Berpacu Menjinakkan Bom Waktu Sampah di DIY
Tiga kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta berkejaran dengan waktu untuk bisa mengelola sampah secara mandiri.
Selama 28 tahun, pengelolaan sebagian besar sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta bertumpu pada Tempat Pemrosesan Akhir atau TPA Regional Piyungan. Namun, tak lama lagi, TPA itu akan mencapai batas maksimalnya sehingga tak bisa lagi menampung sampah.
TPA Piyungan yang berlokasi di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DIY, itu beroperasi sejak tahun 1996. TPA seluas 12,5 hektar itu menjadi lokasi penampungan sampah dari tiga wilayah DIY, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul.
Beberapa kali ditata ulang, TPA yang pada puncaknya bisa menerima hingga 700 ton sampah per hari itu pun mulai kewalahan hingga akhirnya penuh. Pada 23 Juli 2023, Pemerintah Daerah DIY mengumumkan TPA Piyungan telah mencapai kapasitas maksimal sekaligus menghentikan operasinya.
Saat itu pula Pemda DIY meminta ketiga kabupaten/kota pengguna TPA Piyungan untuk mulai mengelola sampah secara mandiri di wilayah masing-masing. Kebijakan ini disebut juga dengan desentralisasi pengelolaan sampah.
Sambil menunggu proses itu, Pemda DIY menyiapkan zona transisi di TPA Piyungan untuk menampung sampah secara terbatas, yakni hanya 370 ton per hari, mulai 5 September 2023. Namun, kini zona transisi seluas 2,5 hektar itu pun nyaris penuh.
Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono menyebut, kapasitas zona transisi hanya mampu bertahan hingga akhir April 2024. Artinya, setelah itu, Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul mau tidak mau harus mengurus sampahnya sendiri.
Baca juga: TPA Piyungan di DIY Segera Ditutup Total, Tiga Daerah Kelola Sampah Mandiri
Dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2024 yang digelar Pemda DIY di TPA Piyungan, Selasa (5/3/2024), ketiga daerah menyatakan kesiapan mengelola sampah secara mandiri. Namun, ini bukanlah perkara memindahkan lokasi pembuangan sampah, melainkan mengubah paradigma dalam menangani sampah.
Selama ini, langkah pengelolaan sampah hanya berupa kumpul, angkut, dan buang ke TPA. Ke depan, strateginya adalah mengurangi timbulan sampah dari sumber, pilah, dan olah atau yang juga biasa disebut 3R (reduce, reuse, recycle).
Hal ini menjadi penting karena pengelolaan sampah yang mengandalkan metode landfill seperti TPA memberi beban besar pada lingkungan hidup. Selain itu, risiko keselamatan bagi warga pun tinggi.
Strategi
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY Kusno Wibowo mengingatkan tragedi TPA Leuwigajah di Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Saat itu, ledakan gas metana yang terbentuk dari dalam gunungan sampah menyebabkan longsor besar dan menerjang permukiman di sekitar TPA tersebut. Sebanyak 157 orang tewas.
Tanggal peristiwa kelam itulah yang kini diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. ”Peristiwa 19 tahun lalu itu harus menguatkan kesadaran kita untuk melakukan pengelolaan sampah secara lebih baik,” ujar Kusno.
Lantas, bagaimana ketiga daerah di DIY menyiapkan strategi pengelolaan sampah pascapenutupan TPA Piyungan?
Sleman tampaknya paling agresif. Sejak pengumuman penutupan TPA Piyungan pada pertengahan 2023, kabupaten itu langsung mengebut pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tamanmartani di Kecamatan Kalasan. Pada 21 Desember 2023, pengoperasian fasilitas itu diresmikan oleh Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo.
TPST Tamanmartani mengolah sampah organik dan anorganik menjadi bahan bakar refuse derived fuel (RDF) untuk industri. Jadi, selain mengatasi problem sampah, Sleman juga berpeluang memperoleh pendapatan dari fasilitas di wilayah timur kabupaten itu.
Baca juga: Sleman Mulai Olah Sampah Jadi Bahan Bakar Industri
Tak cukup satu, Sleman sedang dan akan menambah lagi TPST di wilayah barat, tengah, dan utara. Saat ini, yang sedang dalam tahap penyelesaian adalah TPST Sendangsari di Kecamatan Minggir untuk wilayah barat. Adapun TPST di tengah dan utara juga akan dibangun tahun ini.
Saat peresmian TPST Tamanmartani, Kustini menyebut, ketika semua TPST sudah beroperasi penuh, Sleman dapat menangani timbulan sampahnya yang mencapai 200 ton per hari. Selain TPST, Sleman memiliki 34 tempat pengolahan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R).
Sementara itu, Pemkab Bantul juga telah mengoperasikan sejumlah fasilitas pengolahan sampah. Salah satunya adalah intermediate treatment facility (ITF) di Pasar Niten. Fasilitas dengan kapasitas olah sampah 5 ton per hari itu sudah berjalan sejak Februari 2024. Selain itu, ada pula dua TPS3R yang masing-masing memproses 2 ton sampah per hari.
Sekda Bantul Agus Budiraharja memaparkan, pihaknya sedang membangun pula dua TPST yang masing-masing berkapasitas 40 ton per hari, yakni TPST Modalan dan TPST Argodadi. ”Dua TPST itu direncanakan beroperasi September tahun ini,” ujarnya.
Penanganan hulu
Selain strategi di hilir, Bantul tak lupa menggeber upaya pengurangan sampah di hulu, yakni pada level rumah tangga dan lingkungan permukiman. ”Hal ini telah dilakukan sejak tahun lalu,” kata Agus.
Bagi Sleman dan Bantul, pembangunan fasilitas pengolahan sampah tak menemui kendala berarti karena wilayahnya luas sehingga relatif mudah mencari lahan. Namun, hal ini justru menjadi hambatan terbesar bagi Kota Yogyakarta yang luas wilayahnya hanya sekitar 6 persen luas Sleman atau Bantul.
Baca juga: Darurat Pengelolaan Sampah di Indonesia
Ketika semua TPST sudah beroperasi penuh, Sleman dapat menangani timbulan sampahnya yang mencapai 200 ton per hari.
Oleh karena itu, strategi utama yang ditempuh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah menyeimbangkan porsi penanganan sampah di hulu dan hilir. Di hulu, Pemkot Yogyakarta mengintensifkan upaya mengurangi sampah rumah tangga melalui bank sampah.
Sekda Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya mengungkapkan, terdapat 666 bank sampah yang tersebar di 45 kelurahan di ibu kota DIY itu. ”Upaya tersebut bisa memangkas separuh timbulan sampah, dari sebelumnya 300 ton per hari menjadi 150 ton per hari,” katanya.
Adapun 150 ton sampah sisanya akan diolah melalui fasilitas TPST yang sedang dibangun di empat lokasi. Aman menyebut, model TPST yang dipilih adalah RDF, seperti yang dilakukan Sleman. Targetnya, pada akhir April 2024, keempat fasilitas tersebut sudah bisa beroperasi.
Semua strategi untuk menjinakkan bom waktu sampah itu tak lama lagi akan diuji efektivitasnya. Namun, terlepas apa pun hasilnya nanti, langkah besar untuk memulai era baru pengelolaan sampah ini patut diapresiasi.