Deforestasi Turut Picu Banjir dan Longsor di Sumbar
Perambahan hutan untuk perkebunan gambir di daerah aliran Sungai Surantih turut berkontribusi terhadap bencana.
PESISIR SELATAN, KOMPAS — Selain curah hujan ekstrem, banjir dan longsor yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat pada 7-8 Maret 2024 turut dipicu deforestasi. Berkurangnya tutupan hutan membuat daya dukung lingkungan menurun sehingga rawan terjadi bencana.
Seperti diberitakan, bencana banjir dan longsor terjadi di 12 daerah di Sumbar, yakni Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Kabupaten Solok, Kota Solok, dan Kota Sawahlunto.
Hingga Jumat (15/3/2024) siang, banjir dan longsor menelan 28 korban jiwa, yaitu 25 orang di Pesisir Selatan dan 3 orang di Padang Pariaman. Sebanyak 4 korban lainnya di Pesisir Selatan dalam pencarian. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana juga merusak ribuan rumah, tempat ibadah, fasilitas umum, jembatan, dan bangunan lainnya.
Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Wengki Purwanto mengatakan, bencana yang terjadi di Sumbar merupakan bencana ekologis. Penyebabnya adalah akumulasi krisis ekologis akibat perusakan alam.
”Ada penurunan kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu yang terus menumpuk dan menyebabkan bencana. Tak ada lagi yang menahan air karena hutan dibiarkan terdegradasi sejak lama,” kata Wengki.
Baca juga: Banjir dan Longsor, Sejumlah Wilayah di Pedalaman Pesisir Selatan Terisolasi
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi dalam rapat koordinasi dengan BNPB, 11 Maret lalu, menyebutkan, penggundulan hutan menjadi salah satu penyebab bencana di Sumbar, selain curah hujan ekstrem, sistem drainase belum memadai, permukiman tidak sesuai tata ruang, dan sebagainya. ”Beberapa kawasan longsor sudah terdapat penggundulan hutan dan deformasi,” katanya.
Baca juga: Ramadhan Kala Banjir Bandang Sumbar, Separuh Telur untuk Berbuka dan Sahur
Daerah terdampak bencana paling besar adalah Pesisir Selatan. Berdasarkan data BNPB per 12 Maret, banjir ataupun longsor terjadi di semua atau 15 kecamatan di kabupaten ini yang tersebar di 182 nagari. Sementara itu, BPBD Pesisir Selatan mencatat, per 12 Maret, estimasi jumlah kerugian sekitar Rp 268 miliar.
Salah satu wilayah yang mengalami bencana terparah yaitu di daerah aliran Sungai Batang Surantih, terutama di Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, Kecamatan Sutera. Selain menghancurkan puluhan rumah dan merenggut 10 korban jiwa (2 hilang), banjir bandang dan longsor juga memutus akses jalan.
Perambahan
Di nagari yang terdiri dari dua kampung ini, yaitu Batu Bala dan Langgai, juga ditemukan jejak-jejak perambahan. Kayu log ukuran kecil hingga besar beserta material lumpur dan bebatuan bertumpuk di tepi sungai dan rumah-rumah warga yang hancur akibat banjir bandang di kedua kampung itu.
Jadi, dari apa yang kami lihat ada indikasi pembalakan liar ( illegal logging) dan alih fungsi lahan untuk perkebunan.
Selain itu, di bukit-bukit sepanjang aliran Sungai Surantih di Batu Bala dan Langgai juga gundul di beberapa titik. Sebagian baru dibuka, sebagian lain sudah jadi perladangan gambir. Beberapa di antara lahan terbuka itu mengalami longsor ke arah sungai.
”Kalau boleh jujur, penyebabnya dari perambahan yang tidak diikat dengan aturan. Dijadikan lahan perekonomian, termasuk gambir. Tapi bagaimana lagi, itu perekonomian utama warga,” kata Zulhadi, Wali Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih.
Menurut Wengki, sungai-sungai utama di Pesisir Selatan berhulu di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Bukit Barisan. Saat ini kondisinya sudah terdegradasi. Dampaknya terlihat pada bencana yang terjadi di 15 kecamatan di kabupaten yang dilewati sungai-sungai tersebut.
