Berstatus Tersangka Korupsi, Bupati Sidoarjo Segera Nonaktif
Berstatus tersangka kasus korupsi, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali segera nonaktif dari jabatan tersebut.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Semua kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi harus segera dinonaktifkan. Pemberhentian permanen akan dilakukan jika vonis sudah dijatuhkan.
Tito menjawab pertanyaan pers tentang Bupati Sidoarjo Ahmad Mudhlor Ali yang telah ditetapkan sebagai tersangka rasuah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Muhdlor dituduh terlibat pemotongan serta penerimaan uang insentif pajak dan retribusi daerah di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo.
Menurut Tito, jika dalam kasus rasuah seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah berstatus saksi, belum bisa nonaktif dari jabatan. Namun, jika sudah berstatus tersangka bisa segera dinonaktifkan.
Jika nanti statusnya naik menjadi terdakwa dalam persidangan, akan terkena pemberhentian sementara. ”Jika sudah vonis menjadi terpidana, pemberhentian permanen,” ujarnya.
Muhdlor diberikan status sebagai tersangka oleh KPK sejak pertengahan Maret 2024. KPK telah memanggil Muhdlor untuk pemeriksaan sebagai tersangka pada Jumat (19/4/2024).
Namun, putra dari KH Agoes Ali Masyhuri, pengasuh Sekolah Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo, itu berhalangan hadir karena sakit. Dalam Peringatan Hari Otonomi Daerah di Surabaya, yang berbatasan dengan Sidoarjo, Mudhlor juga tidak terlihat hadir.
Secara terpisah, Mustofa Abidin, penasihat hukum Bupati Sidoarjo, mengatakan, tim penasihat hukum telah menyurati KPK untuk menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Muhdlor. Terkait penetapan tersangka, tim penasihat humum akan mengajukan praperadilan.
Muhdlor adalah Bupati Sidoarjo ketiga yang terkena kasus rasuah. Dua bupati sebelumnya ialah Win Hendarso (2000-2010) dan Saiful Ilah (2010-2020).
Sejak kelahiran KPK pada 2002, Muhdlor ialah pemimpin ke-25 di Jatim yang masih aktif menjabat dan menjadi tersangka korupsi. Jika ditarik mundur sejak 1990, Mudhlor ialah bupati atau wali kota ke-30 yang terlibat rasuah. Itu tidak termasuk wakil bupati atau wakil wali kota yang pernah terlibat korupsi di Jatim.
Satria Unggul Wicaksana Prakasa, peneliti senior Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya, mengatakan, penyidikan terhadap Muhdlor penting untuk mengungkap keterlibatan dalam korupsi di BPPD.
”Itu bisa dibaca sebagai auktor intelektualisnya,” katanya.
KPK mengungkap kasus korupsi di BPPD itu dengan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 11 orang di Sidoarjo pada 25 Januari 2024. KPK menyita uang tunai sebagai barang bukti senilai Rp 69,9 juta.
Pengembangan dari OTT, 29 Januari 2024, Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian BPPD Siska Wati ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya, 23 Februari 2024, giliran Kepala BPPD Ari Suryono menjadi tersangka.
Kejahatan itu diduga berawal dari keberhasilan BPPD mencapai target pendapatan pajak 2023. Keberhasilan itu mendorong Muhdlor menerbitkan surat keputusan pemberian insentif kepada pegawai BPPD.
Dari sana, Ari memerintahkan Siska menghitung besaran dana insentif dan potongan dana insentif. Menurut KPK, pengumpulan dana mencapai setidaknya Rp 2,7 miliar. Dana diduga mengalir, antara lain, ke Ari dan Muhdlor.