warga menggunakan hak pilihnya dan memilih sesuai hati nurani.

Iklan

Partisipasi rendah

TPS 65 di Blok Bantar, Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Di TPS itu, sekitar 215 warga akan menggunakan kunyit sebagai pengganti tinta seusai pencoblosan pada Pemilu 2024. Warga memilih kunyit sebagai tanda karena tidak menghalangi wudu untuk shalat.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

TPS 65 di Blok Bantar, Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Di TPS itu, sekitar 215 warga akan menggunakan kunyit sebagai pengganti tinta seusai pencoblosan pada Pemilu 2024. Warga memilih kunyit sebagai tanda karena tidak menghalangi wudu untuk shalat.

Partisipasi pemilih dalam pemilu di Kampung Benda Kerep memang masih menjadi pekerjaan rumah. Penjabat Wali Kota Cirebon Agus Mulyadi mengetahui hal itu saat bicara dengan mantan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2019 di daerah itu.

”Dari jumlah DPT, yang hadir hanya 50 persen. (Suara) Yang sah hanya 50 persen,” ucap mantan petugas itu kepada Agus pada Selasa (13/2/2024).

”Cuma 50 persen? Itu tidak sah karena banyak salah (coblos),” kata Agus yang meminta warga memberikan suaranya saat pemilu.

Tubagus Masuddin Nur, Ketua KPPS TPS 65, mengakui, partisipasi warga dalam pemilu lalu rendah. ”Saya juga dulu enggak memilih. Ya, enggak mau saja. Di sini itu semuanya tergantung para kiai. Kalau kiai memilih, semua ikut. Ada juga yang enggak dapat undangan,” ujarnya.

Di sisi lain, warga tidak begitu mengenal para peserta pemilu. Seingat Bagus, sapaannya, hampir tidak ada calon anggota legislatif yang melakukan kampanye terbuka.

Kalaupun ada, para tamu biasanya sowan dan meminta doa kepada kiai. Warga juga tidak memiliki televisi untuk menonton berita.

”Di sini enggak ada TV, laptop, radio, speaker. Cuma HP (handphone) dan listrik saja,” kata Bagus.

Baca juga: Pesan-Tren Damai di Cirebon, Belajar Toleransi dari Gereja hingga Wihara

Pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep Kiai Muhammad Miftah saat diwawancarai di kediamannya di RW Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024).
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep Kiai Muhammad Miftah saat diwawancarai di kediamannya di RW Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024).

Tidak hanya itu, bising sepeda motor atau mobil juga tak terdengar. Belum ada akses masuk kendaraan. Sepeda motor milik beberapa warga diparkir di kampung sebelah.

”Bukannya warga Benda enggak mampu bangun jembatan. Tapi, sudah dari dulu enggak ada jembatan. Kata pak kiai, yang enggak ada enggak boleh diada-adain,” ungkap Bagus. Warga pun tak masalah harus berjalan kaki memikul barang-barang untuk menyeberang sungai.

”Di sini kalau bangun rumah harganya dua kali lipat karena biaya angkutnya itu,” ucapnya.

Meski demikian, itu bukanlah rintangan. Toh, katanya, rezeki warga yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang tetap mengalir. Bagus, misalnya, menjual iket khas Benda.

Penutup kepala yang ia buat merupakan ajaran kiai. Misalnya, iket Kiai Mas’ud yang modelnya terdapat kain berdiri tegak. Menurut Bagus, itu menyimbolkan Allah Yang Maha Esa. Dari berjualan iket dengan harga mulai Rp 100.000 per set dan madu, ayah dua anak ini menghidupi keluarganya.

Acara keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, juga ramai di Benda. Saking meriahnya, kata Bagus, warga bergantian mengadakan muludan, lengkap dengan berkatnya.

”Setahun itu, saya bisa dapat 100 ember. Isinya, jaburan, seperti roti,” ucapnya.

Begitu pun saat ada warga yang mengandung, ada acara empat bulanan, tujuh bulanan, dan lainnya. Ketika ada yang wafat, tahlilan digelar dalam tujuh hari. Bahkan, katanya, pernah ada warga yang membuat tahlilan hingga 40 hari, lengkap dengan makanan bagi tamu.

