Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa yang Dikriminalisasi
Sejumlah pihak menantikan keputusan hakim terkait kasus Daniel Tangkilisan. Pembebasan Daniel juga banyak diserukan.
Kasus hukum yang menjerat Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50), aktivis lingkungan yang gencar memprotes pencemaran limbah tambak udang di perairan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, masih terus berjalan. Pada Kamis (4/4/2024), nasib Daniel akan ditentukan dalam sidang vonis di Pengadilan Negeri Jepara. Bagaimana perjalanan kasusnya?
Kasus itu bermula saat Daniel berkomentar dalam unggahannya di media sosial Facebook pada 12 November 2022. Kala itu Daniel menulis, ”Masyarakat otak udang menikmati makan gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak, dan teratur untuk dipangan”.
Komentar yang ditulis Daniel di sebuah unggahan yang menggambarkan dampak pencemaran limbah tambak udang di Pantai Cemara, Karimunjawa, itu dianggap sebagai ujaran kebencian dan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca juga: Empat Aktivis Lingkungan Karimunjawa Dilaporkan Melanggar UU ITE
Komentar itu pula yang lantas dijadikan barang bukti untuk menyeret Daniel ke jeruji besi hingga duduk di kursi pesakitan.
Daniel pertama kali dilaporkan oleh seorang berinisial R ke Kepolisian Resor Jepara pada 8 Februari 2023. Laporan itu diterima, kemudian Daniel diperiksa hingga ditetapkan sebagai tersangka.
Keputusan penyidik Polres Jepara untuk menetapkan Daniel sebagai tersangka itu dituangkan dalam surat ketetapan tentang penetapan tersangka bernomor S.Tap/82/VI/2023/Reskrim.
Awalnya, surat penetapan tersangka itu bertanggal 8 Februari 2023 atau di hari yang sama dengan Daniel dilaporkan. Menurut kuasa hukum Daniel dari tim advokasi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), surat itu lantas diminta untuk ditukar, kemudian diganti tanggalnya menjadi 1 Juni 2023.
Kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka, awalnya Daniel tidak ditahan. Ia pertama kali ditahan di Polres Jepara pada 7 Desember 2023. Daniel lalu dibebaskan keesokan harinya, setelah kuasa hukumnya mengajukan permohonan penangguhan penahanan.
Baca juga: Pencemaran Limbah Tambak Udang di Karimunjawa, Empat Orang Jadi Tersangka
Pada 24 Januari 2024, berkas perkara Daniel dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum. Penyidik Polres Jepara kemudian melimpahkan kasus itu ke Pengadilan Negeri Jepara. Karena khawatir Daniel melarikan diri, mengulangi perbuatannya, dan menghilangkan barang bukti, jaksa memerintahkan agar Daniel ditahan.
Atas keputusan tersebut, tim kuasa hukum Daniel berencana mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan.
”Dalam waktu tidak lebih dari 24 jam, sudah keluar registrasi dan jadwal sidang dari Pengadilan Negeri Jepara. Hal ini cukup mengagetkan karena kami sedang mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan ke Kejaksaan Negeri Jepara. Permohonan itu akhirnya tidak bisa digunakan,” kata Koordinator Humas dan Media Tim Advokasi Iluni UI Yaswin Ibensina saat dihubungi, Rabu (3/4/2024).
Pada 25-29 Januari 2024, tim kuasa hukum Daniel membuat permohonan penangguhan baru bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, serta tokoh masyarakat Jepara. Sebanyak 14 surat permohonan penangguhan penahanan yang diajukan itu ditolak.
Sidang perdana kasus Daniel digelar di Pengadilan Negeri Jepara pada 1 Februari 2024. Sidang terus berlanjut hingga pada 19 Maret 2024, jaksa membacakan tuntutannya. Jaksa Ida Fitriyani mengatakan, pihaknya meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara memutuskan untuk menyatakan Daniel bersalah.
”Melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujar Ida, pekan lalu.
Menurut Ida, pihaknya juga meminta agar Daniel dipidana penjara selama 10 bulan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani. Selain itu, jaksa juga meminta agar Daniel membayar denda sebesar Rp 5 juta dan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan 1 bulan.
