Melihat Peta Politik di Jabar Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Sejumlah partai punya tokoh yang diperhitungkan dalam Pilgub Jabar. Pembentukan koalisi perlu dipertimbangkan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD terkait sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Dengan demikian, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Kondisi itu dinilai bakal berdampak pada peta koalisi menjelang pemilihan kepala daerah di Jabar.
Putusan itu dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024). MK menilai seluruh dalil yang diajukan para pemohon tidak terbukti. Dalil itu terdiri atas enam kluster, antara lain independensi penyelenggara pemilu, keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, serta bantuan sosial.
Kluster selanjutnya terdiri dari mobilisasi atau netralitas pejabat dan aparatur negara, prosedur penyelenggaraan pemilu, dan pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan MK.
Putusan tersebut membuat pasangan Prabowo-Gibran dipastikan memenangi Pemilihan Presiden 2024. Pasangan nomor urut 2 ini didukung sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Parpol pendukung Prabowo-Gibran yang memiliki kursi di DPR terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. Adapun partai pendukung pasangan itu yang tidak lolos ambang batas parlemen antara lain Partai Garuda, Partai Bulan Bintang, dan Partai Solidaritas Indonesia.
Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Pius Sugeng Prasetyo, berpendapat, putusan MK yang membuat Prabowo-Gibran memenangi kontestasi politik itu bakal berpengaruh terhadap peta politik di Jabar. Apalagi, berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar, pasangan itu meraih kemenangan di Jabar dengan 16,8 juta suara atau 58,5 persen dari total suara sah.
Sejumlah partai dari KIM di Jabar memiliki tokoh-tokoh yang masuk dalam bursa kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar. Sebut saja Ridwan Kamil dari Golkar serta Dedi Mulyadi dan Mochamad Iriawan atau dikenal dengan Iwan Bule dari Gerindra.
Menurut Pius, ketokohan politisi dari Golkar dan Gerindra itu perlu diperhitungkan karena dua partai tersebut memiliki suara cukup besar di Jabar. Berdasarkan hasil pemilu untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar, Gerindra meraih suara terbanyak yang mencapai 4,3 juta suara, sementara Golkar berada di posisi ketiga dengan perolehan suara 3,59 juta orang.
Jumlah suara Golkar di Jabar hanya terpaut 210.595 dari Partai Keadilan Sejahtera yang menempati posisi kedua dengan perolehan suara 3,8 juta jiwa. Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di posisi keempat dengan perolehan suara 2,97 juta jiwa.
“Jika bicara koalisi, Gerindra menjadi partai dengan kekuatan yang signifikan di Indonesia. Meskipun kuat di pusat, kompetisi politik di tingkat daerah juga perlu diperhitungkan karena tidak bisa berdiri sendiri. Jadi, koalisi di tingkat daerah juga perlu dibangun,” kata Pius.
Dia menambahkan, kesepakatan dan komitmen politik bakal sangat menentukan peta koalisi dalam pilkada. Di sisi lain, partai dari KIM juga bisa memanfaatkan kemenangan Prabowo-Gibran untuk meraih suara dalam pilkada.
“Katakanlah jika Gerindra dan Golkar ini membangun sebuah koalisi dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur, tentu akan menjadi sebuah kekuatan besar. Di sini, kesepakatan dan komitmen sangat menentukan potensi dalam memenangi kontestasi di daerah,” ujarnya.
Di sisi lain, Pius juga berharap putusan MK ini mendorong publik agar dewasa dalam berdemokrasi. Ketentuan serta regulasi yang ada harus dipegang dan dijadikan pedoman oleh semua pihak.
“Apa pun keputusannya, pasti akan menghasilkan kelompok yang tidak puas. Catatan besar terkait dengan isu etik dan lainnya itu diharapkan membuat masyarakat lebih peduli dalam politik. Tidak adanya kerusuhan ini juga membuktikan publik semakin dewasa dalam berdemokrasi,” ujarnya.