Setelah Empat Kali Diusulkan, Hutan Adat Kinipan Mulai Temukan Titik Terang
Masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah kembali mengajukan usulan hutan adat mereka untuk keempat kalinya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Untuk keempat kalinya, masyarakat adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengajukan usulan hutan adat. Mereka berharap kali ini mendapat titik terang.
Komunitas ini sempat menjadi perbincangan pada 2020 saat Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan Effendi Buhing ditangkap dan diseret dari rumahnya oleh aparat Polda Kalteng. Tidak hanya Buhing, empat warga lebih dulu masuk penjara. Mereka dituduh merusak fasilitas perusahaan perkebunan sawit dan melakukan pencurian (Kompas, 26 Agustus 2020).
Kasus yang dinilai banyak pihak sebagai kriminalisasi itu kemudian menguap. Semua tersangka yang sudah ditetapkan polisi dilepas. Kasusnya juga tidak berlanjut.
Peristiwa itu dipicu penolakan masyarakat terkait kehadiran perusahaan perkebunan sawit di wilayahnya. Sejak itu, masyarakat adat Laman Kinipan kemudian mengusulkan hutan adat agar wilayah mereka terlindungi.
Setidaknya tiga tahun berselang, usulan itu tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah. Senin (29/4/2024), masyarakat adat Laman Kinipan bersama pejabat Desa Kinipan juga struktur adat Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, kembali mendatangi Kantor Bupati Lamandau.
Mereka berjumpa Penjabat Bupati Lamandau Lilis Suryani. Warga kembali menyerahkan dokumen usulan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) beserta hutan adat.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki pada Selasa (30/4/2024) mengungkapkan, pihaknya sudah empat kali menyerahkan usulan hutan adat dan pengakuan MHA ke pemerintah kabupaten untuk ditindaklanjuti. Harapannya, kali ini ada titik terang untuk usulan tersebut.
”Selama ini, menurut pemerintah kabupaten, usulan itu tidak lengkap lantaran ada masalah dengan tapal batas,” kata Willem.
Willem mengungkapkan, batas yang dimaksud antara Desa Kinipan dengan Desa Karang Taba. Desa Karang Taba, kata Willem, sudah memiliki kesepakatan dengan perusahaan sehingga wilayah yang diperebutkan selama ini dipertahankan.
Luas wilayah adat atau hutan adat Desa Kinipan, lanjut Willem, kebetulan sama dengan wilayah desa sehingga sebenarnya sudah ada dokumen kesepakatan antarsemua desa yang berbatasan dengan Kinipan, seperti dengan Desa Watu Tambun, Desa Tapin Binih, dan Desa Suja. Semua desa itu telah bersepakat soal batas wilayah.
”Hanya dengan Karang Taba saja yang menolak kesepakatan. Padahal, mereka sendiri tidak tahu wilayah itu masa mau mengaku. Tapi, ya, tidak apa-apa nanti saat mediasi oleh pemerintah Kabupaten semuanya akan terbuka,” papar Willem.
Willem mengungkapkan, pemkab akan memanggil Pemerintah Desa Karang Taba yang selama ini berselisih paham soal tata batas dengan Kinipan untuk melihat dokumen mereka. Setelah itu kedua belah pihak akan dimediasi.
”Kalau nanti tidak ada kesepakatan, kami di Kinipan sepakat agar penjabat bupati saja yang memutuskan soal batas dengan Karang Taba,” kata Willem.
Willem mengingatkan, pihaknya bersama struktur adat di Laman Kinipan meminta Penjabat Bupati Lilis Suryani mengambil keputusan jika memang Desa Karang Taba masih berkeras. Pihaknya akan mengalah.
Namun, dengan catatan tidak mengganggu kesepakatan yang sudah ada dengan tiga desa lainnya, seperti yang dilakukan Bupati Lamandau Hendra Lesmana sebelumnya.
Penjabat Bupati Lamandau Lilis Suryani mengatakan kepada Kompas bahwa dia bersama pemerintah daerah berkomitmen menyelesaikan persoalan di Kinipan, terutama soal batas wilayah. Ia mengungkapkan sudah beberapa kali berjumpa dengan masyarakat adat Kinipan untuk membahas tentang persoalan mereka.
”Kami memang berencana memanggil semua pihak yang berkepentingan agar bisa mencari solusi,” kata Lilis.