Perdes kewenangan desa yang didorong oleh WVI membuka ruang bagi desa untuk memberi porsi besar dalam pemajuan budaya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Satu per satu anak tangga yang tersusun dari batuan berbentuk ceper perlahan ditaklukkan. Derajat gradien jalur pendakian memang menguras energi serta mental kala melewatinya. Jangan menyerah, di puncak sana sudah menanti arwah leluhur berbudi baik, penjaga kampung adat Saga di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Tak terhitung berapa jumlah anak tangga tanpa pagar itu. Agar tidak kelelahan, perlu menghentikan langkah beberapa kali, kemudian ambil napas lalu lanjut lagi hingga tiba di ujung pendakian.
”Inilah puncak tertinggi kampung adat Saga,” ujar Hendrikus Lele, Kepala Desa Saga, pada Rabu (20/3/2024) petang.
Dari puncak, rumah adat yang berdinding papan dengan atap alang-alang tersusun hingga ke arah lereng. Dalam bahasa Lio, bahasa lokal, rumah adat itu disebut sa’o.
Total ada 32 rumah adat di sana, dengan penghuni yang punya peran berbeda-beda. Ada tetua adat atau mosalaki hingga hakim adat. Semua dalam satu kesatuan masyarakat adat Saga.
Setiap sa’o berdiri di atas sembilan batu sebagai fondasinya. Batu ceper yang dipasang vertikal itu sangat kokoh menahan beban rumah serta penghuninya yang mencapai berton-ton beratnya. Rumah adat berdiri anggun.
Di dalamnya terdapat banyak peninggalan leluhur. Tak semua bisa ditunjukkan kepada pengunjung. Begitu pula dinding rumah yang dihiasi relief. Salah satunya ukiran menyerupai gambar anjing.
Bagi mereka, anjing adalah binatang yang sangat dihormati. Mereka tidak mengonsumsi daging anjing seperti banyak masyarakat Flores. Dalam sejarah hidup komunitas mereka, ada keturunan yang dilahirkan dari rahim anjing.
”Ada kuburan anjing di sini. Dia leluhur kami,” ucap Hendrikus.
Di depan sa’o berjejer makam batu yang dihuni para leluhur. Makam masih terus dirawat sampai saat ini. Usia makam mulai puluhan hingga ratusan tahun.
Setiap rumpun keluarga mengenal siapa saja penghuni makam batu di depan rumah adat. Mereka masih sering berdoa dan membuat ritus adat di sana.
Setiap tahun, tepatnya pada minggu pertama September, masyarakat adat Saga menggelar pesta adat sebagai ucapan syukur atas berkat yang diperoleh dalam setahun, seperti hasil panen. Pesta digelar di dalam kompleks rumah adat. Kini, pesta adat boleh dihadiri tamu atau wisatawan dari luar.
Pesta adat yang rutin digelar setiap tahun itu membuat relasi antara mereka yang hidup dan para arwah tetap terjalin dengan baik. Kampung adat tidak berupa bangunan yang berdiri secara simbolik semata, tetapi memiliki kekuatan spiritual. Mereka meyakini, kekuatan itu selalu dekat di samping mereka.
Kekuatan spiritual juga bisa diraih oleh orang luar yang datang dengan niat tulus. Banyak politisi yang ingin bertarung dalam kontestasi tertentu jauh-jauh ke sana untuk meminta restu dan kekuatan dari leluhur Saga. Beberapa di antara mereka kemudian berhasil menjadi pemimpin politik di daerah.
Dalam kunjungan itu, Hendrikus mempersilakan jika ada pengunjung yang ingin mengutarakan niatnya. Berdiri di antara rumah adat atau di sisi makam, doa dan harapan pun terucap.
”Berbisiklah, leluhur kami akan mendengarkan. Leluhur kami orang baik,” kata Hendrikus.
Kendati demikian, tidak semua lokasi di dalam kompleks rumah adat boleh dimasuki atau dilewati. Bagi yang melanggar, sanksinya tidak main-main. Mulai dari sakit, tidak memiliki keturunan, hingga bisa membawa pada kematian. Sudah banyak peristiwa yang membuktikan hal tersebut.
Hendrikus dan masyarakat desa berpenduduk 873 jiwa itu membuka rumah adat bagi siapa saja yang datang ke sana. Mereka ingin memperkenalkan kekayaan budaya yang melekat pada rumah adat, terutama cerita manusia serta kehidupannya. Mereka ingin menata kampung adat menjadi destinasi pariwisata.
Kini, Desa Saga dan semua desa di Kabupaten Ende mendapat ruang untuk mengelola potensi yang dimiliki. Ruang itu diberikan melalui Peraturan Bupati Ende Nomor 2 Tahun 2022 tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Setiap desa menjabarkannya melalui peraturan desa.
Berbisiklah, leluhur kami akan mendengarkan. Leluhur kami orang baik.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Ende Christiana Farida Muda Mite mengatakan, peraturan desa yang mengatur kewenangan desa menjadi ruang bagi setiap desa untuk mengembangkan potensinya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Salah satu sumbernya adalah dana desa yang ditransfer dari pemerintah pusat.
Lewat perencanaan bersama masyarakat, kegiatan pariwisata berbasis budaya dapat dibiayai menggunakan dana desa. Untuk Desa Saga, kucuran dana desa tahun 2024 mencapai Rp 695.539.000.
”Silakan desa yang atur sesuai dengan prioritas pembangunan. Kami hanya memantau,” kata Christiana.
Terkait kewenangan desa, Christiana berterima kasih kepada Wahana Visi Indonesia (WVI) yang terlibat aktif mendorong lahirnya regulasi di level kabupaten hingga desa. Dari 255 desa di Kabupaten Ende, 163 di antaranya sudah merampungkan peraturan desa mengenai kewenangan desa. Selebihnya dalam proses finalisasi.
Maya Sinlae Project Manager Financing Wash For Universal Coverage WVI mengatakan, keterlibatan WVI dalam melahirkan peraturan desa mengenai kewenangan desa bertujuan agar masyarakat desa benar-bernar berdaya dengan potensi yang dimiliki. WVI selalu menekankan pada pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sanitasi pada anak.
Untuk Desa Saga, akses air bersih melalui sambungan rumah sudah sampai ke rumah penduduk dan ke rumah adat. Semua masyarakat termasuk anak-anak menikmatinya.
"Ketersediaan air bersih dan sanitasi mendukung tumbuh kembang anak sebagai generasi masa depan, " katanya.
Ketersedian air bersih dan sanitasi terasa begitu mendukung sektor pariwisata berbasis budaya di kampung adat Saga. Ada kedamaian kala meresapi indahnya kampung yang sudah berabad-abad usianya. Datanglah ke sana, leluhur sudah menanti, mendengar doa dan besikanmu.