Pesan Toleransi dari Hikayat Lebaran Topat di Mataram
Hikayat Lebaran Topat Mentaram di Lombok tidak hanya milik umat Islam. Tradisi ini wujud toleransi lintas agama di sana.
Acara Hikayat Lebaran Topat Mentaram di Makam Bintaro, Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/4/2024), adalah acara umat Islam. Walakin, pelaksanaannya membawa pesan toleransi antarumat beragama serta lintas suku budaya sebagai investasi berharga yang harus terus dijaga bersama-sama.
Begitu rombongan Wali Kota Mataram Mohan Roliskana tiba di kawasan Makam Bintaro, Rabu (17/4/2024) pagi sekitar pukul 09.00 Wita, suara tambur dan simba langsung terdengar.
Pasangan Lalu Randi (15) dan Surya Rahmanto (18), serta Firmansyah (12) dan Zulpratama (13), yang masing-masing telah berada di barongsainya, langsung beraksi.
Barongsai dari Sanggar Vamos Rinjani itu bergerak lincah mengikuti entakan tambur dan simba. Mereka sesekali melompat menghibur tamu dan pengunjung Makam Bintaro.
Baca juga: Lebaran, Momen Kebangkitan Ekonomi dan Perayaan Aneka Tradisi Islam
Setelah memberi gerakan penghormatan, dua barongsai itu mengiringi Mohan dan rombongan masuk ke area makam. Lalu kembali beraksi sampai suara tambur dan simba berhenti.
Keheningan hanya berlangsung sejenak. Setelah tambur dan simba, giliran para pemain Gendang Beleq dari SMPN 10 Mataram beraksi. Suara penuh instrumen gendang, kenceng, oncer, gong, dan rincik menguasai arena. Pagi yang cerah itu semakin semarak saat para pemain yang didominasi pelajar SMPN 10 Mataram itu memainkan Gendang Beleq sambil bergoyang.
Selepas Gendang Beleq, tiga perempuan dalam balutan pakaian adat Bayan, Lombok Utara, tampil. Mereka membawakan Kembang Sembah, sebuah tari kreasi yang diangkat dari kehidupan adat istiadat masyarakat suku Sasak.
Para penari dari Sanggar Denda Anjani itu membawa nampan berisi daun sirih. Mereka lalu bergerak lincah mengikuti musik pengiring. Gerakan dan ekspresi mereka menggambarkan rasa gembira dan sukacita menyambut para tamu. Tarian ini memang tari penyambutan dan penghormatan kepada tamu agung.
Seusai Kembang Sembah, para tamu termasuk Wali Kota Mataram berziarah ke Makam Bintaro. Di sana disemayamkan sejumlah ulama atau tokoh agama, antara lain Habib Husen bin Umar Mashur, Syarifah Zahra al-Habsy, dan Syech Abdullah al-Badawi. Ketiganya berasal dari Yaman Selatan dan datang pada 1865. Mereka datang untuk syiar agama Islam di Lombok.
Satu sampan
Suguhan barongsai yang merupakan kesenian tradisional China, Gendang Beleq dan Tari Kembang Sembah dari Lombok, adalah bagian dari acara Hikayat Lebaran Topat Mentaram di Makam Bintaro.
Hikayat Lebaran Topat Mentaram adalah kegiatan rutin tahunan yang diselenggarakan dalam rangka Lebaran Ketupat atau Syawalan, Tradisi ini digelar setelah berpuasa enam hari pada awal bulan Syawal atau seusai Idul Fitri. Di Mataram, selain Makam Bintaro, kegiatan serupa berlangsung di Makam Loang Baloq.
Ada berbagai kegiatan dalam acara yang berlangsung sekitar dua jam itu. Mulai dari ziarah makam, ngurisan atau potong rambut bayi, zikir dan doa, lalu ditutup dengan makan ketupat bersama.
Baca juga: Shalat Idul Fitri hingga ”Begibung”, Hangatnya Kebersamaan Idul Fitri di Lombok
Sekilas, kegiatan ini memang identik sebagai acara umat Islam. Apalagi ada pembacaan hikayat tentang penyebaran Islam di Lombok, khususnya Mataram. Begitu pun rangkaian acara lainnya.
Meski demikian, acara ini sejatinya membawa pesan toleransi antarumat beragama serta keberagaman suku budaya. Keberagaman ini yang sejatinya bagian dari keseharian masyarakat Mataram, khususnya Ampenan.
