Upacara Adat Tegakkan Semangat Kebudayaan di Yogyakarta
Upacara adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas limpahan karunia dan memohon keselamatan.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Berbagai macam upacara adat yang hingga kini masih dijalankan di Yogyakarta, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta, memperkuat semangat pelestarian budaya. Meski sebagian mengalami penyederhanaan, esensi dan makna luhur yang terkandung di dalamnya tidak berubah.
Upacara adat di Kesultanan Yogyakarta menjadi tema besar simposium internasional yang digelar Keraton Yogyakarta di Yogyakarta, Sabtu (9/3/2024). Simposium yang berlangsung hingga Minggu (10/3/2024) itu menjadi salah satu rangkaian peringatan ke-35 tahun Kenaikan Takhta Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Ketua panitia simposium GKR Hayu mengatakan, berbagai prosesi dan upacara adat kerajaan, atau yang lazim disebut Hajad Dalem, rutin digelar setiap tahun. Hal ini dilakukan sejak Sultan HB I beserta keluarga resmi mendiami Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756.
Berbagai Hajad Dalem itu berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas limpahan karunia dan memohon keselamatan. Upacara adat juga digelar untuk memperingati hari besar keagamaan, siklus daur hidup, dan rutinitas keseharian.
GKR Hayu, yang juga putri keempat Sultan HB X, mencontohkan, salah satu upacara yang rutin digelar adalah Garebeg. Upacara yang diselenggarakan tiga kali setahun itu untuk memperingati Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi.
”Masyarakat dari berbagai penjuru hadir membersamai dan menyemarakkan,” katanya.
Selain itu, upacara terkait daur hidup juga masih dilaksanakan di lingkungan keraton. Mitoni, misalnya, digelar saat usia kehamilan tujuh bulan. Upacara tersebut bertujuan memohon rahmat dan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi ibu serta calon bayi.
Inilah kenapa upacara adat di keraton juga berlangsung secara komunal dengan semangat golong gilig.
GKR Hayu menyebut, secara umum, pelaksanaan upacara adat di keraton berlaku turun-temurun, mengandung beragam nilai filosofis, dan bersumber dari kearifan lokal. Setiap tahapan menuntun nilai kesadaran dan kebersamaan antara keraton dan masyarakat.
”Inilah kenapa upacara adat di keraton juga berlangsung secara komunal dengan semangat golong gilig, yakni bersatunya kehendak dan niat dalam karya, cipta, dan karsa demi tujuan yang sama,” ujarnya.
Meski begitu, dia menambahkan, sejumlah upacara telah mengalami penyederhanaan dari bentuk awalnya. Misalnya, upacara pernikahan di kalangan keluarga keraton awalnya bisa berlangsung 10 hari, bahkan ada pula yang sampai 40 hari, tetapi saat ini dilangsungkan tiga hari.
Hal ini dilakukan menyesuaikan dengan kondisi zaman dan dinamika sosial. ”Akan tetapi, esensi dan makna upacara itu tetap dijaga,” ucap GKR Hayu.
Dalam jumpa pers simposium, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro selaku Penghageng Kawedanan Kridhamardawa, divisi kesenian dan pertunjukan Keraton Yogyakarta, mengatakan, sebagian upacara adat terkait siklus hidup, seperti upacara pernikahan, masih kuat dilestarikan masyarakat.
Namun, ada pula upacara adat yang sudah jarang dilakukan, seperti Tetesan. Upacara ini menandai fase beranjaknya seorang gadis kecil ke masa kanak-kanak.
Karena itu, Keraton Yogyakarta mendokumentasikan berbagai upacara tersebut dan memublikasikannya melalui media, seperti Youtube. Ini agar masyarakat yang mau menggelar upacara-upacara adat itu bisa memiliki rujukan, terutama terkait tata laksananya.
Penghageng Kawedanan Nitya Budaya Keraton Yogyakarta, yang mengemban peran pelestarian kebudayaan, GKR Bendara, mengatakan, tahun ini pihaknya berencana menggelar upacara Mitoni dan Tedhak Siten (menapak tanah pertama bagi anak). Upacara ini diselenggarakan untuk warga yang memiliki hajat tersebut.
”Kami akan coba adakan 10 Mitoni dan 10 TedhakSiten di awal, tengah, dan akhir tahun,” ujar GKR Bendara yang juga putri bungsu Sultan HB X.