”Ticket War” Pilgub Sumut Memanas, Bobby dan Musa Berebut Golkar, Calon dari PDI-P Belum Muncul
Bobby dan Musa berebut tiket dari Golkar. Efek pilpres, Gerindra menolak Edy, PDI-P menolak Bobby.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Pemilihan gubernur Sumatera Utara semakin memanas. Menantu Presiden Joko Widodo, Bobby A Nasution, dan mantan Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah beradu dalam ”war tiket” untuk mendapatkan restu dari Partai Golkar. Mantan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengincar tiket dari Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa, partai pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Edy juga mendekat ke PDI Perjuangan.
Sementara Partai Gerindra terang-terangan menolak Edy. PDI-P juga menyebut terbuka kepada semua calon, kecuali Bobby, meskipun PDI-P juga belum mempunyai calon yang kuat. Polarisasi Pilgub Sumut sangat dipengaruhi koalisi Pemilihan Presiden 2024.
Peta politik pada Pilgub Sumut juga mulai terlihat setelah penetapan rekapitulasi penghitungan suara pemilihan anggota DPRD Sumut. Hanya Golkar dan PDI-P yang diperkirakan bisa mengusung pasangan calon tanpa harus berkoalisi dengan partai lain karena perolehan kursi lebih dari 20 persen.
Partai Golkar Sumut yang diperkirakan mendapat 22 dari 100 kursi DPRD Sumut memanaskan mesin partai dengan pemberian surat tugas sebagai bakal calon gubernur Sumut kepada dua orang sekaligus, yakni mantan Wagub sekaligus Ketua Golkar Sumut, Musa Rajekshah, dan Wali Kota Medan Bobby.
”Tidak hanya pilgub (yang memanas), tetapi pemilihan wali kota Medan juga. Semua kita harapkan berjalan dengan baik,” kata Bobby di Medan, Selasa (23/4/2024), ketika ditanya tentang langkah politiknya di tengah-tengah Pilgub Sumut yang memanas.
Hubungan Bobby dan Musa belakangan ini memanas setelah keduanya mendapat surat tugas yang sama sebagai bakal calon gubernur/wakil gubernur Sumut dari DPP Golkar. Bobby yang bukan kader Golkar mendapat penolakan dari pengurus daerah. Sebelum Pemilihan Presiden 2024, Bobby adalah anggota PDI-P.
Bobby beberapa kali meminta maaf kepada Musa melalui pernyataan di media massa. Hingga Selasa malam, kata Bobby, dia belum bisa bertemu karena Musa masih berada di Jakarta. ”Ya, saya lihat kemarin (Musa) di Jakarta. Saya minta mohon waktu (untuk bertemu),” kata Bobby.
Pada Selasa siang, Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Medan Wirya Alrahman yang juga orang dekat Bobby dilantik menjadi Penjabat Bupati Deli Serdang. Medan dan Deli Serdang merupakan lumbung suara terbesar di Sumut. Meskipun hanya dua dari 33 kabupaten/kota, kawasan itu mencakup 3,28 juta daftar pemilih tetap atau 30,26 persen dari total 10,85 juta DPT Sumut.
Beberapa hari ini, Musa tampak bergerilya menggalang kekuatan menemui tokoh Golkar dan organisasi kemasyarakatan di Jakarta, sebagaimana unggahannya di Instagram resminya. Dia, misalnya, bertemu tokoh senior Golkar Agung Laksono, Yorrys Raweyai, serta Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soelistyo.
Sekretaris Partai Golkar Sumut Ilhamsyah mengatakan, Golkar mengutamakan mengusung kader, bukan orang dari luar partai. Sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak di DPRD Sumut, kata Ilhamsyah, mereka percaya diri mengusung kader sendiri.
Musa juga dianggap sukses memenangkan Golkar di Sumut, baik untuk DPR RI, DPRD Sumut, maupun DPRD kabupaten/kota. Suara Golkar melejit cukup signifikan. Golkar diperkirakan mendapat kursi ketua DPRD Sumut. Musa juga terpilih sebagai anggota DPR RI dari Sumut 1.
”Kami yakin Golkar akan mengusung Musa Rajekshah. Golkar memang sangat terbuka, siapa saja boleh mendaftar. Namun, yang paling utama adalah kader,” kata Ilhamsyah.