Ida menambahkan, pihaknya menunut agar Daniel tetap berada di tahanan dan mewajibkan Daniel membayar biaya perkara Rp 5.000. Selain itu, barang bukti perkara berupa ponsel Xiaomi Redmi 5 warna hitam nomor sim card 08158193592 serta akun Facebook bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan dirampas dan dimusnahkan.
Pembelaan
Setelah mendengar tuntutan yang dibacakan jaksa, Daniel dan tim penasihat hukumnya mengajukan pembelaan. Sidang dengan agenda pembelaan digelar pada 26 Maret 2024. Dalam pembelaan tersebut, penasihat Daniel mengungkapkan betapa cintanya Daniel terhadap Karimunjawa.
Menurut pengacaranya, Daniel rela meninggalkan kariernya sebagai dosen di Semarang untuk tinggal dan turut merawat Karimunjawa. Setelah beberapa tahun tinggal hingga akhirnya mendapatkan kartu tanda penduduk Karimunjawa, Daniel mengaku tak mungkin dirinya menyebut masyarakat Karimunjawa berotak udang.
”Otak udang berarti bebal, tidak mau belajar. Saya tahu masyarakat Karimunjawa bukan otak udang karena sudah sadar dan mau belajar akan pentingnya alam lestari. Jelas terbukti dari meningkatnya kesadaran untuk tidak buang sampah sembarangan, penginapan mengelola sampahnya, tur laut memakai tumbler dan air minum galon, berkali-kali aksi bersih pantai dan pelabuhan dilakukan dan semakin diminati tur darat, budaya, dan sejarah Kemujan yang Bapak Bambang Zakariya dan saya prakarsai,” tutur salah satu penasihat Daniel, mengutip pernyataan Daniel dalam eksepsinya.
Bambang Zakariya, warga Karimunjawa yang turut menyerukan penolakan terhadap tambak udang di Karimunjawa, mengatakan, kasus yang menimpa Daniel terkesan seperti dipaksakan. Menurut dia, warga Karimunjawa tidak merasa tersinggung atau marah dengan pernyataan Daniel tersebut.
”Masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada yang marah. Bahkan, saat kami meminta tanda tangan dukungan untuk Daniel, banyak yang mendukung,” ujar Zakariya.
Zakariya menyebut, mayoritas masyarakat Karimunjawa marah dengan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran limbah tambak udang di wilayahnya. Hanya, mereka tak berani bersuara karena takut diperkarakan seperti Daniel.
Aktivis lain
Daniel bukanlah satu-satunya aktivis lingkungan yang harus berurusan dengan hukum setelah memprotes pencemaran lingkungan di Karimunjawa.
Ada tiga aktivis lain yang saat ini tengah diproses hukum di Kepolisian Daerah Jateng, yakni Datang Abdul Rachim, Hasanudin, dan Sumarto Rofiun. Ketiganya dilaporkan melanggar UU ITE setelah membuat dan mengunggah sebuah video yang dinilai mencemarkan nama baik petambak udang.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng Iqbal Alma mengatakan, peristiwa yang menimpa empat aktivis itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Iqbal mendesak agar kriminalisasi terhadap aktivis dihentikan.
”Sudah berkali-kali kami mendesak kepolisian agar tak terjadi kriminalisasi terhadap aktivis, tapi masih ada saja yang ditangkap,” ucap Iqbal.
Tak hanya Walhi Jateng, kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan di Karimunjawa juga mengungkit keprihatinan sejumlah pihak.
Apabila majelis hakim berada dalam keraguan, maka sebaiknya putuslah berdasarkan keberpihakan terhadap lingkungan.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), misalnya, menyebut, dakwaan yang dituduhkan terhadap Daniel merupakan bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau kriminalisasi untuk membungkam gerakan prolingkungan hidup, yang dalam kasus ini berkaitan dengan kampanye penolakan tambak udang ilegal intensif di Karimunjawa.
SAFEnet mengimbau semua warga negara Indonesia mengawal jalannya persidangan hingga putusan akhir yang menyatakan Daniel dibebaskan.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga memprotes kriminalisasi terhadap Daniel. Menurut mereka, tindakan Daniel merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang tidak dapat dibatasi dan dilindungi baik dalam instrumen hukum internasional maupun hukum nasional.
Karena itu, mereka menilai, penting bagi hakim dalam perkara a quo menggunakan judicial activism untuk melihat kasus ini sebagai SLAPP dan menerapkan anti-SLAPP dalam pertimbangannya.
