Ditangkap Aparat Malaysia, Nelayan Natuna Terancam Denda Miliaran Rupiah
Nelayan Natuna terancam denda miliaran rupiah. Mereka menyebut berada di ZEE Indonesia saat ditangkap aparat Malaysia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Delapan nelayan asal Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, ditangkap penjaga pantai Malaysia pada 19 April 2024. Menurut Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching, Malaysia, para nelayan terancam denda miliaran rupiah.
Konsul Jenderal RI di Kuching Raden Sigit Witjaksono, Rabu (24/4/2024), menyatakan, delapan nelayan itu ditangkap penjaga pantai atau Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan perbatasan antara Serasan, Natuna, dan Sarawak, Malaysia. Para nelayan dengan tiga perahu kayu itu disebut melanggar perbatasan sejauh 13 batu atau 20,9 kilometer.
”Kalau melanggar kurang dari 5 batu (8,04 km), nelayan akan dihalau saja keluar perbatasan. Sudah banyak kejadian seperti itu. Begitu yang disampaikan APMM dalam pertemuan dengan KJRI tadi,” kata Sigit saat jumpa pers lewat percakapan video.
Kepada KJRI, APMM menuturkan penjagaan di perairan Sarawak amat ketat karena terdapat kilang minyak yang tidak beroperasi. Lokasi itu rawan dijarah.
”Kami prihatin karena (penangkapan nelayan Natuna) ini sudah kesekian kalinya dalam waktu yang berdekatan,” ujarnya.
Pada November 2023, sembilan nelayan asal Natuna juga ditangkap APMM di lokasi yang sama. Delapan orang di antaranya telah dipulangkan pada Februari 2024 setelah dipenjara selama empat bulan. Satu orang lagi, menurut rencana, akan dipulangkan pada bulan ini.
Menurut Sigit, denda yang dijatuhkan kepada nelayan yang tertangkap melakukan illegal fishing di perairan Malaysia amat besar. Nelayan biasanya dikenai denda miliaran rupiah dan penjara beberapa bulan.
”Siapa yang sanggup (membayar)? Pemprov Kepri, Kementerian Luar Negeri, atau KJRI Kuching, tidak bisa. Habis membayar itu mungkin besok kami tak ada layanan lagi. Itu kami sampaikan saja terus terang,” ucap Sigit.
Menurut Pelaksana Fungsi Konsuler 1 KJRI Kuching Yasfitha Febriany, sepanjang 2024 ada 14 nelayan Natuna yang ditangkap APMM di perairan Sarawak. Selain kasus 19 April, APMM juga menangkap dua nelayan pada 9 Februari dan empat orang pada 9 Maret.
Empat yang ditangkap pada Februari 2024 telah dijatuhi hukuman penjara 4-5 bulan. Selain itu, nakhoda dikenai denda Rp 3,3 miliar dan anak buah Rp 1 miliar. Karena mereka tidak mampu membayar denda, pengadilan menjatuhkan kurungan tambahan selama dua bulan.
Wilayah abu-abu
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, salah satu nelayan yang ditangkap APMM pada 19 April itu tengah berlayar di 4,07 Bujur Timur dan 110,02 Lintang Utara. Menurut dia, ada tumpang tindih klaim di perairan yang seharusnya masih merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia itu.
”Yang nelayan tahu itu masih perairan Indonesia. Dengan demikian, menjadi pertanyaan mengapa banyak nelayan Natuna ditangkap di sana,” kata Hendri.
Menanggapi hal itu, Sigit mengatakan, tidak ada tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Malaysia di perairan Sarawak. APMM menyatakan kepada Sigit, wilayah abu-abu hanya ada di Selat Malaka.
KJRI belum mendapat informasi koordinat lokasi penangkapan delapan nelayan Natuna dari APMM. Lembaga penjaga pantai Malaysia itu berjanji akan memberikan data itu dalam dua atau tiga hari ke depan.
Sementara itu, analis senior Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, menyatakan, Indonesia dan Malaysia belum menyepakati batas ZEE di perairan Natuna dan Sarawak. Dokumen Konsep Penetapan Batas ZEE Indonesia-Malaysia di Laut China Selatan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan menyebut kedua negara baru menyepakati batas landas kontinen.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin menilai, pemerintah perlu mengecek titik penangkapan nelayan di perairan perbatasan Natuna dan Sarawak. Hal itu harus dilakukan untuk memberikan kepastian wilayah tangkap nelayan.
Salah satu nelayan di Pulau Subi, Darmazi (52), mengatakan, mereka harus melaut lebih jauh ke timur atau ke arah perairan Malaysia karena ikan semakin sulit didapat. Ini salah satunya disebabkan maraknya kapal cantrang dari pantai utara Jawa.
”Tahun lalu, kapal-kapal cantrang dari Jawa itu banyak sekali. Bahkan, nelayan di pulau sebelah, Serasan, pernah menangkap kapal cantrang itu karena dianggap mengganggu nelayan tradisional,” ujar Darmazi.
Tangkapan yang menurun akibat praktik penangkapan ikan yang merusak juga dikeluhkan nelayan di Pulau Bunguran Besar, Natuna. Hendri menyebut maraknya kapal trawl Vietnam di Laut Natuna Utara mengakibatkan karang rusak dan ikan menghilang.
”Turunnya tangkapan akibat kapal asing dan kapal cantrang itu betul-betul terjadi. Kalau enggak begitu, ngapain kami mau menanggung risiko mencari ikan sampai ke perbatasan Malaysia,” ucap Hendri.
Imam menilai, pemerintah perlu memperkuat komitmen menjaga keamanan di Laut Natuna Utara. Maraknya kapal asing dan praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan bakal semakin mengikis periuk nasi nelayan tradisional.