Anak Korban Perceraian Penyintas PMI NTT Berjuang demi Masa Depan
Perceraian pasangan PMI di NTT menyebabkan ribuan anak telantar. Mereka rawan jadi korban kekerasan dan kemiskinan.
Ribuan anak di Nusa Tenggara Timur, korban perceraian penyintas dan pekerja migran ilegal, tak terurus. Mereka berjuang meraih masa depan dengan kemampuan finansial ataupun dukungan keluarga dan lingkungan sosial yangsangat terbatas.
Marthon Falo (13), siswa kelas IX SMPN Oinlasi Kabupaten Timor Tengah Selatan, duduk di bawah pohon bidara di sisi Jalan El Tari, Kupang, Selasa (16/4/2024). Menunggu pembeli kelapa muda yang disiapkan di dalam mobil pikap pamannya, Alex Falo (54). Alex, yang berprofesi tukang bangunan, menetap di Kelurahan Sikumana.
”Selama libur Lebaran ini, saya datang bantu Om jual kelapa muda. Sudah masuk sekolah, tetapi Om minta saya pekan depan pulang ke Soe. Bantu Om jual kelapa muda di sini. Satu buah Rp 6.000. Nanti Om kasih saya Rp 1.000 per kelapa. Hari ini sudah terjual 25 kelapa muda. Tiap hari rata-rata saya bawa pulang uang Rp 240.000. Saya dapat Rp 24.000 per hari. Tetapi om janji nanti dia yang belikan baju, celana, dan buku tulis bagi beta,” kata Marthon.
Hasil jual kelapa akan diserahkan untuk ibunya, Sarah Amtiran (42). Sebelumnya, AT (45) menceraikan Sarah bersama empat anaknya, termasuk Marthon. AT disebut melakukan itu sepulang mendulang rezeki sebagai pekerja migran di Malaysia pada 2022.
Selesai membangun rumah baru dan membeli sepeda motor, AT menceraikan Sarah dengan alasan tak jelas. Ia lantas menikah dengan seorang gadis desa Oinlasi, M (27).
Melanjutkan cerita ibunya, Marthon mengatakan, ayahnya itu sejak di Malaysia sering berkomunikasi dengan M melalui telepon seluler. Kini, AT dan M memiliki rumah baru di desa. M sudah melahirkan anak laki-laki pertama hasil perkawinan dengan AT.
Baca juga: Pekerja Migran Ilegal, Beban Ganda Keluarga di NTT
Sarah dan keempat anaknya masih menetap di rumah gubuk, di kebun. Anak pertamanya, Mery (18), hanya bersekolah sampai kelas X dan dua anak lainnya tidak sekolah. Pekerjaan Sarah sebagai petani lahan kering, di sela-sela merawat keempat anaknya.
Mery kini membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga di Kupang. Ia menetap di rumah majikan agar bisa makan-minum dan tinggal cuma-cuma dengan upah Rp 300.000 per bulan. Saat pulang kampung untuk merayakan Natal, tabungan upah baru diberikan majikannya kepada Mery.
Ia sempat diajak menjadi PMI ilegal pada 2023, tetapi Sarah tidak mengizinkan. Keempat anak itu tidak pernah mendapat perhatian atau bantuan jenis apa pun dari AT. Mereka pun tidak berani mendatangi rumah AT karena takut dengan M.
Kakak sudah mencari, tetapi tidak mengetahui keberadaan ayah. Beta di Kupang bersama Kakak Sipri bekerja sebagai buruh bangunan.
Kisah serupa dialami Yuven Natun (10) yang kini menjadi buruh bangunan di Kota Kupang. Magda Suni (43), ibu Yuven, meninggal setelah bergulat delapan tahun dengan penyakit kanker payudara pada 2018 silam.
Yuven dan kakak sulungnya, Sipri Natun (18), tinggal menetap di rumah om, Vitalis (54). Ayah mereka, Simon Nahak (48), menjadi PMI ilegal di Malaysia dan tak ada kabar sejak 2017.
”Beta pung kakak, Tias Nahak, usia 20 tahun. Dia sudah ke Malaysia, tetapi dia tidak pernah bertemu ayah. Kakak sudah mencari, tetapi tidak mengetahui keberadaan ayah. Beta di Kupang bersama Kakak Sipri bekerja sebagai buruh bangunan,” kata Yuven.
