Mitigasi Kasus DBD, Layanan DBDKlim Diluncurkan di Bali
Layanan DBDKlim diluncurkan di Bali. Pencegahan penyebaran DBD penting dimulai sejak awal. Iklim memengaruhi DBD.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bersama Dinas Kesehatan Bali meluncurkan DBDKlim, layanan informasi iklim terapan tentang prediksi penyebaran penyakit demam berdarah dengue. Layanan berbasis web ini memberikan peringatan dini potensi peningkatan kasus DBD di Bali berdasarkan parameter perubahan iklim.
Layanan informasi peringatan dini DBDKlim serupa sudah dioperasikan di Jakarta sejak 2019. Isinya, informasi prediksi tiga bulan ke depan mengenai estimasi jumlah kasus DBD di daerah dan kondisi iklimnya.
Semakin lembab kondisi wilayah, maka potensi nyamuk berkembang juga semakin besar. Dengan DBDKlim, otoritas kesehatan di daerah diharapkan dapat cepat memberikan tanggapan sehingga angka kejadian DBD dapat ditanggulangi sedari awal.
Ke depan, Ardhasena berharap layanan DBDKlim berlanjut secara jangka panjang dengan dukungan pemerintah daerah. Menurut Ardhasena, program DBDKlim diharapkan dapat diduplikasi ke daerah lain di seluruh Indonesia dengan dukungan seluruh pemangku kesehatan di level provinsi ataupun nasional.
”Daerah memiliki data yang memadai dan terintegrasi mulai dari rumah sakit lalu ke dinkes kabupaten dan kota kemudian ke provinsi. Data kemudian diramu dengan informasi dari BMKG,” ujar Ardhasena.
Ketua Tim Kerja Arbovirosis di Kementerian Kesehatan Asik Surya mengatakan, penanganan DBD berkaitan dengan manajemen pengendalian vektor atau organisme penular penyakit, manajemen surveilans, dan inovasi tata laksana. ”Antisipasi peningkatan kasus DBD harus dimulai sejak awal,” kata Asik.
Kepala Dinkes Bali I Nyoman Gede Anom mengatakan, kasus DBD dipengaruhi siklus dan perubahan iklim. Menurut Anom, kasus DBD di Bali masih cenderung tinggi dan angka kejadian kasus DBD di Bali masih besar.
Sejak awal Januari 2024 sampai pertengahan April 2024, jumlah kasus DBD di Bali tercatat 4.177 kasus. Tercatat ada enam orang meninggal.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Bali I Gusti Ayu Raka Susanti menerangkan, kasus DBD muncul di seluruh daerah di Bali. Hingga 16 April 2024, jumlah kasus DBD terbanyak terjadi di Kabupaten Gianyar dengan 1.317 kasus.
”Iklim memiliki korelasi kuat dalam peningkatan angka kasus DBD,” ujar Raka.
Menurut Pelaksana Tugas Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia, penerapan layanan DBDKlim sangat membantu pihak pemerintah menyiapkan respons menangani penyakit DBD di daerah berdasarkan kondisi dan situasi, yang terjadi.
”Kalau petanya masih hijau atau aman, cukup ditangani PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan gerakan 3M sebagai pencegahan,” kata Dwi Oktavia. ”Kalau petanya sudah mengindikasikan kuning atau merah, maka perlu tindakan lebih lanjut, misalnya dengan fogging,” ujar Dwi.
Sementara itu, Rektor Universitas Udayana Ngakan Putu Gede Suardana menyatakan, peringatan dini bagus dan bermanfaat untuk mengetahui sejak dini potensi penyebaran kasus DBD.
”Kami di Universitas Udayana dapat membantu memperluas informasi karena kami memiliki kemampuan di bidang informasi dan teknologi serta komputer jikalau terkait aplikasi, dan kesehatan masyarakat untuk membantu sosialisasi ke masyarakat,” kata Ngakan.