Presiden Jokowi pernah menjanjikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ironisnya, jumlah kapal laut ternyata kurang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Pelayaran laut merupakan salah satu sarana transportasi penting di negeri kepulauan seperti Indonesia. Ironisnya, Indonesia masih kekurangan kapal. Keberpihakan dan konsistensi kebijakan dibutuhkan untuk membuat pelayaran laut sebagai jembatan kesejahteraan warga kepulauan.
Gambaran tentang pentingnya pelayaran itu terlihat dari penumpang yang mengantre masuk ke KM Kelud, kapal yang dioperasikan PT Pelni, Selasa (23/2/2024). Kapal itu akan berlayar dari Medan, Sumatera Utara, menuju Batam, Kepulauan Riau. Sedikitnya 2.200 penumpang naik ke kapal tersebut.
Jumlah penumpang itu mendekati kapasitas maksimum kapal, yakni 2.607 tempat tidur. Padahal, waktu pelayaran ini masuk kategori low season. Lowseason kebalikan dari peak season yang terjadi ketika musim liburan atau menjelang hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri ataupun Natal dan Tahun Baru.
”Saat peak season biasanya terjadi lonjakan penumpang sehingga akan dibantu kapal Pelni dari rute lain yang dianggap tidak padat,” kata Biwa Abi Laksana, Kepala Cabang Pelni di Medan.
Kondisi serupa juga terjadi di banyak rute pelayaran. Seperti pada peak season Natal 2023 dan Tahun Baru 2024, KM Lambelu memperpanjang rute pelayaran. Kapal itu seharusnya mengakhiri pos terakhir di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tetapi diminta melayani hingga Kota Kupang, sekitar 9 jam pelayaran dari Larantuka.
Beralihnya kapal ke jalur lain seperti ini otomatis menyebabkan rute yang harus dilayani menjadi kosong. Tak terhitung berapa banyak penumpang yang terpaksa menunda keberangkatan. Berton-ton logistik juga tertahan di pelabuhan sehingga menimbulkan biaya tambahan. Mobilitas pun terganggu.
Data Pelni menyebutkan, jumlah kapal yang dioperasikan saat ini sebanyak 26 unit yang melayani 26 trayek dengan titik persinggahan di 71 pelabuhan. Dalam satu tahun, penumpang yang diangkut terus meningkat. Tahun 2023, misalnya, jumlahnya mencapai 4 juta orang.
Jumlah kapal tersebut masih jauh dari jumlah kebutuhan yang diperkirakan, yakni sekitar 61 unit sebagaimana hasil analisis galangan kapal di Jerman. ”Sejauh ini kami berpedoman pada data tersebut. Analisis itu pun sudah lama, yakni tahun 2015,” kata Kepala Kesekretariatan Perusahaan PT Pelni Evan Eryanto.
Keterbatasan jumlah kapal menyebabkan tidak semua wilayah dapat terlayani. Padahal, Indonesia terdiri atas 17.000 buah pulau. Kapal menjadi transportasi andalan. Dengan terbatasnya kapal, di wilayah NTT misalnya, kapal akan kembali menyinggahi pelabuhan setelah 14 hari. Ini di luar waktu docking kapal yang terjadi satu kali dalam setahun.
Selain jumlah kapal di bawah kebutuhan, kondisi kapal yang ada saat ini sebagian besar juga berumur tua. Sebanyak 85 persen berumur lebih dari 25 tahun. Kapal tertua adalah KM Umsini yang dibangun tahun 1985 atau 39 tahun lalu. ”Secara teori, umur kapal 25 tahun sudah harus diganti,” ujar Evan.
KM Umsini saat ini melayani rute cukup panjang, yakni Kupang ke Kijang, Riau. Dari jauh, kapal itu tampak bagus, tetapi jika dilihat dari dekat banyak bagian yang sudah keropos. Laju kapal juga melambat. ”Kalau bisa, kapal itu diganti yang baru,” kata Agnes Sili (50), warga Kupang. Ia sudah belasan kali bepergian dengan kapal itu.
Sementara kapal terakhir yang dibeli Pelni adalah KM Gunung Demo. Pembelian dilakukan tahun 2008. Artinya, selama 16 tahun terakhir tidak ada penambahan kapal penumpang yang dioperasikan PT Pelni. Untuk membeli satu unit kapal dengan jumlah penumpang 2.000 orang dibutuhkan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun-Rp 1,5 triliun.
Ketika dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo dalam pidatonya menekankan tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia. Variabel utama dalam visi itu adalah konektivitas di laut yang ditandai dengan penguatan angkutan kapal. Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir tidak ada penambahan satu pun kapal Pelni.
Namun, di sisi lain, pemerintah terkesan lebih mendorong penguatan transportasi darat. Hal itu terlihat, misalnya, dengan proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung. Presiden Jokowi meresmikan penggunaan kereta berkecepatan maksimum 350 kilometer per jam itu pada 2 Oktober 2023.
Seperti yang diberitakan Kompas.id, proyek itu dikerjakan China. Saat memenangi tender, China mengajukan proposal proyek sebesar 5,595 dollar AS lebih rendah dari proposal yang diajukan Jepang, yakni 6,223 miliar dollar AS.
Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir tidak ada penambahan satu pun kapal Pelni.
Meski demikian, dalam perjalanannya, anggaran membengkak sehingga China meminta tambahan menjadi 7,97 miliar dollar AS. Total nilai proyek itu hampir Rp 120 triliun dengan kurs 1 dollar saat ini sekitar Rp 15.000. Nilai proyek itu setara dengan pembelian 100 unit kapal Pelni.
Masa pemerintahan Presiden Jokowi akan berakhir pada 20 Oktober 2024. Dalam sisa waktu yang ada, tidak ada kata terlambat untuk menuntaskan janji menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah satu langkah yang dapat diambil ialah menambah kapal Pelni. Semoga.