Baca juga: Akar Masalah Anak Pekerja Migran yang Telantar
Direktur Yayasan Timor Membangun Nusantara Martinus Duan mengatakan, diperkirakan lebih dari 1.500 anak usia sekolah di daratan Timor telantar akibat penceraian dan ditinggal pergi ayah atau ibu mereka ke luar negeri.
Angka itu belum termasuk data anak telantar dari daratan Flores, Lembata, Sumba, Alor, Rote, dan Sabu. Anak-anak tersebut tidak melanjutkan pendidikan sampai tingkat SMA. Banyak di antara mereka hanya sampai tingkat SD.
Meski menderita, anak-anak itu tidak menjadi pengemis atau pengamen di jalan-jalan. Kecuali menjual koran di lampu merah atau menjajakan jagung rebus di pinggir jalan, SPBU, dan di terminal bus.
Mereka juga menawarkan jasa pikul barang belanjaan di pasar dan mendorong gerobak pasar. Sebagian dari mereka menjadi buruh bangunan, sekaligus belajar agar suatu saat bisa menjadi tukang bangunan.
Setelah berusia di atas 17 tahun, banyak di antara mereka memilih menjadi PMI ilegal. Biasanya mereka direkrut calo untuk dikirim ke luar negeri. Anak-anak ini mudah dibohongi, dijanjikan banyak uang, dan telah tersedia pekerjaan. Mereka tak luput menjadi korban kekerasan seksual dan terbiasa mengonsumsi minuman keras.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS NTT, Adrianus Lamuri, mengatakan, sepanjang 2023 sebanyak 32 anak usia 0-15 tahun terinfeksi HIV/AIDS. Virus itu menginfeksi melalui hubungan seksual, jarum suntik, dan dari orangtua.
Kebanyakan di antara mereka rutin mengonsumsi antiretroviral (ARV). Ada 11 di antaranya sedang mengikuti pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama. Tetap dalam pengawasan relawan HIV/AIDS.
”Ada yang tinggal di rumah singgah milik yayasan tertentu, dengan orangtua, dan tinggal bersama anggota keluarga. Kami dari komisi HIV/AIDS tidak bisa menampung atau memberi bantuan kepada mereka karena keterbatasan anggaran. Kecuali melakukan pendampingan dan mengarahkan mereka mengonsumsi ARV. Jadi masalah, kebanyakan mereka dari keluarga kurang mampu, sementara mereka butuh konsumsi asupan bergizi,” paparnya.
Baca juga: Remaja di NTT Digerogoti HIV/AIDS
Ketua Divisi Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Perdagangan Orang Yayasan Donders Indonesia Wilayah Sumba Imelda Sulis Setiawati mengatakan, Yayasan Donders memiliki rumah singgah bagi anak-anak. Termasuk anak-anak yang ditelantarkan orangtua karena menjadi PMI di luar negeri, termasuk PMI dan penyintas PMI yang bercerai.
Anak-anak itu awalnya tinggal bersama tante, om, atau anggota keluarga lain. Akan tetapi, mereka kemudian telantar karena berbagai sebab. Setelah ada laporan dari sekolah, akhirnya ditangani Donders.
Jumlah mereka lebih dari 200 anak. Mereka diantar-jemput pihak yayasan ke sekolah. Puluhan dari mereka sudah di perguruan tinggi dan beberapa di antaranya sudah menjalani wisuda. Belajar bekerja untuk hidup mandiri. Bagi yang sudah berkeluarga, menetap di rumah sendiri, tetapi tetap mendapatkan pengawasan Donders.
Setelah kedua orangtua atau salah satu orangtua pulang ke kampung asal, beberapa di antara mereka memutuskan tinggal bersama orangtua. Namun, sebagian besar memilih tetap tinggal di rumah singgah, di bawah asuhan Donders. Hal itu dikarenakan, ketika bersama orangtua atau anggota keluarga, ternyata sikap disiplin dan sopan santun yang diajarkan selama di rumah singgah mulai kendur.
Kepala Dinas Sosial NTT Kanisius Mau mengatakan, ia baru menjabat sekitar tiga pekan dan belum mempelajari semua permasalahan sosial yang ada di NTT, termasuk soal anak-anak telantar. Selain dinas sosial, masalah anak-anak juga di bawah kewenangan dinas perlindungan perempuan dan anak-anak, yang kepala dinasnya juga baru diganti pada beberapa waktu lalu.