Aksi ”May Day”, Upah Layak hingga Akses Pendidikan Diperjuangkan Buruh Jatim
Selain upah layak, persoalan jaminan sosial kesehatan dan akses layanan pendidikan menjadi isu krusial di Jawa Timur.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2024, digadang menjadi momentum menyuarakan perbaikan taraf kesejahteraan pekerja di Jawa Timur. Selain upah layak, persoalan terkait jaminan sosial kesehatan dan akses layanan pendidikan untuk anak pekerja juga menjadi isu krusial yang terus diperjuangkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) , jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Timur per Agustus 2023 sebanyak 22,7 juta orang, naik 1,09 juta orang dari Agustus 2022. Adapun sektor usaha yang mengalami penambahan jumlah pekerja adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 383.100 orang. Selain itu, industri pengolahan bertambah 230.390 orang, serta sektor akomodasi dan makan minum bertambah 213.250 orang.
Dari total 22,7 juta pekerja di Jatim, hanya 8,37 juta orang atau 36,89 persen yang bekerja pada kegiatan formal. Artinya, mayoritas pekerja di Jatim bekerja pada kegiatan informal. Jumlah pekerja informal ini mencapai 14,33 juta orang atau 63,11 persen.
Kabar baiknya, proporsi pekerja penuh waktu meningkat 957.210 orang atau 0,14 persen menjadi 15,27 juta orang. Artinya, banyak pekerja di sektor informal yang bekerja penuh waktu. Hal itu membuka peluang bagi pekerja untuk mendapatkan upah lebih besar.
Bicara soal pekerja di sektor formal, mayoritas adalah buruh pabrik. Adapun zonasi industri terbanyak berada di wilayah ring satu yang meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. Sidoarjo menjadi daerah dengan pergerakan pekerja paling dinamis karena banyak pentolan organisasi buruh yang bekerja, bahkan berdomisili di sini.
Berdasarkan pantauan Kompas, peringatan Hari Buruh Internasional di Jatim digelar di sejumlah daerah, seperti Surabaya dan Sidoarjo. Di Sidoarjo, misalnya, lebih dari 5.000 buruh berkumpul di kawasan perumahan Puri Surya Jaya, Kecamatan Gedangan.
“Hari ini kami memperingati May Day, 1 Mei 2024. Kami tidak merayakan, tetapi mengenang sejarah perjuangan buruh, kisah kelam perburuhan di mana untuk memperjuangkan jam kerja, para buruh harus kehilangan nyawanya,” ujar Khoirul Anam, korlap aksi dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sidoarjo.
Khoirul mengatakan, ada sejumlah isu lokal dan nasional yang diusung pekerja dalam peringatan Hari Buruh kali ini. Isu-isu tersebut bersentuhan langsung dengan dinamika kehidupan buruh sehari-hari sehingga memiliki relevansi tinggi.
Salah satunya soal jaminan sosial kesehatan bagi pekerja yang masih diabaikan banyak perusahaan. Dampaknya, banyak buruh pabrik yang kesulitan mengakses layanan kesehatan yang memadai. Jika ingin mengakses layanan kesehatan tersebut, mereka harus membayar iuran jaminan sosial secara mandiri sehingga membebani keuangan keluarga.
“Isu lokal lainnya adalah terbatasnya akses pendidikan untuk anak pekerja. Kami menuntut penambahan kuota jalur penerimaan anak buruh dari sebelumnya 5 persen ditingkatkan menjadi 10 persen,” ucap Khoirul.
Tuntutan itu disampaikan berdasarkan fakta banyaknya pekerja sektor formal yang terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan tempat mereka bekerja. PHK itu dipicu antara lain belum pulihnya kinerja perusahaan setelah pandemi Covid-19. Juga dampak menurunnya kinerja perusahaan akibat krisis global.
Sementara itu, isu nasional yang diusung para pekerja di Jatim adalah pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja karena dinilai kurang berpihak kepada buruh, bahkan cenderung melindungi kepentingan pengusaha atau investor. Juga tentang pekerja alih daya atau outsourcing dan upah murah.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Timur Achmad Fauzi mengatakan, pekerja menolak keseluruhan UU Cipta Kerja karena substansinya merugikan karyawan dan mengancam kesejahteraan mereka. Hal-hak pekerja banyak yang dikurangi sehingga tak lagi memiliki daya tawar tinggi terhadap pemberi kerja.
“Kami pekerja di Jatim sepakat menolak UU Cipta Kerja karena jelas-jelas merugikan pekerja. Kami optimistis pemerintahan presiden Prabowo Subianto nantinya bersedia membuka ruang untuk perbaikan kesejahteraan pekerja melalui pencabutan undang-undang tersebut,” kata Fauzi.
Pekerja alih daya ini posisinya rentan karena tidak memiliki daya tawar tinggi. Hal itu karena mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan perusahaan tempat bekerja, tetapi melalui perusahaan perantara.
Isu nasional lain yang juga diusung pekerja Jatim adalah terkait tenaga kerja alih daya atau outsourcing dan penolakan terhadap upah murah. Hal itu menjadi krusial karena pemerintah telah menghapus Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Menurut ketentuan tersebut, tidak semua pekerjaan bisa diserahkan pelaksanaannya kepada perusahaan lain melalui pekerja alih daya. Namun, seiring tidak digunakannya permenaker tersebut sebagai acuan, banyak pekerjaan berpeluang dialihdayakan.
Padahal pekerja alih daya ini posisinya rentan karena tidak memiliki daya tawar tinggi. Hal itu karena mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan perusahaan tempat bekerja, tetapi melalui perusahaan perantara.
“Kami menganggap outsourcing ini adalah bentuk perbudakan modern yang harus dilawan,” ucap Fauzi yang mengklaim massa unjuk rasa di Surabaya mencapai lebih dari 20.000 pekerja.
Salah satu pekerja di Sidoarjo, Wawan Kurniawan (27), mengatakan, saat ini semakin sulit mencari pekerjaan di pabrik dengan posisi sebagai karyawan tetap. Kebanyakan pabrik memilih merekrut pekerja alih daya karena lebih menguntungkan perusahaan.
“Seperti saya, sudah lima tahun ini jadi pekerja alih daya. Selama itu, saya dipindah di tiga perusahaan yang berbeda sehingga tidak punya jenjang karier. Selawase (selamanya) jadi buruh kasar,” ujar Wawan.
Selain tak punya kesempatan berkarier, upah yang diterima juga tidak sesuai upah minimum Kabupaten Sidoarjo (UMK). Dia mengaku hanya menerima upah 50 persen dari UMK Sidoarjo 2024 yang mencapai Rp 4.795.570 per bulan per pekerja.
Wawan menambahkan perusahaan tempatnya bekerja juga tidak memberikan jaminan sosial kesehatan sehingga dia harus menjadi peserta secara mandiri ketika istrinya melahirkan. Kehidupan pekerja semakin memprihatinkan dengan ketiadaan jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk jaminan hari tua.
“Saya masih belum berpikir ikut BPJS ketenagakerjaan karena pasti nambah pengeluaran untuk bayar iuran bulanan. Memikirkan kondisi yang sekarang saja masih susah dengan penghasilan yang pas-pasan,” kata Wawan.
Buruh merupakan pahlawan ekonomi yang berkontribusi nyata pada pembangunan ekonomi regional dan nasional. Sudah seharusnya suara mereka didengarkan para pembuat kebijakan di negeri ini agar pekerja semakin sejahtera dan negara menjadi lebih berdaya.