Berkah Kenaikan Harga Gabah Kering Tidak Disiakan Petani Banyuasin
Tingginya harga beras menjadi berkah bagi petani. Fenomena itu memacu petani untuk memanen dan segera menanam lagi.
Tingginya harga beras di pasaran menjadi berkah tersendiri bagi sebagian petani. Fenomena itu turut memicu naiknya harga jual gabah kering di tingkat petani. Sejumlah petani di Banyuasin, Sumatera Selatan, kian bersemangat memanen hasil ladang yang produksinya tetap stabil meski ada kekeringan karena dampak El Nino sepanjang tahun lalu.
Hal itu dirasakan para petani di Desa Purwosari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Saat Kompas berkunjung, Senin (26/2/2024), salah satu petani di sana, Kurniawan (27), tampak sibuk. Dia bolak-balik menggunakan sepeda motor mengangkut berkarung-karung gabah yang baru dipanen menggunakan komben alias mesin combine harvester, mesin tiga fungsi, yakni untuk panen, perontok padi, dan pembajak sawah.
Baca juga: Beras Picu Inflasi Lagi, Harga Nasi Lauk Naik Cukup Tinggi
Kendati mentari terik dan melelahkan mengangkut berkarung-karung gabah, aura wajah Kurniawan tetap cerah. Dengan penuh semangat, dia bak seorang pebalap motor kros setiap kali membawa dua karung gabah berukuran sekitar 65 kilogram per karung melewati jalanan sekitar sawah yang tidak rata dan sebagian berlumpur.
Di sela aktivitasnya, Kurniawan mengatakan, sawah yang sedang dipanen itu berukuran 1 hektar. Itu sawah orangtuanya. Dari 2 hektar lahan yang ada tinggal 1 hektar itu yang belum tuntas dipanen. Mereka sudah mulai memanen sejak pagi dan ditargetkan selesai petang atau malam.
”Kami berusaha segera menyelesaikan panen hari ini supaya bisa langsung nyadu (tanam kedua) dalam minggu depan,” ujar generasi kedua transmigran di Desa Purwosari itu.
Kurniawan menuturkan, dirinya juga memiliki sawah yang berukuran 2 hektar. Sejauh ini tinggal seperempat hektar yang belum dipanen karena masa tanamnya yang lebih lambat dibanding tiga perempat hektar lahan lainnya yang sudah dipanen beberapa hari lalu.
”Dalam pekan ini, sisa seperempat hektar itu mungkin sudah bisa dipanen. Sehabis dipanen semua, saya akan segera nyadu,” katanya.
Para petani di Desa Purwosari, terutama keluarga dia, sedang bersemangat memanen dan nyadu. Hal itu tidak lepas karena harga jual gabah kering yang sedang menguntungkan petani. Pada musim panen kali ini, umumnya selama Januari hingga Maret, harga jual gabah kering menembus Rp 6.000-7.000 per kilogram. Itu menjadi harga tertinggi setidaknya sejak tahun 2015.
”Harga jual gabah kering saat ini yang tertinggi selama saya menjadi petani setelah lulus SMK pertanian pada 2015,” kata Kurniawan.
Baca juga: Lonjakan Harga Beras Pukul UMKM di Palangkaraya
Dengan harga jual gabah kering yang meningkat, keuntungan yang diperoleh petani pun jauh lebih baik. Sejauh ini, modal yang dikeluarkan petani untuk bersawah mencapai Rp 10 juta dari masa menyiapkan lahan, perawatan, hingga panen per hektarnya. Modal itu untuk membeli benih, pupuk, pestisida, hingga sewa komben plus membayar upah tenaga kerja saat panen.
Umumnya, hasil panen petani di sana rata-rata 9-10 ton per hektar. Adapun petani itu memiliki lahan sekitar dua hektar per petani.
