”Doctor Slump”, Drama Korea tentang Dokter yang Depresi
Drama Korea ”Doctor Slump” memotret kesehatan mental dokter dan pentingnya dukungan keluarga.
Dokter juga manusia, bukan malaikat segala bisa. Mereka tidak sempurna. Bisa depresi dan butuh istirahat. Dukungan keluarga, sahabat, serta tenaga profesional dibutuhkan untuk menyemangati mereka. Inilah pesan Doctor Slump, drama Korea yang memotret kesehatan mental dokter.
Serial Doctor Slump (2024) mengisahkan tentang dua orang rival yang selalu memperebutkan gelar siswa terbaik sejak sekolah menengah atas. Mereka adalah Nam Ha-neul, sosok perempuan yang diperankan Park Shin-hye, dan Yeo Jeong-woo, sosok pria yang diperankan Park Hyung-sik.
Keduanya tumbuh menjadi dokter yang sukses. Nam Ha-neul bekerja sebagai ahli anestesi di rumah sakit ternama di Seoul, Korea Selatan. Ia pun menjadi kebanggaan keluarganya dari Busan, daerah kecil. Ibu dan pamannya menjual mi, sedangkan adiknya menganggur.
Sementara Yeo Jeong-woo, anak dari pasangan dokter terkenal, memiliki klinik bedah plastik sendiri. Pria putih dengan rambut belah tengah ini tenar dengan konsultasinya via media sosial. Pelanggannya mencapai 1 juta akun. Ia bahkan meraih penghargaan dari menteri kesehatan.
Namun, keduanya ”jatuh” dari tangga kariernya. Ha-neul merasa kelelahan karena bekerja terus-menerus. Sekeras apa pun bekerja, ia tetap menderita karena dimarahi profesor pembimbingnya. Ia dituduh tidak becus menjalankan tugas dan ditekan untuk membuat penelitian milik atasannya.
Baca juga: Peserta Pendidikan Kedokteran, Persiapkan Matang Sebelum Stres Menyerang
Hingga suatu saat, ia sakit dan terjatuh di tengah jalan raya. Sebuah truk nyaris menabraknya. Meski selamat, Ha-neul tidak mengerti dengan pikirannya untuk mengakhiri hidup waktu itu. Ia pun mengunjungi psikiater untuk berkonsultasi. Hasilnya, ia didiagnosis menderita depresi.
Gejalanya, antara lain, kerap sesak napas serta selalu merasa kesepian dan sedih. Psikiater pun memintanya mengonsumsi obat dan beristirahat.
Ha-neul sempat menampik kondisinya. Akan tetapi, situasi kerja dan atasannya yang toxic tidak berubah. Ia pun berhenti bekerja.
Ibunya sempat menentang keputusannya untuk keluar dari pekerjaan bagus sebagai dokter. ”Bagus untuk siapa? Hinaan di tempat kerjaku jauh lebih parah dari yang ibu bayangkan. Dulu, aku belajar 17 jam, sekarang aku bekerja 17 jam, tetap saja dibentak,” kata Ha-neul.
”Kita semua pernah dibentak dalam hidup,” balas ibunya yang diperankan Jang Hye-jin.
”Aku depresi. Aku berusaha terlalu keras dan tidak beristirahat saat kelelahan sehingga pikiranku sakit,” ujar Ha-neul.
Baca juga: Menkes: Segera Selamatkan Calon Dokter Spesialis yang Bergejala Depresi Berat
Ibunya sempat tidak percaya anaknya depresi. Menurut dia, Ha-neul tidak seharusnya depresi karena ia sudah berjuang membesarkannya hingga menjadi dokter.
”Kenapa? Kenapa aku tak boleh sakit? Aku menjalani hidupku sesuai keinginan ibu. Tidak bolehkah aku sakit (depresi)?” ungkapnya.
Pada saat yang sama, Jeung-woo, rivalnya, muncul di hadapannya setelah 14 tahun terpisah. Pria itu menyewa kamar di atap rumah Ha-neul karena kesulitan keuangan. Ia punya banyak utang dan sedang menjalani persidangan setelah pasiennya meninggal saat menjalani operasi.
Kondisi berbalik
Hidup Jeung-woo yang penuh kemewahan kini berbalik. Perusahaan yang bekerja sama dengannya memutus kontrak.
Teman-temannya menjauhinya. Bahkan, Jeung-woo merasa orangtuanya percaya bahwa ia pelaku pembunuhan pasiennya. Ia kerap mimpi buruk tentang operasi itu.
Di tengah keterpurukan itu, Jeung-woo dan Ha-neul yang sebelumnya bermusuhan perlahan saling menguatkan. Jeung-woo, misalnya, mengajak teman sekolahnya itu bermain gim, makan, hingga karaoke. Ha-neul tidak pernah melakukan semua kesenangan itu karena sibuk belajar.
