Guru Korban Pengeroyokan Malah Terancam Jadi Tersangka
Hampir satu bulan dilaporkan ke Polres Lembata, kasus itu mengambang. Polisi malah memproses laporan balik dari pelaku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Dua pria menyerobot masuk ke dalam ruang kelas lalu menghampiri Damianus Dolu (38). Sambil meneriakkan kata-kata makian, secara membabi buta mereka menyerang Damianus yang sedang mengajar. Disaksikan puluhan muridnya, ia terus dipukuli, lalu diseret ke halaman sekolah.
Damianus yang dalam kondisi tak berdaya itu hanya bisa pasrah. Murid yang menyaksikan pemukulan ketakutan melihat keberingasan pelaku. Suasana di SMA Negeri 1 Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2024 pagi itu heboh.
Damianus tak pernah menyangka, teguran yang ia sampaikan kepada PAN, siswi kelas XIC-4, beberapa menit sebelumnya itu berujung dengan penganiayaan terhadap dirinya. ”Saya tegur sambil tepuk bahunya. Kenapa sampai begini jadinya?” ujar Damianus melalui sambungan telepon pada Rabu (13/3/2024) pagi.
Kejadian itu berawal ketika guru matematika itu memeriksa kelengkapan catatan muridnya. Saat tiba giliran PAN, Damianus mendapati siswa itu sibuk menulis. Padahal, catatan itu sudah harus selesai digarap seperti murid lain. Damianus menegurnya, tetapi PAN malah menggerutu.
Damianus juga mendapati ada coretan di seragam PAN. Coretan pena itu tertulis nama lengkap PAN. Damianus menegur dan mengingatkan PAN agar menjaga perilaku. Mencoret baju merupakan bentuk perbuatan yang tidak terpuji. Damianus sempat menepuk pundak PAN.
PAN yang tidak terima dengan teguran itu meninggalkan ruang kelas 20 menit kemudian. Ia keluar tanpa izin kepada Damianus yang sedang mengajar. Tak lama kemudian, PAN datang bersama dua orang laki-laki, yakni ayahnya dan kakaknya. Mereka lalu menganiaya Damianus.
Di sisi lain, berdasarkan rekaman suara yang diperoleh Kompas, PAN menuturkan bahwa dirinya dipukul Damianus. ”Pukul di belakang (punggung),” ujarnya tanpa menjelaskan lebih detail seperti jumlah pukulan, cara pukul, dan kekuatan.
PAN mengaku kecewa karena, setelah dipukul, Damianus tidak berusaha membujuk dirinya yang sedang menangis. PAN keluar ruangan lalu menelepon ayah dan kakaknya. Pihak keluarga marah lantaran PAN sering sakit-sakitan.
Tak hanya dipukul, PAN mengatakan, Damianus menyebut dirinya bodoh dalam bahasa daerah. Kejadian itu disaksikan oleh beberapa temannya. ”Waktu itu kami sedang kerja kelompok,” ucap PAN.
Setelah kejadian itu, Damianus langsung melapor ke Markas Polres Lembata. Laporan tertanggal 19 Februari 2024 diterima Ajun Inspektur Dua Maxsi Y Siokain di Pos Pelayanan Polres Lembata. Laporan tertulis dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan dengan nomor: STPL/24/II/2024/NTT/RESLEMBATA.
Namun, hampir mendekati satu bulan, laporan Damianus terkesan tidak ditindaklanjuti oleh Polres Lembata. ”Kenapa masalah ini tidak diproses dengan cepat oleh pihak kepolisian. Kendalanya ada di mana?” ujar Damianus mempertanyakan perkembangan kasus tersebut.
Sambil menuntut keadilan, Damianus malah dilaporkan balik oleh keluarga PAN dengan dugaan melakukan kekerasan. ”Polisi panggil saya hari ini terkait kasus yang mereka laporkan itu. Saya bingung, hukum kita ini seperti apa?” kata Damianus, Rabu (13/3/2024) pagi. Bukan tak mungkin, Damianus terancam jadi tersangka.
Terkait penanganan kasus itu, Kompas menghubungi Kepala Polres Lembata Ajun Komisaris Besar Josephine Vivick Tjangkung, tapi belum direspons. Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Arya Sandi yang dihubungi mengarahkan agar mengonfirmasi langsung ke Polres Lembata.
Damianus mendapat dukungan dari berbagai pihak terkait kasus yang menimpa dirinya. Koordinator Alumni Pendidikan Matematika Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Agung Hermanus Riwu berencana akan menemui Kepala Polda NTT untuk mempertanyakan penanganan kasus tersebut.
Menurut Agung, ada kejanggalan. Polisi tidak memproses laporan pada 19 Februari lalu, tetapi malah mempercepat proses hukuman laporan balik yang baru diterima beberapa hari kemudian. ”Pertanyaan, polisi bekerja untuk siapa?” ucap Agung.
Kini, publik menunggu jalannya proses hukum. Proses hukum yang benar-benar adil dan memberi efek jera, agar tiada lagi kekerasan di lingkungan sekolah.