Calon lain yang sudah mencuat adalah mantan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. Tim Edy sudah mengambil formulir pendaftaran dari PKS. ”Kami datang ke PKS untuk mengambil formulir pendaftaran. Mudah-mudahan PKS bisa menerima Pak Edy untuk mendaftar di pilkada,” kata Dahlan Harahap dari tim pemenangan Edy.
Sebelumnya, tim Edy juga sudah mengambil formulir dari PDI-P. Dahlan menyebut, mereka juga akan mengambil formulir ke Partai Nasdem dan PKB. Sebagai Ketua Tim Kampanye Daerah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Dahlan menyebut, Edy akan mendaftar ke semua partai koalisi Anies.
Hanya Partai Golkar dan PDI-P yang diperkirakan bisa mengusung pasangan calon tanpa harus berkoalisi dengan partai lain karena perolehan kursi lebih dari 20 persen.
Pilpres 2024 memang sangat memengaruhi Pilgub Sumut. Edy, misalnya, dianggap mengkhianati Prabowo karena menjadi Ketua Tim Kampanye Daerah Anies-Muhaimin. Padahal, pada 2018, Gerindra termasuk partai utama yang mengusung dan memenangkan Edy sebagai Gubernur Sumut.
Sekretaris Partai Gerindra Sumut Sugiat Santoso menyebut, mereka terbuka terhadap semua bakal calon gubernur, kecuali Edy. ”Partai Gerindra sama sekali tidak memasukkan nama Pak Edy dalam bursa kandidat yang akan kami dukung,” kata Sugiat.
Efek Pilpres 2024 juga terjadi di PDI-P. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan komentar pedas pada Bobby. ”Sudah ada pendaftaran-pendaftaran di Sumatera Utara. Semua boleh mendaftar, kecuali Mas Bobby. Itu usulan dari bawah,” kata Hasto di Jakarta.
PDI-P yang diperkirakan mendapat 21 kursi di DPRD Sumut bisa mengusung sendiri pasangan calon di Pilgub Sumut. Namun, hingga kini belum ada kader PDI-P yang menonjol. Edy juga bukan kader PDI-P.
Selain Edy, ada mantan Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan yang sudah mengambil formulir. Nikson adalah Ketua PDI-P Tapanuli Utara. Hampir pada setiap Pilgub Sumut, PDI-P selalu membentuk satu poros. Sumut juga merupakan salah satu lumbung suara terbesar PDI-P. Namun, partai itu belum pernah menang di Pilgub Sumut.
Pada Pilgub Sumut 2018, PDI-P ”mengimpor” Djarot Saiful Hidayat dari Jakarta dan dipasangkan dengan Sihar Sitorus. Partai itu berkoalisi dengan PPP. Pasangan itu kandas melawan Edy-Musa yang diusung Partai Golkar, Gerindra, Hanura, PKS, PAN, dan Nasdem. Sebelum masa jabatan berakhir tahun lalu, Edy dan Musa sudah pecah kongsi dan berkonflik secara terbuka.
Elite pusat
Pengajar Program Studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Warjio, mengatakan, pola kontestasi Pilgub Sumut masih sama seperti sebelumnya. ”Penentuan calon didominasi elite parpol di Jakarta. Siapa yang punya jaringan politik yang kuat, modal yang besar, popularitas, dia yang akan diusung partai,” katanya.
Warjio menyebut, partai juga akan sangat pragmatis. Tidak akan ada diskursus pembangunan dalam penentuan calon. Polarisasi koalisi pilpres juga akan sangat menentukan peta koalisi. Pernyataan penolakan partai politik kepada calon tertentu adalah imbas dari pilpres.
Pilkada tahun ini juga disebut akan menunjukkan kembali kegagalan parpol melakukan kaderisasi kepemimpinan di daerah. Dengan melihat orangnya yang itu-itu saja, kata Warjio, sulit mengharapkan diskursus pembangunan. Apalagi, keputusan pencalonan biasanya mendekati batas akhir pendaftaran. Dia melihat, calon-calon yang muncul nyaris tanpa visi atau gagasan apa pun.