Suara Warga Pulau Rempang Terkubur Proyek Strategis Nasional
Pemerintah mengirim surat peringatan bagi warga Rempang yang menolak digusur. Tindakan itu dinilai sewenang-wenang.
Sejumlah warga berjalan tergesa menuju sebuah rumah panggung di tepi laut Kampung Tanjung Banun, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (5/3/2024). Beberapa di antara mereka menggenggam amplop warna coklat.
”Coba kau lihat baik-baik. Tinggal 15 orang yang masih bertahan,” kata Erlangga Sinaga (42), salah satu di antaranya, sambil mengeluarkan isi amplop.
Amplop itu berisi surat peringatan (SP) 2 dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada 15 warga Tanjung Banun. Surat itu memerintahkan agar warga segera meninggalkan kebun dan rumahnya.
Sebelumnya, pada 29 Februari 2024 ada 32 warga Tanjung Banun yang mendapat SP 1. Sebanyak 17 di antaranya telah menyetujui ganti rugi yang ditawarkan pemerintah.
BP Batam meminta lahan di Tanjung Banun segera dikosongkan karena pembangunan 961 rumah relokasi harus segera dimulai. Warga di lima kampung lain yang terdampak tahap I Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City bakal dipindahkan ke lokasi tersebut.
Erlangga menuturkan, ganti rugi tanah yang ditawarkan BP Batam adalah Rp 14.000 per meter persegi. Selain itu, tanaman warga di kebun juga akan diganti dengan besaran antara Rp 6.000 hingga Rp 20.000.
Tanah Erlangga luasnya 8.737,74 meter persegi dengan pohon kelapa berjumlah sekitar 200 batang. Dengan begitu, ia akan mendapat ganti rugi sekitar Rp 126 juta.
Baca juga: Pemerintah Kebut Relokasi 961 Rumah di Rempang, Warga Terus Menolak
”Tak silau aku dengan uang segitu. Kebunku bisa menghasilkan lebih banyak dari itu,” ujar Erlangga.
Ia mengatakan, tak pernah berniat menjual kebun itu. Pohon kelapa di kebun adalah tabungan masa depan Erlangga dan keluarganya.
”Untuk saya pribadi, kalau (pemerintah) tetap mau ambil, ya, ambillah. Tanah hilang tak masalah,” ucapnya.
Warga lainnya, Rusmawati (51), mengatakan memiliki rumah yang berdiri di lahan seluas 503,74 meter persegi. Oleh pemerintah, bangunan miliknya akan diganti Rp 42 juta dan lahan akan diganti Rp 7 juta.
”Dengan uang Rp 49 juta saya mau cari rumah di mana? Rumah saya cuma satu itu. Kalau punya banyak, saya enggak akan melawan kalau pemerintah mau ambil,” katanya.
Tanah itu dibelinya pada akhir tahun 2015 dengan harga Rp 90.000 per meter persegi. Adapun untuk membangun rumah ia habis Rp 280 juta.
Tak silau aku dengan uang segitu. Kebunku bisa menghasilkan lebih banyak dari itu.
Lewat pernyataan tertulis pada Minggu (3/3/2024), Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan, dari total 145 hektar lahan yang dibutuhkan untuk lokasi relokasi, sebanyak 93 hektar di antaranya masih dikuasai warga. Terkait hal itu, pemerintah telah melakukan sejumlah sosialisasi sebelum melayangkan surat peringatan.
SP 2 itu berlaku selama tujuh hari setelah diberikan. Setelah masa berlaku SP 2 habis, pemerintah akan mengirimkan lagi SP 3 yang berlaku selama tiga hari. Jika SP3 pun masih tak digubris, Tim Terpadu Pengawasan dan Penertiban Batam akan melayangkan surat perintah bongkar (SPB) dan pembongkaran pun akan dilakukan.
Ariastuty berharap warga mau menyelesaikan persoalan ini dengan cara baik-baik.
Baca juga: Pabrik Kaca Belum Jadi, Warga Rempang Sudah Berdarah Kena Beling
Terus menolak
Pada pembangunan tahap I PSN Rempang Eco City akan didirikan pabrik kaca milik perusahaan Xinyi Group asal China. Lima kampung tua yang lahannya akan dipakai pembangunan tahap I adalah Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Merah, dan Belongkeng.
Warga Pasir Panjang, Ishak (57), mengatakan, orang-orang di kampungnya akan tetap bertahan di rumah masing-masing sampai kapan pun. Mereka tidak mau menerima ganti rugi dan tawaran relokasi ke Tanjung Banun.
”Dari awal saya bilang, niat kami untuk mempertahankan kampung tua tak bisa ditawar-tawar lagi,” kata Ishak, Senin (4/3/2024).
Baca juga: Hari-hari Sendu di Tanah Melayu Rempang
Adapun Nia (49), warga Sembulang Hulu, mengatakan, warga menolak rencana pemerintah menggusur kampung tua karena itu menyangkut harga diri masyarakat. Nia tidak ingin kampung adat Melayu di Rempang hilang dari sejarah.
”Kalau pemerintah semakin gencar ingin menggusur kampung, kami pun akan lebih gencar melakukan protes,” ujarnya.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Pekanbaru Andri Alatas menyatakan, tindakan pemerintah melayangkan surat peringatan kepada warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya adalah bentuk kesewenang-wenangan. Ia mengecam langkah pemerintah memaksa warga, baik secara fisik maupun psikis, untuk menyerahkan tanah dan rumahnya.
”Ini menunjukkan pemerintah tidak belajar dari kesalahan mereka sebelumnya. Nyatanya, sampai kini, pemerintah masih saja mengabaikan suara warga dan tetap menggunakan kekuatan berlebihan untuk menggesa PSN Rempang Eco City,” kata Andi yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Baca juga: Ombudsman RI: Kampung Tua Rempang Harus Dihormati dan Dilindungi
Pada akhir September 2023, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui ada kekeliruan perihal komunikasi kepada masyarakat yang akhirnya memicu demonstrasi warga Rempang pada 7 dan 11 September 2023. Saat itu, Bahlil berjanji ke depan akan mengutamakan pola-pola humanis dan kekeluargaan dalam pembangunan PSN di Rempang (Kompas.id, 26/9/2023).
Hampir enam bulan setelah janji itu diucapkan kepada publik, pola tindakan pemerintah di Rempang tak kunjung berubah. Percepatan pembangunan dalam upaya meraup investasi setinggi-tinggnya sering kali mengingkari nilai kemanusiaan dan semangat musyawarah.