Kematian Gajah di Aceh Berulang, Sosialisasi dan Penegakan Hukum Harus Diperkuat
Perlu sosialisasi dan penegakan hukum untuk mencegah berulangnya kematian gajah sumatera di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kematian gajah sumatera karena terkena setrum pagar listrik liar atau ilegal di perkebunan warga terus berulang di Aceh. Sosialisasi kepada petani di kawasan hutan dan penegakan hukum perlu diperkuat agar tidak semakin banyak satwa lindung itu yang mati sia-sia.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal menuturkan, kasus gajah mati karena listrik terus berulang. Namun, dia menilai, tidak ada upaya serius guna mencegah kasus semacam itu berulang.
”Kalau sudah berulang, pasti ada kelalaian. Tapi, tidak ada upaya untuk mencegahnya,” kata Afifuddin, Senin (18/3/2024).
Afifuddin menambahkan, selama beberapa waktu terakhir konflik gajah sumatera di Aceh kian masif. Perebutan ruang antara aktivitas budidaya warga dan ruang jelajah gajah membuat satwa lindung itu kian terancam. Kondisi kian buruk saat lahan-lahan pertanian di kawasan hutan dipagari dengan kabel listrik arus tegangan tinggi.
Pada Februari-Maret 2024 terdapat tiga ekor gajah yang mati di Aceh. Dua di antaranya mati karena terkena kabel listrik di perkebunan warga. Kasus pertama terjadi di Desa Aki Neungoh, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Bangkai gajah jantan berusia 13 tahun itu ditemukan pada Selasa (20/2/2024).
Sepasang gading gajah itu masih utuh. Tidak jauh dari lokasi bangkai terdapat kabel listrik telanjang di perkebunan tumpang sari milik warga. Kabel listrik telanjang jamak dipakai oleh petani untuk menghalau binatang yang dianggap hama agar tidak merusak tanaman. Polisi kemudian menetapkan pengelola kebun sebagai tersangka.
Kematian selanjutnya terjadi di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Gajah jantan berusia 45 tahun terkapar setelah tersengat setrum pagar listrik di kebun warga. Kasus ini masih dalam penyelidikan. Namun, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah menyimpulkan bahwa gajah itu mati karena tersetrum listrik.
Lokasi-lokasi kematian gajah itu berada di area budidaya atau area penggunaan lain, bukan hutan lindung atau hutan konservasi. Pembukaan tutupan hutan menjadi kawasan budidaya membuat koridor gajah terfragmentasi. Kelompok gajah terkurung setelah jalur jelajah mereka dialihkan menjadi perkebunan.
Afifuddin memaparkan, kondisi tata ruang yang buruk membuat konflik satwa tidak berujung. Sebab, kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai habitat satwa justru dijadikan budidaya. ”Sengkarut ruang telah membuat konflik satwa semakin masif. Pemerintah nyaris tidak melakukan apa-apa selain turun saat terjadi konflik, tidak ubahnya pemadam kebakaran,” ungkapnya.
Afifuddin menambahkan, apabila BKSDA Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, serta para pihak terkait tidak belajar dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, kasus serupa akan terus berulang. Walhi Aceh mencatat, pada periode 2019-2023, sebanyak 22 gajah sumatera di Aceh mati.
Kalau sudah berulang, pasti ada kelalaian. Tapi, tidak ada upaya untuk mencegahnya.
Kasus kematian gajah karena kabel listrik terparah terjadi pada Januari 2020. Saat itu lima ekor gajah mati di kebun sawit dan bangkainya dibakar. Setelah diusut, kelima gajah itu mati karena tersetrum dari pagar listrik di kebun sawit. Sebanyak 11 orang divonis penjara.
Kepala BKSDA Aceh Ujang Wisnu Barata mengakui konflik gajah dan manusia di Aceh terjadi masif. Oleh karena itu, Wisnu mengajak semua pihak terlibat dalam upaya menekan konflik dan melindungi gajah.
Terkait dengan banyaknya pemasangan kabel listrik di perkebunan warga, Ujang mengatakan, BKSDA Aceh akan melakukan sosialisasi lebih masif kepada petani di kawasan hutan. ”Harus ada edukasi. Konflik di Aceh, kok, seperti ini. Namun, tidak serta-merta ditimpakan kepada BKSDA Aceh,” ujarnya.
Ujang menuturkan, kewenangan BKSDA Aceh dibatasi pada penanganan satwa, sedangkan perlindungan kawasan hutan berada pada institusi yang lain. ”Bicara wilayah hutan, banyak pemangku kepentingan. Ini yang harus didorong, mungkin BKSDA bisa lead di situ,” katanya.
Sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem telah mengeluarkan surat edaran pada 2021 agar BKSDA memprioritaskan penghilangan potensi ancaman langsung terhadap kehidupan gajah. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pembersihan kabel listrik melalui pendekatan partisipatif.
Dalam diskusi publik paparan deforestasi Aceh pada akhir Februari 2024, Koordinator Polisi Hutan BKSDA Aceh Rahmat mengatakan, deforestasi ikut memicu konflik satwa. ”Habitat satwa semakin sempit,” kata Rahmat.
Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh mencatat, dari tahun 2019-2023, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 57.217 hektar. Sebagian deforestasi terjadi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser, rumah besar ragam satwa lindung di Aceh.
Rahmat menuturkan, satwa merasakan langsung dampak buruk dari deforestasi. Sebab, deforestasi membuat habitat satwa terputus karena sebagian lintasan mereka masuk dalam kawasan permukiman. Akibatnya, terjadi perubahan perubahan perilaku pada satwa.
”Satwa menjadi terisolasi dan ruang geraknya berkurang sehingga terjadilah interaksi negatif dengan masyarakat,” kata Rahmat.
Menurut Rahmat, harus ada kesadaran dari masyarakat dan keterlibatan para pihak untuk menghilangkan keberadaan kawat listrik di kebun. Sebab, keberadaan kawat listrik itu tidak hanya berdampak bagi satwa, tetapi juga berpotensi berdampak pada manusia.