Penggiat Kreatif Bandung Eksis dengan Menunggangi Tren Digitalisasi
Adaptasi dan inovasi di ranah digital membuat warga di Kampung Wisata Kreatif Kota Bandung tetap bertahan dan berdampak.
Kampung Wisata Kreatif di Kota Bandung hidup dari kunjungan wisatawan. Namun, pandemi Covid-19 hingga kebiasaan berbelanja daring membuat para pelaku usaha di kawasan itu harus memutar otak agar tetap bertahan. Mereka berkreasi di dunia maya agar mengikuti arus digitalisasi yang mulai merasuk ke berbagai sendi kehidupan.
Kawasan Tekstil Cigondewah (KTC), Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/2/2024) siang, berteman sepi. Hanya ada beberapa pekerja yang mengangkat gulungan kain, sisanya duduk menunggu datangnya pembeli di Kampung Wisata Kreatif (KWK) tersebut.
Baca juga: Geliat Kampung Wisata di Malang Raya, dari Jantung Kota hingga Kaki Gunung
Di salah satu sudut pasar, terdengar riuh suara sejumlah karyawan yang menjajakan dagangannya. Bukan karena ada pembeli, dua pegawai toko Queen Textile itu tengah memamerkan produk yang dijual ke media sosial.
”Ayo kakak silakan di check out keranjang kuningnya. Kita mau tutup empat menit lagi!” teriak pegawai toko yang bertugas menjajakan barang, sementara satu petugas lainnya mengarahkan lensa kamera ponselnya ke kain yang dijajakan untuk melihat detailnya.
Irwan Harifullah (23), salah satu karyawan toko di sana, mengamati kedua rekannya yang tengah siaran langsung dari salah satu aplikasi jual beli. Dari toko virtual itu, ribuan pesanan hadir dan memberikan keuntungan hingga separuh dari pemasukan toko.
”Rata-rata sebulan itu pendapatan kotor ratusan juta. Hampir setengahnya berasal dari online (daring),” ujar Irwan.
Toko ini mulai aktif menggunakan penjualan daring hampir setahun dan menjadi penopang penjualan karena ada puluhan hingga ratusan pesanan berasal dari sana. ”Kalau tidak salah, kami mulai setelah Lebaran tahun lalu,” katanya.
Berkreasi dengan membuat video dan siaran adalah cara bagi Queen Textile untuk bertahan di tengah kondisi Pasar Kreatif Cigondewah yang cenderung sepi. Irwan yang bekerja di sana lebih dari dua tahun belum pernah merasakan keramaian pasar seperti masa sebelum pandemi menyerang.
”Paling ramai itu akhir pekan, atau sekarang saat menjelang bulan puasa. Orang-orang yang mau bikin baju Lebaran sudah mulai memesan kain dari sekarang,” kata Irwan.
Baca juga: Jalan Panjang Digitalisasi Usaha Kecil ”Pemuas Lidah”
Namun, keramaian yang biasanya hadir menjelang bulan Ramadhan tidak kunjung datang. Irwan berujar, penghasilan rata-rata yang didapat dalam setahun terakhir ini belum bisa menyamai keuntungan dari penjualan sebelum pandemi.
”Kata senior-senior saya, kami bisa dapat dua kali lipatnya, bahkan lebih saat menjelang bulan puasa. Tapi memang pandemi kemarin membuat semuanya anjlok. Kondisi ini juga sama saat saya masih mengurus toko di tempat lain,” ujarnya.
Pembeli yang mulai merenggang ini juga dirasakan oleh pedagang lainnya. Dian (50), salah satu pedagang yang memiliki toko di dekat pintu masuk pasar, hanya bisa bertopang dagu menatap area parkir yang sepi.
”Dulu, parkiran ini selalu penuh sama mobil pembeli, sampai-sampai mobil penjual tidak parkir di sini. Kalau sekarang, sebagian besar ini mobil penjual,” ujarnya sambil menunjuk ke arah parkiran.
Kampung wisata
Padahal, KTC didapuk menjadi kawasan wisata bukan tanpa alasan. Dekat dengan berbagai pabrik tekstil dan garmen yang tumbuh di selatan Bandung, pasar ini menjajakan berbagai jenis kain yang berkualitas dengan harga bersaing.
KTC dibangun sekitar tahun 2007 dan saat ini diisi oleh 110 toko. Selain kain dan produk tekstil lainnya, pasar ini juga menyediakan potongan sisa produksi yang layak jual dan berkualitas.
Enam belas tahun kemudian, Pemerintah Kota Bandung memasukkan KTC menjadi kampung wisata yang kelima di Kota Bandung. Hingga tahun 2023, jumlah KWK di Kota Bandung mencapai delapan titik dengan berbagai daya tarik yang diharapkan bisa merayu pengunjung untuk datang ke sana.
Destinasi wisata ini antara lain Kawasan Braga, Cigadung, Rajut Binong Jati, Literasi Cinambo, Cigondewah, Pasir Kunci, Gedebage, dan Cibaduyut. Masuknya sejumlah sentra produksi dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk meramaikan KWK ini mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Sekarang, pedagang harus jemput bola lewat media sosial. Ini baru belajar e-commerce, lumayan sulit untuk orang tua seperti saya.