”Hasil panen kali ini tidak jauh berbeda dibandingkan tahun lalu. Bahkan, ada petani yang hasil panennya jauh lebih baik. Kalau ada yang panennya berkurang, itu karena padi patah leher akibat terkena angin kencang. Nilai susutnya paling tinggi, mencapai 30 persen,” tutur Kurniawan.
Dengan demikian, petani bisa mendapatkan keuntungan Rp 40 juta-Rp 50 juta per hektar. Keuntungan itu didapat dari total modal yang dikurangi nilai penjualan (Rp 48,9 juta-Rp 63,4 juta per hektar). ”Kami sangat bersyukur dengan harga jual gabah kering tahun ini,” kata Kurniawan.
Kalau dibandingkan tahun lalu, harganya sempat sekitar Rp 3.000-Rp 5.000 per kilogram. Dengan harga jual gabah kering yang berada di bawah Rp 4.000 seperti saat masa akhir panen tahun lalu, tidak ada untung yang didapat, kecuali cadangan gabah untuk diolah menjadi beras. Sisanya, banyak petani berutang.
Hasil keuntungan itu terasa nyata. Hasil keuntungan yang didapat beberapa hari lalu mulai digunakan untuk mencicil membangun rumah untuk dia, istri, dan seorang anak mereka. Tampak fondasi yang kokoh dan tiang-tiang baja ringan mulai berdiri di lokasi pembangunan tersebut.
Harga jual gabah kering saat ini yang tertinggi selama saya menjadi petani setelah lulus SMK pertanian pada 2015.
Sebelumnya, Kurniawan sekeluarga masih menumpang di rumah orangtua Kurniawan yang berada di sebelah bakal rumah pribadinya. Selama ini, keuntungan dari hasil panen yang terbatas hanya cukup untuk makan sehari-hari dan memodali masa tanam kedua di antara Maret dan Juni atau untuk menanam jagung di antara Juni dan Oktober.
”Tetapi, dengan keuntungan lebih besar saat ini, kami bisa menyisikan uang untuk ditabung dan membangun rumah,” kata Kurniawan.
Jangan korbankan petani
Petani di Desa Purwosari lainnya sekaligus Ketua Kelompok Tani Sumber Tani 2015-2022, Suherman (52), mengatakan, pihaknya menyadari bahwa fenomena tingginya harga jual gabah kering berimbas terhadap tingginya harga beras di pasaran. Hal itu memunculkan fenomena petani tersenyum bahagia, sedangkan konsumen beras di perkotaan menjerit menderita.
”Tetapi, kami tidak rela kalau petani yang dikorbankan, salah satunya dengan menekan harga jual gabah kering agar harga beras turun,” tuturnya.
Menurut Suherman, selama ini petani lebih banyak menderita dibandingkan bahagia seperti saat ini. Itu tidak lepas oleh biaya modal yang terus membengkak dan harga jual gabah kering yang selalu tidak menguntungkan. Biaya pembelian pupuk, misalnya. Jatah pupuk subsidi tidak pernah betul-betul dirasakan petani.
Jatah pupuk subsidi untuk wilayah Desa Purwosari sejatinya 10 karung (50 kilogram per karung) untuk setiap petani yang rata-rata memiliki 2 hektar sawah. Sepuluh karung pupuk subsidi itu terdiri dari enam karung phonska dan empat karung urea.
Nyatanya, di lapangan, jatah beli petani hanya dua karung phonska dan dua karung urea. Untuk memenuhi sisanya, petani terpaksa membeli pupuk yang disebut ”pupuk hantu” karena diduga pupuk subsidi yang dijual dengan harga lebih tinggi.
Baca juga: Harga Gabah Petani Berangsur Turun
Harga pupuk subsidi sekitar Rp 130.000-Rp 150.000 per karung. Sebaliknya, harga ”pupuk hantu” kurang lebih Rp 400.000-Rp 500.000 per karung. Namun, karena kebutuhan pokok, pupuk itu akhirnya tetap dibeli.
