Pasca-Lebaran, Tantangan Migrasi ke Surabaya di Depan Mata
Surabaya tidak bisa mencegah urbanisasi, tetapi mengelola sehingga tidak menambah masalah sosial dan ekonomi.
Arus balik Lebaran ke Surabaya, Jawa Timur, telah melewati puncak. Selama periode Lebaran, ibu kota Jatim ini ditinggalkan sekitar 1,5 juta jiwa atau separuh populasi yang 3 juta jiwa. Kedatangan kembali warga sudah berlangsung, tetapi belum berakhir. Masih ada gelombang warga yang datang, termasuk dari desa-desa di berbagai daerah.
Meski demikian, lalu lintas Bumi Pahlawan, julukan Surabaya, sudah kembali padat. Seperti pada Rabu (17/4/2024) yang bersamaan dengan tradisi perayaan Lebaran Ketupat, aktivitas sosial ekonomi sudah bergerak lagi. Pertokoan, pasar, pusat belanja, perkantoran, dan tempat wisata sudah kembali melayani kebutuhan masyarakat.
Baca juga: Gula Ekonomi Migrasi Surabaya
Urbanisasi menjadi masalah klasik bagi kota ini. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya menjadi pendulum penentu kehidupan ekonomi Jatim yang menopang separuh Indonesia dari tengah ke timur.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kekuatan ekonomi Surabaya 2023 melalui produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (ADHB) senilai Rp 715,3 triliun. Angka ini naik 9,1 persen daripada tahun sebelumnya yang Rp 655,7 triliun. PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) senilai 459,4 triliun atau naik 5,7 persen dari tahun sebelumnya Rp 434,3 triliun.
Surabaya satu dari 38 kabupaten/kota di Jatim. Namun, kekuatannya menopang 24,2 persen PDRB Jatim 2023 ADHB yang sebesar Rp 2.953,6 triliun. Untuk ADHK, Surabaya menopang 24,9 persen dari Rp 1.844,8 triliun. Kekuatan PDRB per kapita Rp 245,7 juta. Ini tiga sampai empat kali lipat PDRB per kapita provinsi yang Rp 71,1 juta.
Di Jatim, struktur upah minimum kabupaten/kota yang terendah ialah Situbondo dengan Rp 2,172 juta, sedangkan yang tertinggi ialah Surabaya dengan Rp 4,725 juta. Selain Surabaya, daerah sekitar dengan upah tinggi ialah Gresik dengan Rp 4,642 juta, Sidoarjo dengan Rp 4,638 juta, Kabupaten Pasuruan dengan Rp 4,635 juta, dan Kabupaten Mojokerto dengan Rp 4,624 juta. Kawasan penting berikutnya ialah Malang Raya dengan upah minimum di kisaran Rp 3,155 juta (Batu) sampai Rp 3,368 juta (Kabupaten Malang).
Dari data ekonomi itu, Surabaya memang superior di Jatim. Wajar jika warga perdesaan yang bermimpi mengubah nasib menjadi sejahtera memilih datang ke Surabaya.
Baca juga: Kota Harus Kelola Urbanisasi agar Tak Jadi Beban
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya Eddy Christijanto mengatakan, kedatangan calon warga baru, terutama yang cuma modal nekat, akan bermasalah. Mereka berisiko menambah persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan.
Di Jatim, ada sebutan bonek (bondo nekat) alias modal nekat bagi pendukung militan dan fanatik klub sepak bola Persebaya Surabaya. Bonek dalam konteks olahraga bermakna buruk ketika melibatkan aksi kriminalitas. ”Bonek” pun bisa terjadi dalam situasi migrasi yang akan memperburuk kondisi sosial.
Menurut catatan BPS Jatim, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Surabaya tahun lalu 6,7 persen. Pengangguran di Surabaya tertinggi keempat atau di bawah Sidoarjo (8 persen), Gresik (6,8 persen), dan Kota Malang (6,8 persen). TPT terendah ada di Sumenep dan Pamekasan di Pulau Madura, yakni 1,7 persen; lalu Pacitan, kabupaten di ujung barat daya Jatim, yang 1,8 persen. Padahal, gelombang migrasi dari tiga kabupaten dengan TPT terendah itu juga ada mengingat upah minimum di sana separuh dari Surabaya.
Jumlah penduduk miskin di Surabaya mencapai 136.000 jiwa atau 4,5 persen dari populasi. Artinya, satu di antara 25 warga ibu kota ini miskin sehingga mendapat intervensi dari program-program pemerintah.
Baca juga: Anatomi Demografis Pola Urbanisasi
Peluang kerja menuntut seseorang bermodal pendidikan, keterampilan, keahlian, kompetensi, bahkan watak dan sikap yang baik. Dengan itu, pekerja diharapkan mendapat apresiasi berupa upah yang memadai untuk penghidupan. Dari sini, tiada peluang untuk kelompok yang tidak bermodal, apalagi sekadar berani atau nekat.
