Pengusiran Berulang, Kini Warga Aceh Barat Tolak Warga Rohingya
Pemerintah diharapkan berperan maksimal agar tidak mucul konflik horizontal atas keberadaan pengungsi Rohingya.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
MEULABOH, KOMPAS — Sebagian warga di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, mengusir pengungsi Rohingya yang semula menempati gedung bekas kantor Palang Merah Indonesia setempat. Para pengungsi hingga Kamis (28/3/2024) masih bertahan di tenda daurat di dalam kompleks kantor bupati.
Awalnya, Kamis (21/3/2024), terdapat 75 pengungsi Rohingya yang selamat pasca-insiden kapal terbalik ditempatkan di gedung bekas kantor PMI Aceh Barat. Mereka dibawa ke sana lantaran warga di Desa Beureugang, Kecamatan Kaway XVI, menolak rencana pemerintah menempatkan pengungsi di desa mereka.
Setelah terjadi penolakan, pengungsi diboyong ke gedung bekas kantor PMI, di Desa Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan. Bangunan itu bertahun-tahun tidak terpakai. Semak belukar setinggi satu meter tumbuh di halaman. Lantai dipenuhi debu dan banyak barang berserakan.
PMI Aceh Barat tidak keberatan meminjamkan gedung itu untuk menampung pengungsi. Hari itu, Penjabat Bupati Aceh Barat Mahdi Effendi turut mengantar pengungsi dan menyalurkan bantuan masa darurat kepada mereka.
Akan tetapi, pada Selasa (26/3/2024) sejumlah warga mendatangi bangunan bekas kantor PMI itu dengan mengusung sejumlah spanduk dan poster berisi penolakan keberadaan pengungsi Rohingya di daerah mereka. Warga mendobrak pintu dan memecahkan jendela.
Seorang warga Johan Pahlawan yang ikut melakukan aksi penolakan Rohingya, Muhammad Nasir, mengatakan, warga tidak ingin pengungsi Rohingya ditempatkan di desa mereka. Alasan warga meminta para pengungsi itu dikeluarkan dari desanya karena berdasarkan perjanjian awal dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat pengungsi hanya ditampung selama lima hari.
Meskipun keberadaan pengungsi itu tidak membebani warga secara langsung, mereka tetap berkeras agar pengungsi dipindahkan ke lokasi lain. ”Mungkin akan ada aksi-aksi selanjutnya. Kami tidak bisa membendung,” kata Nasir.
Menanggapi permintaan warga, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat kemudian memboyong pengungsi ke kompleks kantor bupati. Pengungsi ditempatkan di tenda darurat. Adapun sebanyak 11 pengungsi yang ditemukan meninggal di laut telah dikuburkan di Aceh Barat.
Asisten I Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Samsul Alam meminta pihak Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) segera membawa pengungsi keluar dari Aceh Barat.”Untuk menghindari konflik horizontal agar pengungsi segera dipindahkan dari Aceh Barat,” kata Samsul.
Saat dijumpai pada Kamis (21/3/2024), Samsul mengatakan pihaknya tidak terbebani dengan keberadaan pengungsi Rohingya. Sebagai sesama manusia dan umat beragama, pengungsi Rohingya layak ditolong. Namun, setelah munculnya desakan dari warga, akhirnya pemerintah daerah menyarankan agar pengungsi Rohingya dikeluarkan dari Aceh Barat.
Pemerintah harus menjawab kekhawatiran masyarakat atas kehadiran pengungsi Rohingya.
Ini bukan kali pertama aksi protes terhadap keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh. Kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Bireuen, Pidie, Sabang, Aceh Besar, dan Banda Aceh. Sebagian warga tidak ingin daerah mereka menjadi lokasi pendaratan pengungsi.
Anggota Staf UNHCR Indonesia, Faisal Rahman, mengatakan, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, persoalan penetapan tempat penampungan sementara merupakan tanggung jawab dan kewenangan bupati/wali kota.
”Soal tempat, Pemkab Aceh Barat yang menentukan. Kami akan memfasilitasi kebutuhan dasar bagi pengungsi,” kata Faisal.
Faisal mengatakan, semua kebutuhan dasar pengungsi, seperti makanan, obat-obatan, dan sanitasi, akan menjadi tanggung jawab UNHCR dan lembaga lain. Faisal mengatakan, keberadaan pengungsi Rohingya tidak akan membebani keuangan daerah.
”Pemkab membantu dan menyumbang pada masa awal kehadiran. Selanjutnya menjadi tanggung jawab kami karena tidak ada alokasi khusus anggaran daerah untuk penanganan pengungsi,” katanya.
Soal tempat, Pemkab Aceh Barat yang menentukan. Kami akan memfasilitasi kebutuhan dasar bagi pengungsi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Aulianda Wafisa menuturkan, persekusi terhadap pengungsi Rohingya harus dihentikan. LBH Banda Aceh mendorong pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menjalankan perannya sesuai regulasi agar tidak terjadi konflik di kalangan warga gara-gara kehadiran pengungsi.
”Kegaduhan yang terjadi dalam masyarakat murni karena negara gagal mengambil perannya. Pemerintah harus menjawab kekhawatiran masyarakat atas kehadiran pengungsi Rohingya,” kata Aulianda.
Ia menambahkan bahwa urusan penanganan pengungsi dari luar negeri sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. Seharusnya langkah-langkah penanganan pengungsi tinggal mengikuti peraturan presiden tersebut.
Kegaduhan yang terjadi dalam masyarakat murni karena negara gagal mengambil perannya.
Menurut Aulianda, sebagai Ketua ASEAN Intergovernmental Comission on Human Rights (AICHR) dan anggota Dewan HAM PBB, Indonesia dapat berperan besar dalam melindungi dan memperjuangkan hak asasi manusia di kawasan ASEAN.
Dengan kedudukan strategis itu, Indonesia bisa lebih serius dalam mengupayakan tercapainya pemenuhan HAM bagi semua kalangan. Bahkan, Indonesia dapat menekan dan mendorong junta militer Myanmar untuk berhenti melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.
Terkait dugaan penyelundupan manusia dan tindak pidana perdagangan orang dalam kaitannya dengan pengungsi Rohingya, LBH Banda Aceh mendorong penegakan hukum sampai ke akarnya.
”Aparat penegak hukum secepatnya membongkar sindikasi itu sehingga penyelenggaraan pemenuhan hak asasi manusia tidak teralihkan dengan isu lain yang memicu konflik antara masyarakat dan pengungsi Rohingya,” kata Aulianda.