Pengeluaran yang besar pada hari ”meugang” menjadi beban bagi para buruh sehingga perlu ada tunjangan khusus.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Puluhan buruh di Provinsi Aceh mendesak pemerintah agar membuat regulasi terkait pemberian tunjangan khusus hari meugang. Mereka menawarkan tunjangan meugang sebesar 10 persen dari upah minimum provinsi.
Hari meugang merupakan tradisi masyarakat Aceh menyambut Ramadhan dengan menyantap masakan berbahan daging. Meugang dirayakan sehari sebelum Ramadhan, hari terakhir Ramadhan, dan sehari sebelum Idul Adha.
Permintaan itu disampaikan para buruh dalam aksi damai memperingati Hari Buruh Internasional 2024 di Kota Banda Aceh, Rabu (1/5/2024). Para buruh dari lintas organisasi pekerja mendesak pemerintah serius memperhatikan kesejahteraan pekerja.
Sekretaris Aliansi Buruh Aceh (ABA) Muhammad Arnif menuturkan meugang telah menjadi budaya yang dirayakan secara turun-temurun. Setiap perayaan meugang, warga menghabiskan banyak uang untuk membeli daging dan kebutuhan dapur.
”Karena ini sudah tradisi yang tidak bisa ditinggalkan para buruh, perlu tunjangan untuk merayakannya,” kata Arnif.
Arnif mengatakan, mereka mengusulkan tunjangan meugang sebesar 10 persen dari upah minimum provinsi (UMP) Rp 3.460.672. Dengan demikian, tunjangan meugang yang diinginkan para buruh Aceh sebesar Rp 346.067.
Arnif mengatakan, pihaknya sedang memperjuangkan aturan tunjangan meugang agar masuk dalam Qanun/Perda Aceh. Selama ini tidak ada aturan yang mengikat tentang besaran tunjangan meugang sehingga pihak perusahaan hanya memberikan sesuai kemampuan atau sesuai kebijakan perusahaan.
”Apabila tidak dimasukkan dalam qanun, kami akan mendorong agar dikeluarkan peraturan gubernur,” kata Arnif.
Arnif berharap pemerintah mau mengabulkan permintaan para buruh karena belanja meugang termasuk beban pengeluaran yang rutin. Di sisi lain, pengeluaran buruh pada meugang juga memicu perputaran ekonomi di Aceh.
Selain isu kesejahteraan, para buruh juga mendesak pemerintah menghapuskan sistem kerja alih daya yang dinilai merugikan para buruh. Selain pemotongan upah untuk perusahaan penyalur, banyak hak pekerja tidak dipenuhi.
Seorang buruh perempuan dan pengurus ABA, Farizah (35), mengatakan, banyak perusahaan di Aceh masih belum memperhatikan kesejahteraan buruh perempuan. Tidak sedikit buruh perempuan mendapatkan upah di bawah UMP.
”Jika dilihat dari upah yang diterima, belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian besar anggota buruh masih harus melakukan pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup,” kata Farizah.
Farizah menambahkan, ada sebagian buruh perempuan mendapatkan tunjangan hari raya (THR) tidak penuh.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh Akmil Husen menyatakan bahwa Pemprov Aceh telah mengakomodasi permintaan pekerja buruh terkait revisi qanun ketenagakerjaan. Beberapa aspek kearifan lokal yang sebelumnya tidak termasuk dalam qanun kini telah diatur dengan jelas.
”Perusahaan-perusahaan di Aceh harus mematuhi ketentuan yang berlaku ini,” kata Akmil.
Akmil menambahkan, tujuan dari langkah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di Aceh dan memastikan bahwa hak-hak pekerja dipenuhi.