Pernyataan Jeung-woo juga turut menguatkannya. Itu terekam dalam percakapannya.
”Karena kau jatuh ke tempat terbawah,” ucap Jeung-woo.
”Aku harus kuat?” Ha-neul memotong. ”Tidak, tetaplah di bawah. Mari istirahat selagi kita ada di dasar,” kata Jeung-woo.
Ha-neul juga terus mendukung Jeung-woo. Ia yakin rekannya itu tidak melakukan kesalahan dalam insiden yang menewaskan seorang pasien. Ha-neul bahkan membantu mengungkap dalang kasus itu. Ia juga yang mendorong Jeung-woo yang trauma untuk berobat.
Support system dari keluarga turut berperan. Mereka tidak memaksakan Ha-neul segera bekerja dan menyiapkan makanan yang bisa mengurangi depresi.
”Ha-neul, Ibu lebih ingin putri yang sehat daripada sukses. Ibu menyayangimu apa pun yang kamu lakukan,” pesan ibunya.
Perlahan, Ha-neul dan Jeung-woo membaik. Suatu saat Ha-neul bertanya tentang apakah sembuh dari depresi bermakna bahagia?
Psikiaternya bilang, pasien yang membaik berarti menerima kemalangannya. ”Dan, punya kekuatan untuk menanggung kemalangan itu,” ucap psikiater.
Lonjakan perawatan darurat ini menunjukkan begitu seriusnya krisis kesehatan mental yang kita hadapi. Ini bukan lagi masalah pilihan.
Drama 16 episode karya Paek Sun-woo dan Oh Hyeon-jong ini dapat mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Kadang, film yang tayang di Netflix dan JTBC ini membuat audiens menangis, marah, tegang, tertawa, ataupun tersipu malu dengan kisah cinta Ha-neul dan Jeung-woo.
Serial ini juga mempertemukan kembali Park Shin-hye dengan Park Hyung-sik yang pernah menjadi pemeran utama pada drama hit The Hiers (2013). Film yang mendapat 2,9 juta penonton dalam sepekan itu relevan dengan isu kesehatan mental di Korea, termasuk bagi dokter.
Dikutip dari artikel Koreapro, lebih dari satu juta orang di Korea mendapatkan perawatan untuk depresi pada 2022. Jumlah itu meningkat sekitar 33 persen dibandingkan 2018. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu lonjakan kasus itu. Tekanan pekerjaan juga jadi penyebabnya.
Survei Pusat Kesehatan Mental Nasional Korea mencatat, sekitar 83 persen warga menyadari bisa terkena gangguan mental, termasuk dokter.
Sekitar 73 persen warga percaya, kondisi itu bisa diobati. Mereka tidak keberatan ke psikolog dan psikater. Isu kesehatan mental tak lagi tabu.
Meski demikian, Lee So-hee, psikater di Pusat Medis Nasional Korea Selatan, mengingatkan pentingnya pola asuh keluarga agar menjaga stabilitas mental anak. Misalnya, orangtua tidak hanya berfokus pada keberhasilan akademis anak. Dampak media sosial juga perlu diantisipasi.
Menurut Lee, pasien yang menjalani perawatan karena depresi ini banyak berusia 30 tahun, bahkan kurang dari itu. ”Lonjakan perawatan darurat ini menunjukkan begitu seriusnya krisis kesehatan mental yang kita hadapi. Ini bukan lagi masalah pilihan,” ujarnya dalam artikel itu.
Isu serupa
Di Indonesia, isu kesehatan mental, terutama bagi dokter, mencuat dari hasil penapisan atau skrining Kementerian Kesehatan terhadap 12.121 mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Skrining pada akhir Maret itu dilakukan di 28 rumah sakit di berbagai kota.
Hasilnya, 22,4 persen mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang di antaranya bahkan mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri. Persoalan ekonomi hingga beban kerja dinilai jadi pemicu (Kompas, 16/4/2024).
Kini, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan tim untuk menangani mahasiswa PPDS yang mengalami depresi, terutama kategori berat. Wawancara via daring akan dilakukan untuk menentukan diagnosis awal. Lebih dari itu, pembenahan sistemik dalam dunia pendidikan juga diperlukan. Seperti film Doctor Slump yang menguak masalah lingkungan kerja dokter, perundungan senior terhadap bawahannya, serta tekanan orangtua agar anaknya belajar keras.
Yang paling penting, dokter juga manusia. Mereka tidak sempurna dan bisa jatuh, bisa depresi. Sama seperti kita semua.
Baca juga: Menkes: Segera Selamatkan Calon Dokter Spesialis yang Bergejala Depresi Berat