”Pupuk subsidi ini sebenarnya ada. Tetapi, di lapangan, barangnya tidak ada. Akhirnya, kami terpaksa beli pupuk hantu tadi. Pupuk itu tidak bisa dibilang pupuk nonsubsidi. Sebenarnya, itu pupuk subsidi juga, tetapi dijual seharga pupuk nonsubsidi. Entahlah siapa yang bermain. Kami cuma bisa mengikuti arus,” ujar Suherman.
Selain pupuk, petani juga membutuh modal besar untuk membeli pestisida yang tidak disubsidi. Pestisida yang dibutuhkan tidak hanya satu jenis karena satu pestisida cuma bisa mengobati satu jenis penyakit atau hama yang menyerang sawah. Harga pestisida termurah di kisaran Rp 100.000-Rp 150.000 untuk ukuran 100-150 mililiter.
Kalau dilakukan penyemprotan, petani butuh biaya sekitar Rp 500.000 per hektar lahan. Biasanya, petani melakukan delapan kali penyemprotn yang artinya butuh modal total kurang lebih Rp 4 juta untuk perawatan setiap hektar.
”Sekarang ini penjual pestisida sudah pintar. Dulu, pestisida bisa mengobati beberapa penyakit atau hama. Kalau sekarang, satu pestisida cuma bisa mengobati satu penyakit atau hama. Sama seperti pupuk, pestisida juga kebutuhan pokok (bagi petani). Jadi, pestisida mau tidak mau tetap dibeli walau mahal,” kata Suherman.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumatera Selatan Zain Ismed menuturkan, tingginya harga jual gabah kering bukan karena faktor menurunnya hasil panen. Sebagaimana hukum ekonomi, saat barang langka, harga menjadi naik dan sebaliknya, ketika barang berlimpah, harga menjadi turun.
Sejauh ini, efek kemarau panjang setahun lalu tidak berdampak signifikan terhadap panen padi di sejumlah lokasi sumber lumbung pangan di Sumsel.
Kalau harga jual gabah kering tidak ikut naik, otomatis petani akan terus menjerit. Oleh karena itu, harga jual gabah kering saat ini sangat disyukuri para petani.
Lokasi-lokasi lumbung itu, antara lain, yang terbesar di Banyuasin dan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Sawah di Banyuasin mayoritas memanfaatkan air pasang surut sehingga panen hanya satu-dua kali dalam setahun.
Adapun sawah di OKU Timur memanfaatkan air irigasi sehingga bisa panen tiga kali selama setahun. Produksi di masing-masing lokasi itu masih cenderung stabil, seperti diungkapkan pula para petani di Desa Purwosari.
”Tingginya harga jual gabah kering itu tidak lepas dari terus merangkaknya harga pupuk, sekitar 30-40 persen secara bertahap dalam tiga tahun terakhir. Kalau harga jual gabah kering tidak ikut naik, otomatis petani akan terus menjerit. Oleh karena itu, harga jual gabah kering saat ini sangat disyukuri para petani,” kata Zain.
Zain mengungkapkan, kalau memang pemerintah ingin mengendalikan harga beras, boleh saja harga jual gabah kering ditekan. Namun, pemerintah wajib memastikan distribusi pupuk subsidi bisa tepat sasaran alias betul-betul dirasakan petani.
Kalau terealisasi, biaya modal petani bisa ditekan sehingga harga jual gabah kering bisa ikut menurun yang efeknya harga jual beras lebih stabil.
Sementara itu, upaya pemerintah melakukan operasi pasar ataupun membuka pasar murah untuk mengendalikan harga beras di pasaran dinilai hanya sebagai solusi jangan pendek.
”Ketersediaan pupuk subsidi adalah masalah klasik yang tidak selesai hingga sekarang. Kalau teratasi, itu bisa menjadi win-win solution untuk petani dan konsumen beras di perkotaan. Di satu sisi petani tetap dapat untung dan di sisi lain daya beli konsumen terjaga,” tutur Zain.