”Apabila majelis hakim berada dalam keraguan, maka sebaiknya putuslah berdasarkan keberpihakan terhadap lingkungan. Karena, lingkungan dan sumber daya alam saat ini diperuntukkan untuk generasi sekarang dan masa datang,” kata Kepala Unit Manajemen Pengetahuan ICEL Marsya M Handayani.
Pihak ketiga
Dalam perkara yang menjerat Daniel, sejumlah pihak, termasuk ICEL, mengajukan amicus curiae brief atau pendapat hukum sahabat pengadilan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara.
Amicus curiae brief biasanya diajukan oleh pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga turut mengajukan amicus curiae brief.
ICJR menilai, perkara yang menjerat Daniel tidak layak untuk ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Menurut ICJR, seharusnya, sejak di kepolisian, perkara itu sudah dihentikan.
”Jaksa yang memiliki kewenangan untuk melimpahkan atau menghentikan proses penuntutan atau diskresi penuntutan sebagai dominus litis seharusnya sudah menghentikan perkara ini berdasarkan kewenangannya. Salah satunya berdasarkan kewenangan yang disebutkan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 mengenai kasus SLAPP,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu.
Erasmus juga berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan secara hati-hati fakta hukum serta ketentuan lain terkait kebebasan berpendapat serta pengaturan anti-SLAPP yang juga sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.
Permohonan amicus curiae brief juga diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar dalam siaran persnya mengatakan, kriminalisasi terhadap Daniel adalah tindakan yang bersifat diproporsional dari pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Menurut dia, hukuman penjara untuk pencemaran nama baik tidak diperlukan dalam masyarakat demokratis.
”Ini bertentangan dengan jaminan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana diatur dalam Komentar Umum Nomor 34 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa suatu undang-undang yang mengatur pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar ketentuan nondiskriminatif dari Kovenan. Yang paling penting adalah undang-undang tersebut tidak memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan, salah satunya hukuman fisik,” ujar Wahyudi.
Keberlanjutan ekosistem
Jaringan Gusdurian juga menyatakan keprihatinannya terhadap kasus yang menimpa Daniel. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menuturkan, apa yang dilakukan oleh Daniel sebagai individu dan warga negara Indonesia merupakan ekspresi dari kecintaannya pada lingkungan hidup dan keberlanjutan ekosistem laut Karimunjawa serta alam semesta secara keseluruhan.
Oleh karena hal tersebut, Daniel harus dibebaskan.
”Berdasarkan pengakuan warga Karimujawa, pencemaran limbah tambak udang telah merusak budidaya rumput laut, menyulitkan tangkapan ikan nelayan, menyebabkan kemerosotan kunjungan wisata, dan mengganggu kesehatan. Kerugian tersebut jelas mengganggu perekonomian warga Karimunjawa yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada hasil laut dan pariwisata,” ucap Alissa.
Menurut Alissa, pencemaran dan kerusakan lingkungan bertentangan dengan hak masyarakat untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan. Hal itu sebagaimana diterangkan dalam Pasal 28A UUD 1945.
Karena itu, Jaringan Gusdurian mendesak aparat hukum agar teguh menegakkan hukum seadil-adilnya kepada pelaku kerusakan lingkungan hidup di Karimunjawa.
Ini bertentangan dengan jaminan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan empat petambak udang di Karimunjawa sebagai tersangka pencemaran lingkungan di perairan Taman Nasional Karimunjawa.
Empat orang itu adalah SL (50), S (50), TS (43), dan MSD (47). Mereka dijerat dengan Pasal 98 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Akibat perbuatannya, keempat orang itu terancam hukuman kurungan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun. Selain itu, mereka juga berpotensi didenda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
Keempat tersangka juga dimintai pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi alam di Karimunjawa. Hal itu karena berdasarkan bukti dan keterangan ahli yang dikumpulkan KLHK, kegiatan tambak udang mengakibatkan kerusakan terhadap terumbu karang dan menyebabkan wisatawan yang beraktivitas di perairan Karimunjawa mengeluhkan gatal-gatal.
Setelah semuanya terjadi, bagaimana nasib Daniel? Apakah seruan dari sejumlah pihak akan didengar oleh majelis hakim? Semuanya akan terjawab dalam sidang vonis yang bakal digelar di Pengadilan Negeri Jepara pada Kamis, 4 April 2024, besok.