Dengan alasan itu, Dian yang ikut menghadiri peresmian KTC menjadi destinasi wisata pada pertengahan tahun 2022 sempat memiliki harapan yang membuncah. Dihantam pandemi sejak tahun 2020, penjualan kain brokat miliknya belum pernah menyamai tahun-tahun sebelumnya.
”Semenjak pandemi, pendapatan sebulan hanya sekitar Rp 15 juta. Dulu, saya bisa dapat berpuluh-puluh juta saat jualan, terutama sebelum Natal dan Lebaran. Pekerja yang membawa gulungan kain datang mengambil pesanan. Pokoknya meriah,” ujarnya.
Namun, keriuhan itu belum datang lagi meskipun pandemi telah pergi. Menurut Dian, kebiasaan berbelanja daring dari para pembeli membuat kunjungan ke pasar tidak seramai sebelum pandemi.
”Sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan orang-orang yang datang ke toko. Sekarang, pedagang harus jemput bola lewat media sosial. Ini baru belajar e-commerce, lumayan sulit untuk orang tua seperti saya. Tapi kalau disuruh live, saya tidak bisa,” ujarnya tertawa.
Keramaian pelancong juga belum kunjung hadir di Kampoeng Radjoet Binong Jati. KWK yang berada di Kecamatan Batununggal, Kota Bandung ini, juga masih berteman sepi, Rabu (28/2/2024). Hanya ada suara mesin-mesin jahit dan perangkai benang rajut yang berbunyi dari sejumlah rumah produksi.
Ahmad (40), salah satu pekerja, tengah fokus merajut seuntai kain untuk menjadi satu helai pakaian hangat. Hari itu, dia harus menyelesaikan setidaknya lima lusin pakaian agar bisa membawa pulang uang Rp 600.000 dalam sepekan.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi. Waktu itu, dia bisa mendapatkan keuntungan hingga dua kali lipat dengan jumlah pesanan belasan lusin dalam sehari.
Pandemi sudah beres, tetapi pesanan juga belum naik-naik. Kalau begini, ya, saya hanya bisa pasrah. Beruntung sekarang anak saya sudah bisa menghidupi diri sendiri dan sekarang tinggal saya dan istri di rumah,” tutur Ahmad.
Digitalisasi
Meskipun masih belum merasakan pesanan yang tinggi seperti dulu, setidaknya Ahmad mulai bernapas lega. Bekerja di salah satu usaha rumahan milik warga di Kampoeng Radjoet lebih dari 10 tahun, dia mulai merasakan gairah produksi dari tempat-tempat lainnya mulai bersemi.
”Yang terpukul parah itu waktu pandemi. Saya pernah tidak dapat orderan dalam seminggu. Sekarang, setidaknya sudah mulai ada. Apalagi, pengelola rumah produksi di sini sudah mulai masuk jualan online,” ujarnya.
Adit Ilham (22), pengelola rumah produksi tempat Ahmad bekerja, melihat peluang pasar daring. Di tengah digitalisasi yang masuk ke berbagai sendi kehidupan, para penjual mulai mencari celah untuk mengembangkan usahanya.
”Sekarang memang masih belum ramai. Mesin rajut yang aktif juga baru lima unit, sementara yang di gudang lebih banyak. Tapi, kami tetap berharap semua bisa kembali seperti semula,” ujarnya.
Tidak hanya Adit, harapan agar Kampoeng Radjoet menjadi ramai kembali juga menjadi doa dari ratusan pelaku usaha lainnya. Koordinator Penjualan Kampoeng Radjoet M Attila Ibest Moeslem memaparkan, jumlah perajut yang meramaikan KWK ini hampir menyentuh 200 orang.
”Dulu bisa lebih dari itu. Namun, karena pandemi, banyak yang beralih pekerjaan. Yang bertahan juga kebanyakan sudah memiliki kemampuan digital, seperti penjualan dengan pasar daring dan akun-akun media sosial,” ujarnya.
Baca juga: Digitalisasi UMKM Menjadi Fokus Para Calon Pemimpin Negeri
Keinginan untuk bertahan ini, lanjut Ibest, ada karena mereka tidak ingin identitas wilayah sebagai sentra rajut ini menghilang. Apalagi, daerah yang dulunya disebut sebagai Sentra Rajut ini hadir sejak tahun 1970-an dan berubah menjadi Kampoeng Radjoet di tahun 2014.
”Awalnya, yang berkecimpung di usaha rajut di sini bisa dihitung jari. Tapi saat semuanya berkembang, banyak yang datang ke sini dan ikut memproduksi berbagai pakaian dari benang rajut. Kami bisa hidup dan bertahan dari usaha puluhan tahun ini,” ujarnya.
Karena itu, para perajut tetap bertahan dan beradaptasi. Sama seperti kampung tekstil di Cigondewah, Kampoeng Radjoet, dan KWK lainnya, roda perekonomian yang telah berputar belasan hingga puluhan tahun ini tidak akan macet saat para penggeraknya terus berinovasi.