Butuh perhatian

Warga melintasi sungai di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Sepeda motor dan mobil tidak bisa masuk ke kawasan itu karena tidak ada jembatan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga melintasi sungai di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/2/2024). Sepeda motor dan mobil tidak bisa masuk ke kawasan itu karena tidak ada jembatan.

Meskipun merasa tidak ada rintangan berarti, ia mengakui, kampungnya masih membutuhkan perhatian pemerintah. ”Misalnya, jalan yang kurang bagus diperbaiki. Lampu jalan atau listrik yang kadang mati juga, kami butuh penghubung ke pemerintah yang mudah,” ungkap Bagus.

Itu sebabnya, ketika orang kelurahan menawarinya menjadi petugas KPPS dalam pemilu, Bagus langsung sepakat. Padahal, ia belum pernah ikut memilih pada pemilu sebelumnya. Bagus menaruh harapannya pada pesta demokrasi kali ini.

Ia optimistis, warga kali ini berpartisipasi dalam pemilu. ”Tenda TPS 65 ini punya warga yang mau hajatan. Daripada sewa tenda, mendingan pakai ini. Kami juga pakai seragam iket. Ada yang minta iket juga. Saya bilang enggak ada. Potong honor saya saja,” kata Bagus tertawa.

Serupa dengan Bagus, Budi (32), anggota KPPS lainnya, berharap pemilu bisa melahirkan pemimpin yang membantu warga. Ia, misalnya, ingin warungnya yang bocor bisa dibantu diperbaiki.

”Inginnya kami dirangkul pemerintah. Diajak bersama membangun,” lanjutnya.

Meski demikian, ia tidak ingin kekhasan Benda Kerep berubah karena pengaruh budaya dari luar. ”Di sini nyaman, tenang. Teringat waktu saya kecil di kampung, enggak ada motor. Semua sama. Dulu, yang pakai motor itu orang kaya saja,” kata Budi yang lahir di Klangenan, Cirebon.

Sejak didirikan KH Soleh Zamzami pada 1826, kampung dan Pesantren Benda Kerep memang punya sejarah panjang. Mbah Soleh, sapaannya, masih keturunan Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon abad ke-15. Mbah Soleh juga aktif melawan penjajah Belanda.

Munib Rowandi Amsal dalam artikelnya di Kompas (12/9/2009) menuliskan, pola hidup masyarakat Benda Kerep diperkirakan mengikuti Fatwa Ciremai. Fatwa ini merupakan hasil keputusan pertemuan para kiai di kawasan Gunung Ciremai pada tahun 1800-an.

Bekas galian C di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (23/12/2021). Aktivitas galian pasir di daerah tersebut sudah dilarang sejak 2004. Namun, sejumlah warga tetap menambang pasir karena tidak punya pilihan pekerjaan lain.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Bekas galian C di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (23/12/2021). Aktivitas galian pasir di daerah tersebut sudah dilarang sejak 2004. Namun, sejumlah warga tetap menambang pasir karena tidak punya pilihan pekerjaan lain.

Menurut Zaini Hasan (2000), pertemuan di kawasan Gunung Ciremai itu digagas sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Selain itu, pertemuan bertujuan menguatkan komitmen perjuangan melawan Belanda.

Isi Fatwa Ciremai antara lain agar umat Islam tidak menjadi pegawai Belanda serta tidak mengenakan pakaian ala Belanda atau Barat. Diperkirakan sejak saat itu masyarakat Benda Kerep secara konsisten melaksanakan fatwa itu. Namun, perubahan perlahan terjadi.

Pada 1980-an, listrik mulai masuk kampung meskipun sempat mendapatkan penolakan. Rumah warga juga tidak lagi berbahan kayu. Sinyal seluler kini tersedia.

Meski demikian, warga masih memegang teguh agar tidak ada bising televisi dan kendaraan bermotor. Sebagian warga juga kukuh menggunakan kunyit setelah mencoblos. Pemilu 2024 kali ini mungkin bakal membuktikan tingkat partisipasi warga dan nasib kampung mereka ke depan.

Seperti pesan KH Miftah, ”Mudah-mudahan, dengan pemilihan yang jujur dan adil, ke sananya (masa depan masyarakat) akan lebih baik. Segala sesuatu kalau pertamanya baik, ke sananya juga baik.”

Baca juga: Dukun hingga Rompi Antipeluru demi Takhta Raja

Editor:
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000