Bahaya Memandang Remeh Puting Beliung
Puting beliung dianggap tidak lebih fatal ketimbang bencana alam lainnya. Anggapan itu meleset jika tidak dimitigasi.
Fenomena puting beliung yang muncul di perbatasan Bandung-Sumedang, Jawa Barat, Rabu (21/2/2024) sore, mengejutkan warga. Angin kencang berputar, membesar, menerkam apa saja, dan menerbangkannya ke udara.
Di dalam pusarannya beragam material ikut terbawa. Terlihat atap pabrik, genteng rumah, dan batang pohon. Mobil hingga truk terbalik. Dalam rekaman video, teriakan orang yang ketakutan terdengar keras.
Akibatnya, 735 keluarga dan 116 bangunan di Cicalengka, Rancaekek, dan Cileunyi di Kabupaten Bandung serta Jatinangor dan Cimanggung di Kabupaten Sumedang terdampak. Sedikitnya 32 orang terluka.
Sebagian besar luka ringan dan sudah dirawat di rumah sakit. Pada Kamis (22/2/2024), Pemerintah Kabupaten Sumedang sudah menetapkan status tanggap darurat.
Akan tetapi, warga tetap antusias membicarakan kehebohan yang terekam ramai di media sosial itu. Sebagian menyebut kejadian ini adalah tornado meski fenomena itu sangat langka di Indonesia, apalagi di Jabar.
Selain hasil melihat di rekaman video, anggapan itu muncul membandingkan kejadian kali ini dengan puting beliung sebelumnya.
Baca juga: Puting Beliung Terjang Bandung dan Sumedang, 735 Keluarga Terdampak
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Teguh Rahayu memastikan fenomena alam di daerah sekitar 20-30 kilometer dari pusat Kota Bandung itu bukan tornado, melainkan puting beliung. Pihaknya mencatat kecepatan angin saat itu adalah 36,8 km per jam.
”Puting beliung merupakan fenomena alam berupa angin yang berputar dengan kecepatan kurang dari 70 kilometer per jam,” kata Teguh.
Kejadian kemarin juga dikategorikan puting beliung karena dampaknya tidak seluas tornado. ”Kalau tornado pasti dampaknya lebih dari 10 kilometer, sedangkan kemarin dampaknya 3-5 kilometer,” ucapnya.
Pertumbuhan tornado juga berasal dari perairan dan terdeteksi dari radar. Adapun puting beliung kemarin, katanya, berasal dari awan kumulonimbus.
Sudah saatnya masyarakat sadar pentingnya pelestarian lingkungan sejak dini. Pohon yang ditanam akan semakin banyak menyerap panas sehingga udara semakin sejuk dan pembentukan awan berjalan normal.
Pembentukan awan ini biasanya gejala awal puting beliung. Awan itu berwarna pekat dan berbentuk seperti kol.
Gejala lainnya adalah udara terasa panas dan gerah, serta ranting pohon dan dedaunan bergerak cepat karena tertiup angin kencang. Namun, tidak semua awan jenis ini menimbulkan puting beliung.
Meramal alam
Di luar perdebatan itu, serta tidak ada korban jiwa setelah kejadian, puting beliung tetap harus diwaspadai. Apalagi, ini bukan yang pertama terjadi di kawasan itu.
Pada Jumat (11/1/2019), misalnya, puting beliung merusak 200 rumah di Kompleks Rancaekek Permai 2, Kampung Jatisari, Kampung Papanggungan, dan Kampung Babakan Linggar Jati Baru di Kecamatan Rancaekek. Seperti sekarang, kala itu peristiwanya juga terjadi tiba-tiba.
Saat menyambangi lokasi bencana itu lima tahun lalu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan hendak mencari teknologi deteksi puting beliung hingga ke Jepang. Namun, keinginan itu tampaknya tidak terwujud. Puting beliung masih terjadi tanpa peringatan bagi warga sekitarnya.
Meramal alam memang bukan perkara mudah. Hingga kini, belum ada teknologi yang bisa mendeteksi kapan dan bakal sebesar apa puting beliung. Namun, setidaknya ada tiga tanda terbentuknya puting beliung, yaitu awan gelap, muncul petir, dan angin kencang.
Awan gelap menandakan tingginya kandungan uap air dalam awan. Petir adalah akibat bertemunya muatan awan positif dan negatif di dalam awan. Angin kencang menandakan tertariknya massa uap air masuk ke badan awan.
Akan tetapi, semuanya belum bisa mendeteksi kapan bencana ini datang. Puting beliung merupakan fenomena atmosfer lokal dengan skala ruang sempit dan waktu singkat.
Untuk memantau puting beliung, diperlukan radar sangat sensitif yang memiliki ketepatan dalam mendeteksi posisi spasial terhadap penumpukan uap air dan pergerakan awan (Kompas, 19 November 2007).
Keberpihakan
Di tengah segala tantangan itu, bukan berarti puting beliung tidak bisa dimitigasi. Muncul akibat dampak perubahan iklim, puting beliung diyakini bisa diminimalkan kemunculannya apabila manusia berpihak pada alam.
Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika di Badan Riset dan Inovasi Nasional, pernah mengatakan, puting beliung sedikit banyak bersinggungan dengan fenomena pulau panas perkotaan atau urban heat island.
Fenomena ini terkait peningkatan suhu perkotaan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Alih fungsi lahan hingga kehadiran lahan terbuka menjadi beberapa pemicunya.
Saat kemarau, urban heat island meningkatkan temperatur udara. Ketika musim hujan, urban heat island juga berdampak buruk. Tingginya temperatur udara membuat penguapan air, pembentukan awan terjadi lebih tinggi, dan memicu fenomena iklim lainnya. Hal itu rentan memicu hujan deras hingga puting beliung.
”Sudah saatnya masyarakat sadar pentingnya pelestarian lingkungan sejak dini. Pohon yang ditanam akan semakin banyak menyerap panas sehingga udara semakin sejuk dan pembentukan awan berjalan normal,” kata Djamaluddin.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Haerudin Inas menilai peningkatan suhu di wilayah Bandung, terutama saat siang hari, menunjukkan perubahan iklim nyata adanya. Bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor, juga membuktikan fenomena itu.
Persoalan lingkungan, katanya, turut memperburuk dampak bencana. ”Di wilayah yang terkena puting beliung itu tutupan lahannya berkurang. Beralih fungsi menjadi kluster hunian dan tambang-tambang kecil. Memang itu wilayah industri. Tetapi, tetap ada fungsi hijaunya,” ungkap Inas.
Ia juga menduga puting beliung berkolerasi dengan bukit-bukit setempat yang gundul, bahkan habis, akibat alih fungsi lahan. ”Ilustrasinya kayak mangrove. Kalau mangrove dijaga, banjir rob bisa dihalangi. Begitu juga dengan puting beliung, kalau tutupan lahannya bagus, mungkin bisa diantisipasi,” ujarnya.
Itu sebabnya, Inas mendorong pemerintah untuk memastikan tutupan lahan di wilayah Bandung terjaga. Pemerintah dan masyarakat juga perlu memitigasi dampak perubahan iklim yang semakin terasa.
Alih fungsi lahan memang menjadi tantangan bagi daerah lokasi kejadian puting beliung Sumedang-Bandung. Pembangunan marak di kawasan itu.
Rancaekek, misalnya, lama menjadi kawasan industri tekstil. Banyak pabrik tekstil berskala internasional dengan puluhan ribu tenaga kerja berdiri di sana.
Hal itu memicu efek domino. Banyak orang datang mengadu nasib. Kawasan permukiman kelas atas hingga bawah menjamur bersama sektor ekonomi pendukungnya.
Berada di Bandung Timur, kawasan itu menjadi primadona pembangunan infrastruktur pemerintah. Di Gedebage, tidak jauh dari Cileunyi, berdiri stadion sepak bola dan tempat ibadah terbesar di Jabar. Ruas Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan juga memudahkan arus transportasi di sana.
Jatinangor juga tumbuh dari kecamatan di perbatasan kabupaten menjadi kawasan urban baru. Tercatat ada tiga kampus besar di kecamatan itu. Ribuan mahasiswa menuntut ilmu di sana.
Perlahan permukiman, penginapan, dan mal subur. Daerah sejauh 25 kilometer dari pusat Kota Bandung itu kini bertumbuh kian padat. Kawasan hijau pun berganti beton. Saat itu terjadi, kawasan tersebut rentan ringkih menghadapi dampak perubahan iklim.
Mitigasi
Selain keberpihakan pada alam, daya adaptasi bisa dilengkapi dengan pengetahuan mitigasi saat puting beliung terjadi. Berdasarkan buku saku Tanggap, Tangkas, Tangguh Menghadapi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), panik bukan pilihan tepat. Meski takut, hati sebaiknya tetap tenang menghadapi bencana apa pun, termasuk puting beliung.
Dalam buku saku disebut, jika terasa petir akan menyambar, segera membungkuk, duduk, dan peluk lutut ke dada. Jangan tiarap di atas tanah.
Selain itu, warga harus menghindari bangunan tinggi, tiang listrik, dan papan reklame. Apabila hendak masuk bangunan, harus dipilih yang kokoh. Jangan lupa matikan semua aliran listrik dan peralatan elektronik. Apabila itu bisa dilakukan, risiko menjadi korban kemungkinan dapat ditekan.
Dampak puting beliung kerap dianggap tidak lebih berat ketimbang bencana alam lainnya. Kejadian yang bersifat lokal dan singkat berbeda dengan gunung api hingga tsunami yang bisa memakan waktu tanggap darurat hingga berbulan-bulan. Korban jiwa yang tidak semasif gempa atau longsor kerap membuat puting beliung mudah dilupakan.
Akan tetapi, jika menilik data BNPB yang menyebutkan terjadi 8.569 puting beliung atau yang terbanyak di Indonesia periode 2014-2023, mitigasi dan kewaspadaan menghadapinya tidak bisa dianggap remeh. Bencana apa pun bisa berdampak bagi mereka yang tidak siap.
Baca juga: Antara Puting Beliung di Bandung dan Badai Topan di Hong Kong