Nestapa Petani, Hadapi Konflik Lahan Tak Berujung
Petani di Bengkulu dan Jambi kini banyak yang sedang menghadapi konflik lahan dengan perusahaan.
Petani di Bengkulu dan Jambi kini tengah menghadapi konflik lahan dengan perusahaan. Warga berusaha mempertahankan ruang hidupnya, sementara perusahaan mengklaim sebagai pemegang hak guna usaha.
Suasana di perkebunan sawit dan karet yang digarap puluhan petani di Kecamatan Muko-muko Selatan, Kabupaten Muko-muko, mencekam pada Minggu-Senin (17-18/3/2024). Puluhan petani yang selama tiga tahun terakhir menggarap lahan di kawasan itu dikagetkan dengan perusakan yang dilakukan puluhan orang.
Selama dua hari itu, pondok-pondok tempat para petani beristirahat dirusak dan dibakar. Tak hanya itu, puluhan batang tanaman milik petani, seperti pohon pisang, karet, dan kayu bawang, juga dirusak.
Baca juga: Riuh Redam Petani Lampung Menuntut Reforma Agraria
Harapandi (40), anggota Petani Tanjung Sakti, mengatakan, enam pondok utama milik petani juga dirusak dan dibakar sekelompok orang. Padahal, selama ini pondok tersebut menjadi tempat tinggal bagi puluhan petani yang menggap lahan sawit di sana.
Menurut dia, intimidasi tersebut dirasakan petani sejak tiga bulan terakhir. Intimidasi itu dilakukan sebagai buntut konflik lahan antara petani penggarap dan perusahaan yang mengklaim sebagai pemegang hak guna usaha (HGU).
Aksi perusakan itu terjadi saat para petani sedang mengurus pengajuan banding atas putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Muko-muko. Pada 5 Maret 2024, pengadilan mengeluarkan Putusan Gugatan Perdata Nomor 6/PDT.G/2023/PN MKM terhadap tiga petani Tanjung Sakti, yakni Harapandi, Ibnu Amin, dan Rasuli.
Dalam amar putusan, majelis hakim menyebutkan, ketiga petani telah melakukan perbuatan melawan penggugat, yakni PT Daria Dharma Pratama (DDP). Menurut hakim, para petani sebagai tergugat telah menghalang-halangi proses panen buah sawit milik perusahaan pemegang HGU.
Para petani juga dinilai mengambil tanpa hak buah sawit hasil panen milik perusahaan dan menghalang-halangi kegiatan usahan perusahaan. Atas perbuatan itu, ketiga petani diminta membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 1.363.000.
Keputusan Pengadilan Negeri Muko-muko itu menimbulkan pertanyaan dari para petani. Sebab, selama persidangan, kata Harapandi, perusahaan tidak pernah menunjukkan peta HGU 125 yang diklaim milik perusahaan. Petani meyakini, lahan yang saat ini menjadi obyek konflik dengan perusahaan belum mempunyai HGU.
Ali Akbar selaku pendamping petani mengatakan, akar konflik lahan antara petani dan PT DDP bermula saat puluhan petani menggarap lahan terbengkalai di Kecamatan Muko-muko Selatan sejak 2021. Saat ini, para petani mendapatkan informasi bahwa lahan tersebut sudah lama tidak diurus.
Mereka kemudian bercocok tanam di kawasan itu. Para petani mendirikan pondok-pondok bambu sebagai tempat tinggal.
Setahun setelah petani menggurus lahan tersebut, pihak perusahaan mulai beraktivitas di lahan tersebut. PT DDP mengklaim sebagai pemegang HGU atas lahan konflik itu. Perusahaan lalu mengajukan gugatan perdata yang kemudian dikabulkan pengadilan.
Menurut Ali, putusan tersebut belum inkrah karena saat ini petani sedang mengajukan banding.
Namun, pihak perusahaan diduga mengerahkan petugas untuk mengintimidasi dan merusak fasilitas pondok milik petani. Upaya ini ditengarai sebagai cara untuk mengusir para petani dari lahan perkebunan yang menjadi lokasi konflik antara petani dan perusahaan.
Saat ini, Ali dan para aktivis dari Lembaga Kanopi Hijau mendampingi petani untuk melaporkan perusakan pondok milik petani kepada aparat kepolisian. Mereka juga membantu petani untuk mengajukan gugatan banding atas putusan yang dikeluarkan Pengadilan Muko-muko.
”Penguasaan lahan merupakan alasan yang paling kuat bagi pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan tanah kepada petani. Faktanya, sudah tiga tahun terakhir petani menggarap lahan di wilayah tersebut,” kata Ali.
Menurut dia, ada sekitar 50 petani yang menggarap lahan di kawasan tersebut. Selama ini, para petani memang tidak mempunyai dokumen yang bisa memperkuat posisi mereka sebagai pemilik atau pengelola lahan tersebut.
Akan tetapi, perusahaan juga tidak bisa menunjukkan bukti bahwa kawasan itu masuk dalam peta HGU mereka.
Konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dan petani ini semestinya dievaluasi pemerintah.
Ali menambahkan, pemerintah semestinya mengevaluasi pengelolaan lahan oleh PT DPP. Pasalnya, perusahaan itu diduga tidak hanya berkonflik dengan petani di Kecamatan Muko-muko Selatan, tetapi juga dengan banyak petani di daerah lain.
”Konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dan petani ini semestinya dievaluasi pemerintah,” katanya.
Simon dari Humas PT DPP dalam keterangan resminya menyampaikan, bangunan liar di lokasi tersebut berada dalam areal HGU perusahaan yang dikelola sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit sejak 2006.
Ia menyebut, kegiatan pengelolaan di lokasi itu berjalan normal sejak awal. Masalah muncul ketika sekelompok petani datang dan mengganggu kegiatan perusahaan di wilayah itu pada tahun 2022.
Simon mengatakan, perusahaan sudah melakukan upaya persuasif, dengan mengeluarkan imbauan secara lisan ataupun tertulis kepada petani. Dalam imbauannya, petani diminta tidak menduduki dan mendirikan bangunan di lokasi tersebut.
Terkait perusakan dan pembakaran pondok, ia menyebut pihak perusahaan tidak pernah menginstruksikan hal tersebut. Perusahaan juga akan menyerahkan proses penanganan kasus itu kepada polisi. Perusahaan berharap masalah itu dapat diselesaikan secara bijak.
Ditahan
Petani di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, juga menghadapi konflik berpuluh tahun dengan perusahaan sawit. Akibat konflik lahan tersebut, seorang petani, Bahusni, mendekam dipenjara.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Sengeti menyatakan, Bahusni telah menggarap kebun milik perusahaan dan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada petani tersebut.
Ketua Perempuan Padek Nur Jannah mengatakan, masyarakat kecewa terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Bahusni. Menurut dia, tanah tersebut merupakan milik masyarakat desa. Mereka telah mengelolanya sejak sebelum 1960.
Sekitar tahun 1998, lahan tersebut digarap menjadi perkebunan sawit oleh PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Sejak saat itu hingga sekarang, masyarakat setempat terus mempertahankan tanahnya.
Baca juga: Jalan Berliku Warga Way Pisang Menagih Janji Reforma Agraria
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria Benni Wijaya mengatakan, kasus ini menambah preseden buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang semakin tajam ke bawah.
Menurut dia, Bahusni bukanlah penjahat atau pelaku kriminalitas. Ia hanya warga lokal yang berjuang memperjuangkan hak atas tanah.