Ketika Daendels dan Raffles Menguji Seremoni Keraton Yogyakarta
Ujian pertama terhadap legitimasi seremoni di Keraton Yogyakarta terjadi sekitar 200 tahun lalu.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu ahli waris trah Mataram Islam yang hingga kini konsisten menjaga kelestarian budaya Jawa. Namun, sejarah mencatat, perjalanan itu tak selalu mulus. Dua kekuatan adidaya di masa lalu pernah menguji seremoni-seremoni tersebut.
Kekuatan adidaya dimaksud adalah rezim kolonial Belanda di bawah Herman Willem Daendels dan kompeni Inggris di tangan Thomas Stamford Raffles. Gejolak pun tak terelakkan akibat ulah kedua gubernur jenderal tersebut.
Kisah itu diungkapkan pengajar ilmu sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Harto Juwono, dalam Simposium Internasional Budaya Jawa 2024 yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (9/3/2024). Ini merupakan rangkaian acara peringatan ke-35 tahun Kenaikan Takhta Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Harto membawakan makalah berjudul ”Upacara Keraton sebagai Simbol Kedaulatan dan Kewibawaan Kesultanan Yogyakarta Awal Abad ke-19”. Pada periode itu, Kesultanan Yogyakarta dipimpin Sultan Hamengku Buwono (HB) II.
”Ketiganya bertemu dalam medan konflik seremoni di Kesultanan Yogyakarta. Dampaknya pun terasa sampai setelah periode itu,” kata Harto.
Kebijakan kedua rezim kolonial itu pun menjadi ujian pertama terhadap legitimasi seremoni di Keraton Yogyakarta yang berdiri sejak 1755.
Harto menjelaskan, seremoni atau upacara kerajaan tak bisa dipisahkan dari konsep kosmologi sebagai filosofi politik tertinggi dalam sistem kekuasaan raja Jawa. Seremoni dalam hal ini melambangkan kewibawaan, kedaulatan, dan kekuasaan kerajaan.
Dia menganggap seremoni yang ada di Yogyakarta tak sesuai dengan instruksi Napoleon tersebut.
Namun, seremoni bukan hanya terbatas pada aspek dinamis, seperti prosesi ritual, melainkan juga muncul dalam aspek statis. Aspek statis itu di antaranya mencakup tata ruang dan tata cara.
Daendels pun menjadi ujian pertama terhadap aspek statis seremoni itu. Dia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808-1811. Kala itu, Belanda sedang dikuasai Kekaisaran Perancis di bawah Napoleon Bonaparte.
Daendels datang dengan mandat dari Raja Belanda Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte, untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Dia juga ditugasi membenahi pemerintahan di Hindia Belanda.
Benih konflik
Dalam tugas membenahi pemerintahan itu, salah satunya adalah menghadapi raja-raja Jawa dengan segala macam perangkat nilainya. Raja-raja Jawa pun dipandang wajib menundukkan diri kepada Kaisar Perancis.
”Ketika datang ke Jawa dan bertemu Sultan HB II, dia menganggap seremoni yang ada di Yogyakarta tak sesuai dengan instruksi Napoleon tersebut,” kata Harto.
Daendels menilai banyak tata cara ritual Jawa yang merendahkan pejabat Eropa. Oleh karena itu, secara sepihak dia menghapuskan beberapa seremoni yang ada di keraton.
Sebelum itu, dia mengganti jabatan residen dengan minister. Minister mewakili raja Belanda, bukan pejabat Pemerintah Belanda yang ditempatkan di Yogyakarta seperti residen pada masa VOC.
”Dengan demikian, raja-raja di Jawa berhadapan dengan wakil raja Belanda, bukan aparat Pemerintah Belanda,” ucap Harto.
Jadi, ketika seorang minister datang ke keraton untuk bertemu Sultan, dia tak perlu membuka topi atau mempersembahkan minum sebagai tanda penghormatan. ”Sultan juga wajib berdiri dari kursinya untuk menyambut di tangga istana, bukan di takhta,” kata Harto.
Hal itu pun memicu konflik dengan Sultan HB II yang memegang teguh identitas politik Yogyakarta, termasuk dalam seremoni. Ini membuatnya menentang keras campur tangan Daendels meski pada akhirnya Belanda bisa memaksanya turun takhta.
Hal ini untuk menunjukkan pemerintah kolonial Inggris lebih berkuasa di Jawa, termasuk di Yogyakarta.
Akan tetapi, kondisi itu tak berlangsung lama. Inggris yang menjelma sebagai kekuatan besar bisa mengusir Belanda dari Jawa pada 1811. Sultan HB II pun berhasil kembali menduduki takhtanya.
Namun, Harto mengatakan, sikap Raffles sebagai pimpinan kolonial yang baru terhadap Keraton Yogyakarta tak berbeda jauh dengan Daendels, bahkan lebih buruk. Salah satunya, Raffles meminta, ketika wakil Inggris datang ke keraton, dia harus duduk lebih tinggi dari singgasana Sultan.
”Hal ini untuk menunjukkan pemerintah kolonial Inggris lebih berkuasa di Jawa, termasuk di Yogyakarta,” ujarnya.
Geger Sepoy
Perilaku itu sontak menyemai benih konflik lagi dengan Sultan HB II. Kali ini, skalanya bahkan lebih besar karena Inggris yang dibantu tentara Sepoy asal India menyerbu masuk ke dalam keraton pada 1812.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Sepoy atau Geger Sepehi. Tentara Inggris menjarah harta benda serta naskah-naskah berharga keraton, yang hingga kini sebagian besar tak diketahui lagi keberadaannya.
Sultan HB II pun kembali dicopot dari takhtanya. Dia kemudian diasingkan ke Penang (kini wilayah di Malaysia), Ambon, dan Surabaya.
Seusai Inggris menyerahkan Jawa kepada Belanda lagi dan meletus Perang Diponegoro, Sultan HB II dikembalikan pada takhtanya pada 1826. Hingga akhir hayatnya, Sultan HB II membuktikan keteguhan menjaga kewibawaan adat dan budaya Jawa.
Peneliti budaya Jawa dari The Australian National University, George Quinn, mengatakan, upacara dalam lingkungan keraton menjadi medan pertandingan perebutan kuasa antara Belanda, Inggris, Perancis, dan Jawa pada awal abad ke-19. Quin merupakan reviewer makalah yang disajikan Harto.
Menurut Quinn, jenis kuasa yang dinyatakan melalui upacara dapat berwujud politik, keagamaan, uang, bahkan keolahragaan. Dalam upacara, kenyamanan batin atau psikologis dan kenyataan sosio-politik bersatu padu.
”Perpaduan ini memberi dampak besar yang bersifat batiniah, psikologis, emosional, sekaligus juga sosio-politis,” ujarnya.