Eddy melanjutkan, sampai dengan 2029, jumlah penduduk di Surabaya diproyeksikan menjadi 3,125 juta jiwa. Saat ini, populasi 3,021 juta jiwa. Dalam lima tahun akan bertambah 104.000 jiwa atau rata-rata 20.800 jiwa per tahun. ”Separuh penambahan penduduk disumbang oleh urbanisasi,” katanya.
Dengan demikian, kontribusi migrasi rerata 10.000 jiwa per tahun. Konsekuensinya akan ada kebutuhan hunian baru bagi pendatang, terutama di daerah tetangga, yakni Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Selain itu, kesempatan dan pekerjaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup.
Untuk menyediakan lapangan pekerjaan juga tidak semudah membalik telapak tangan. Di Kota Surabaya, ada setidaknya 10.000 usaha formal dan 60.000 usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Meski secara statistik peluang itu tampak besar, jumlah itu jauh di bawah tantangan migrasi lima tahun mendatang yang 104.000 jiwa. Seluruh unit usaha kemungkinan sudah penuh sesak dengan pekerja.
Ada proses seleksi dan persaingan di dunia kerja. Peluang kerja menuntut seseorang bermodal pendidikan, keterampilan, keahlian, kompetensi, bahkan watak dan sikap yang baik. Dengan itu, pekerja diharapkan mendapat apresiasi berupa upah yang memadai untuk penghidupan. Dari sini, tiada peluang untuk kelompok yang tidak bermodal, apalagi sekadar berani atau nekat.
Baca juga: Pindah ke Kota untuk Perbaiki Hidup
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, pemerintah tidak berhak melarang warga negara untuk datang ke mana pun dan ingin menjadi warga suatu daerah di Indonesia. Namun, jika pendatang tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak bermodal pendidikan, keterampilan, atau keahlian, upaya untuk mencapai kehidupan lebih baik di Surabaya kemungkinan besar gagal.
Bahkan, seseorang yang menjadi penduduk Surabaya sejak 2020 belum akan mendapat perhatian atau intervensi dari pemerintah. ”Maaf, kami utamakan yang sebelum 2020 karena masih banyak warga miskin di Surabaya,” kata Eri.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa pernah mengatakan, BPS memproyeksikan 62 persen warga Indonesia akan tinggal di perkotaan.
Di Jatim, beban kehidupan sosial ekonomi akan terpusat di pundak kota-kota, yakni Surabaya, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo, Mojokerto, Blitar, Kediri, dan Madiun. Dalam kenyataan, tak semua kota di Jatim menjadi pendulum ekonomi karena sentranya masih terpusat di Surabaya-Mojokerto dan Pasuruan-Malang.
Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Migrasi dalam konteks apa pun menurunkan ketahanan desa sebagai pemasok sumber pangan, terutama beras, di Indonesia.
Bagong Suyanto, Guru Besar Ilmu Sosiologi dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, mengatakan, urbanisasi atau migrasi saat ini bukan sekadar pergerakan warga desa ke kota. Perubahan fisik dan sosial desa ke kota juga urbanisasi.
Dalam situasi dunia dengan perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan artifisial, migrasi membuat fisik manusia tidak berpindah, tetapi menjadi warga kota dunia. Mereka bekerja dari kota kecil untuk memperkuat jasa di kota besar dan metropolitan dunia. ”Tiada lagi batasan ruang dan waktu,” ujar Bagong.
Namun, Bagong mengingatkan lagi, migrasi dalam konteks apa pun menurunkan ketahanan desa sebagai pemasok sumber pangan, terutama beras, di Indonesia. Meski tidak migrasi ke kota, warga desa memanfaatkan TI dan AI untuk bekerja di sektor jasa bagi kota besar dunia. Lalu, siapa yang akan mengolah lahan dan memastikan ketersediaan bahan pangan?
”Desa-desa mulai berubah menjadi kota-kota, warganya tidak lagi mau bertani karena tidak sejahtera, lahan produktif diubah menjadi hunian dan sektor usaha lain,” kata Bagong. Dampaknya jelas, harga beras melambung dan menggila sebulan sebelum Lebaran. Harga eceran tertinggi naik lagi sehingga secara alamiah terjadi inflasi untuk kebutuhan pangan.
Indonesia kian sulit mencapai status swasembada beras. Status ini masih bisa dicapai Jatim karena masih amat luas sawah dan lahan untuk pertanian pangan. Namun, sampai berapa lama akan bertahan ketika urbanisasi terus mengubah wajah desa menjadi kota dan melenyapkan lahan-lahan. ”Harus ada peningkatan radikal nilai tukar petani sehingga lahan pertanian tetap berdaya tarik dan tidak kalah dengan sektor usaha kota besar,” ujar Bagong.