Warga Nekat Panen Massal Sawit, Polda Kalteng Terapkan Pasal Pencurian
Aksi panen massal buah sawit milik perusahaan berlanjut. Tujuh orang ditangkap dan dipenjara lantaran dituduh mencuri.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Warga Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, memanen massal buah sawit di area perkebunan milik sebuah perusahaan. Aksi tersebut dinilai polisi sebagai pencurian. Namun, kelompok advokasi petani sawit setempat menyebutnya sebagai aksi protes atas minimnya kesejahteraan petani plasma.
Pada 6 April 2024, polisi menangkap tujuh orang dalam kasus pencurian buah sawit di kebun milik sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur. Polisi menyita sejumlah barang bukti, yakni dua mobil pikap untuk mengangkut sawit dan peralatan panen buah sawit, seperti egrek, tojok, dan angkong. Polisi juga menyita beberapa janjang buah sawit yang dicuri.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Timur Ajun Komisaris Besar Sarpani, Rabu (17/4/2024), mengatakan, ketujuh orang itu menjual sawit curian mereka ke salah satu pengepul yang berada tidak jauh dari perusahaan. ”Kami juga menyita enam unit dump truck, enam lembar DO pengantar buah, dan enam lembar replas timbang,” katanya, Rabu.
Para tersangka dikenai Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, mereka juga dikenai Pasal 55 dan atau Pasal 56 KUHP karena turut membantu dan memfasilitasi tersangka utama dalam kasus ini. Polisi mengenakan Pasal 480 KUHP kepada penadah yang membeli sawit hasil curian ketujuh orang tersebut.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji mengatakan, polisi di Kotawaringin Timur itu mengambil tindakan secara terukur. Akibat maraknya pencurian sawit, polisi membuat patroli skala besar di Kotawaringin Timur.
”Kami menugaskan satu kompi personel dari Polres Kotim untuk melaksanakan patroli skala besar di area perusahaan agar tidak ada lagi pencurian buah kelapa sawit,” kata Erlan.
Sambil patroli, polisi mengimbau masyarakat agar tidak mencuri buah kelapa sawit karena itu melanggar hukum dan bisa dipidana. ”Kami berharap, di wilayah hukum Polda Kalteng tidak terjadi lagi pencurian buah kelapa sawit. Kami juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak menjadi pengepul atau penadah buah kelapa sawit hasil penjarahan,” kata Erlan.
Aksi protes
Berbeda dengan polisi, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengatakan, tindakan yang dilakukan oleh warga itu bukan pencurian, melainkan aksi protes. Hal itu disebut sebagai gerakan panen massal. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi tindakan itu. Salah satunya adalah tuntutan kebun plasma yang tak kunjung diwujudkan oleh pemerintah. Namun, pemerintah dan polisi hanya melihat peristiwa itu sebagai tindakan kriminal semata.
”Saat perusahaan datang diberi izin oleh pemerintah, ada lahan masyarakat yang hilang. Lahan itu merupakan ruang hidup mereka untuk berusaha,” ujar Habibi.
Selain itu, perusahaan datang dengan janji kesejahteraan yang hingga kini tak dirasakan oleh masyarakat. Dalam kasus di Kotawaringin Timur, masyarakat juga tidak merasakan dana sosial yang jadi kewajiban perusahaan, seperti dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
”Pertanggungjawaban perusahaan dalam alokasi kebun plasma tidak dipenuhi perusahaan. Atas masalah itu semua, masyarakat yang jengah akhirnya melakukan upaya itu,” kata Habibi.
Sambil patroli, polisi mengimbau masyarakat agar tidak mencuri buah kelapa sawit karena itu melanggar hukum dan bisa dipidana.
Kasus serupa, dalam catatan Kompas, juga terjadi di Kabupaten Seruyan, tepatnya di Desa Bangkal. Di Seruyan, konflik antara warga dan perkebunan sawit berujung bentrok polisi dengan masyarakat dan menewaskan salah satu warga Bangkal. Pada 2023, terjadi peristiwa serupa di Kabupaten Kotawaringin Barat.
Menurut Habibi, dalam kasus seperti ini seharusnya aparat bisa menggunakan keadilan restoratif untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai. Momen itu bisa digunakan polisi untuk melakukan mediasi sehingga aparat dan pemerintah mengetahui persis alasan yang melatarbelakangi panen massal tersebut.
”Mereka bukan pencuri yang mengendap-endap dalam aksinya, semua dilakukan terang-terangan karena ini aksi protes, bukan sekadar kebutuhan ekonomi,” kata Habibi.
Aksi warga itu membuktikan bahwa mereka terdesak karena tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tindakan panen massal itu juga menunjukkan ada banyak hal yang belum selesai antara perusahaan dan masyarakat di sekitarnya.
”Kalau hanya pidana, penjara bakal penuh karena ini tidak berhenti. Dan penjara juga tidak menyelesaikan masalah sebenarnya,” ucap Habibi.