”Jadi, dari apa yang kami lihat ada indikasi pembalakan liar (illegal logging) dan alih fungsi lahan untuk perkebunan,” ujarnya.
Ia menyebutkan, tren bencana di Pesisir Selatan meningkat dari tahun ke tahun. Siklusnya pun berulang dalam lima tahun terakhir. Oleh sebab itu, bencana yang terjadi sekarang harus dilihat jauh ke belakang. Akumulasi kerusakan alam bisa menyebabkan bencana ketika dipicu cuaca ekstrem.
Di masa lampau, pernah terjadi aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan. Meskipun sudah berkurang, dampaknya tetap ada. ”Jadi, peristiwa penebangan kayu di tahun-tahun sebelumnya, yang dibiarkan, ditambah adanya alih fungsi lahan untuk perkebunan, akhirnya memicu bencana di masa sekarang,” ujarnya.
Terkait perambahan, menurut Wengki, masyarakat tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Sebab, selama ini terjadi ketidakadilan. Perusahaan menguasai lahan dalam jumlah besar, sedangkan para petani tidak punya lahan.
”Ke depannya perlu dicarikan solusi ke depan agar sistem ekonomi masyarakat lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, masyarakat sejahtera dan lingkungan fungsinya mulai membaik dan pulih,” katanya.
Laju sedimentasi
Secara terpisah, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Adi Junaedi mengatakan, berdasarkan peta rawan erosi milik KLHK yang di-overlay dengan peta tutupan hutan 2023, kawasan TNKS di hulu Sungai Surantih berada dalam tingkat erosi 15-60 ton per hektar per tahun.
”Sementara itu, di luar kawasan TNKS, lebih dari 480 ton per hektar per tahun. Artinya, jika tingkat rawan erosinya tinggi, akan berkontribusi terhadap sedimentasi di sungai. Sedimentasi itu yang menyebabkan volume sungai menjadi kecil dan meluap saat curah hujan ekstrem,” katanya.
Ia menyarankan agar aktivitas manusia diminimalisasi di lokasi rawan erosi. Kalaupun ada perkebunan gambir di lokasi itu, harus dilakukan dengan sistem agroforestry. Dengan demikian, hujan turun, tanah tidak begitu gampang mengalami erosi.
Ke depannya perlu dicarikan solusi ke depan agar sistem ekonomi masyarakat lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, masyarakat sejahtera dan lingkungan fungsinya mulai membaik dan pulih.
Perkebunan
Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Sumbar, Balai Besar TNKS, Nadzrun Jamil, mengatakan, faktor penyebab banjir di daerah aliran Sungai Surantih antara lain curah hujan ekstrem, topografi yang curam, tekstur tanah, dan adanya lahan yang dibuka untuk perkebunan gambir.
Ia menampik adanya indikasi pembalakan liar di kawasan TNKS yang merupakan hulu Sungai Surantih. Namun, ia mengakui, sebagian perkebunan gambir warga ada yang masuk ke wilayah taman nasional.
”Saya mengecek data, sudah lama tidak ada illegal logging di Surantih. Yang saya lihat (penyebab banjir) adanya lahan terbuka yang digarap warga untuk perkebunan gambir, baik di taman nasional maupun di luar taman nasional,” katanya.
Jamil juga menyebutkan, timnya sudah mengecek kayu-kayu yang hanyut di lokasi bencana dan tidak menjumpai indikasi pembalakan liar. Pihaknya menyimpulkan kayu-kayu itu hasil tebangan masyarakat yang kemungkinan digunakan untuk mengolah gambir.
Sejak 2018, Balai Besar TNKS mulai menertibkan alih fungsi lahan di taman nasional. Setiap tahun juga patroli sekaligus sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka mengurangi laju deforestasi.
Bagi lahan yang terlanjur dibuka, dengan UU Cipta Kerja, ada peluang kemitraan antara taman nasional dan masyarakat penggarap, khususnya lahan yang digarap 5 tahun sebelum UU terbit. Tahun 2023, sudah ada 27 kelompok tani di Pesisir Selatan dan Solok Selatan.
Adapun antisipasi longsor di perkebunan gambir, kata Jamil, ada program dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Lahan-lahan terbuka ditanami tumbuhan agroforestry. ”Masyarakat mitra berkewajiban menghijaukannya dengan tanaman keras di titik-titik rawan,” ujarnya.