Selain di Boyolali, kasus PMK juga masih ditemukan di Klaten, Jateng. Pergerakan ternak antardaerah mesti diawasi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Ancaman penyakit mulut dan kaki pada ternak belum sirna sepenuhnya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Laporan kasus aktif menunjukkan ternak dari wilayah itu masih dalam intaian penyakit tersebut. Pergerakan ternak antardaerah dinilai menjadi faktor risiko penularan.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan Kabupaten Klaten, sejak Januari sampai April 2024, terdapat sekitar 60 laporan kasus baru penyakit mulut dan kaki (PMK) yang menyerang ternak di daerah tersebut. Hingga Selasa (30/4/2024), jumlah ternak yang masih tercatat sebagai kasus aktif mencapai 11 ekor.
Laporan kasus aktif itu tersebar di empat kecamatan, yakni Ngawen, Karangnongko, Trucuk, dan Wonosari. Trucuk menjadi daerah dengan jumlah kasus paling banyak, yaitu enam kasus. Jumlah kasus terbanyak kedua terdapat di Wonosari dengan tiga kasus. Untuk Ngawen dan Karangnongko, masing-masing mencatatkan satu kasus.
”Jika dibandingkan dengan tahun kemarin, jumlahnya relatif lebih sedikit. Namun, ini memang masih ada temuan dan harus kita kawal terus,” kata Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan Kabupaten Klaten Widiyanti saat dihubungi, Selasa siang.
Widiyanti menjelaskan, kasus PMK pertama kali mencuat di wilayahnya pada 2022. Sepanjang 2022 hingga 2023, total kasus yang dilaporkan terkait penyakit itu menyentuh 4.000 kasus.
Sejauh ini, vaksinasi sudah dilakukan sebanyak empat kali. Dosis pertama telah diberikan kepada 68.653 ternak, dosis kedua 56.579 ekor, dosis ketiga 38.911 ekor, sedangkan dosis keempat baru menyasar 5.308 ekor.
Akhir tahun 2023, lanjut Widiyanti, sempat ada masa tidak ada penambahan kasus PMK di wilayahnya. Namun, laporan temuan kasus baru kembali bermunculan mulai awal tahun 2024. Meski demikian, ia menilai tingkat fatalitas paparan penyakit cenderung lebih rendah.
”Walaupun ada yang tertular, tidak ada yang mati akibat penyakit tersebut. Begitu ditemukan (kasus) langsung kami obati. Jadi, bisa disembuhkan,” kata Widiyanti.
Antisipasi penularan penyakit tersebut, ungkap Widiyanti, juga dilakukan melalui vaksinasi pada populasi ternak sehat. Sejauh ini, vaksinasi sudah dilakukan sebanyak empat kali. Dosis pertama telah diberikan kepada 68.653 ternak, dosis kedua 56.579 ekor, dosis ketiga 38.911 ekor, sedangkan dosis keempat baru menyasar 5.308 ekor.
Di sisi lain, Widiyanti juga ketat mengawasi lalu lintas ternak. Lebih-lebih ternak yang berasal dari wilayah temuan kasus PMK. Adanya pergerakan ternak meningkatkan risiko penularan.
”Aspek lalu lintas ternak ini paling krusial. Itu menjadi pintu gerbang penularan. Karena, di situ terjadi transaksi, begitu juga keluar masuknya hewan dari berbagai wilayah. Maka, kami tingkatkan pengawasan kami di pasar-pasar hewan,” kata Widiyanti.
Hanya saja, menurut Widiyanti, pengawasan ternak sebenarnya juga cukup sulit. Sebab, gejala klinis tidak selalu kelihatan. Terkadang gejala sakit itu baru timbul setelah transaksi jual beli dilakukan. Oleh karenanya, ia meminta peternak agar selalu selektif ketika membeli ternak baru dari daerah lain.
Kasus PMK juga kembali ditemukan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Selama Januari lalu, tercatat ada 41 kasus dilaporkan muncul di daerah tersebut. Temuan kasus tersebar di tiga kecamatan, yakni Cepogo, Ampel, dan Tamansari.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali Lusia Dyah Suciyati menyampaikan, terjadinya penularan bermula dari pembelian sapi asal luar daerah. Kebetulan sapi yang dibeli juga belum divaksinasi sehingga lebih rentan tertular penyakit semacam itu. Oleh karena itu, ia meminta pedagang sapi agar lebih berhati-hati ketika membeli sapi baru.
”Kami sudah membuat surat edaran agar pedagang berhati-hati untuk membeli sapi baru. Kalau bisa yang sudah divaksinasi. Jika belum (divaksinasi), nanti dilaporkan ke kami, maka akan kami vaksinasi. Intinya harus membawa sapi-sapi yang sehat dari luar daerah,” kata Lusia.