Ampenan adalah kecamatan yang terletak di pesisir barat Mataram. Pada masa kolonial Belanda, Ampenan menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan terbesar di Lombok.
Latar belakang itu membuat Ampenan saat ini tidak hanya menjadi tempat tinggal suku Sasak atau suku asli Lombok. Juga warga Muslim. Menurut Camat Ampenan Muzakir Walad, wilayahnya juga ditempati warga dari suku, etnik, dan agama selain Islam.
Selain pemukiman Sasak, Ampenan juga memiliki kampung-kampung yang beragam, antara lain Kampung Melayu, Bali, Tionghoa, Bugis, Banjar, dan Jawa. ”Ampenan terkenal karena pluralnya sehingga ada jargon Satu Sampan atau Silaturahmi Masyarakat Ampenan. Jargon itu bermakna keberagaman sebagai suatu kekuatan,” kata Muzakir.
Hikayat Lebaran Topat Mentaram di Makam Bintaro yang bersebelahan dengan Kompleks Pemakaman Etnik Tionghoa, kata Muzakir, adalah salah satu upaya memperkuat keberagaman dan toleransi itu. Di samping lewat kegiatan lain, baik tingkat kecamatan maupun lingkungan.
”Momen ini sekaligus sebagai hari pembauran. Semua suku berbaur. Tetapi, ya, tidak hanya hari ini, hari-hari lain juga demikian,” kata Muzakir.
Ketua Forum Laskar Ampenan Lalu Sapriadi menambahkan, selain dalam kegiatan seperti Hikayat Lebaran Topat, warga Ampenan juga saling mendukung pada kegiatan lain.
Ampenan terkenal karena pluralnya sehingga ada jargon Satu Sampan atau Silaturahmi Masyarakat Ampenan. Jargon itu bermakna keberagaman sebagai suatu kekuatan.
Suasana makan ketupat bersama pada acara Hikayat Lebaran Topat Mentaram di Makam Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/4/2024). Lebaran Topat atau Ketupat merupakan acara tahunan yang dilaksanakan umat Islam seusai berpuasa enam hari pada awal bulan Syawal atau setelah Idul Fitri.
”Saat agama lain punya kegiatan, misalnya Hindu mengadakan pawai Ogoh-ogoh, kami ambil bagian. Misalnya bantu bahan atau dana. Apalagi anggota forum yang sudah berusia 25 tahun ini tidak hanya dari Sasak, juga ada dari suku dan agama lain. Begitu pun sebaliknya,” kata Lalu Sapriadi.
Keberagaman dan toleransi yang telah terjaga sejak lama di Ampenan, menurut dia, adalah hal yang berharga. Oleh karena itu, akan terus mereka jaga.
Agus Santoso, pembina barongsai Vamos Rinjani, mengaku senang karena hampir setiap tahun sanggarnya bisa ambil bagian. Apalagi kesenian barongsai juga sudah diterima sebagai bagian dari masyarakat Ampenan.
”Intinya, kita saling menghormati satu sama lain. Kehadiran kami juga mendukung kegiatan hari ini,” kata Agus yang berasal dari Jawa dan sudah lebih dari 20 tahun menetap di Ampenan.
Baca juga: Tak Sabar Menanti Hidangan dan Pelesiran Saat Lebaran Ketupat di Lombok
Kita punya investasi sangat berharga, yakni toleransi yang terjaga dengan baik. Semangat kita untuk saling mengisi dan melengkapi jadi modal untuk membangun kota Mataram.
Luh Eka Sari (49) yang turut menjadi panitia di Hikayat Lebaran Topat juga menyampaikan hal serupa. ”Dilihat dari kacamata kami sebagai minoritas, keberagaman itu indah, asal kita bisa menyesuaikan diri di mana pun berada,” kata Eka yang sehari-hari bertugas di Kecamatan Ampenan.
Mohan Roliskan juga menilai Hikayat Lebaran Topat tidak hanya momen silaturahmi antarumat Islam, tetapi juga menyatukan lintas agama.
”Kita punya investasi sangat berharga, yakni toleransi yang terjaga dengan baik. Semangat kita untuk saling mengisi dan melengkapi jadi modal untuk membangun kota Mataram,” kata Mohan.
Keberagaman dan toleransi memang indah. Sebagai modal pembangunan yang berharga, keberagaman dan toleransi harus terus dijaga dan dikuatkan. Masyarakat Ampenan telah menghidupi hal ini, salah satunya lewat Hikayat Lebaran Topat Mentaram.